Konflik China-Taiwan Butuh Mitigasi Serius
Jakarta, FNN - Konflik China-Taiwan semakin memanas akhir-akhir ini dan menjadi perhatian dunia.
Konflik tersebut dipicu oleh kedatangan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, Nancy Pelosi yang berkunjung ke Taiwan awal Agustus ini.
Konflik kawasan, antara China dan Taiwan mirip dengan perseteruan Rusia dan Ukraina. Kedua konflik ini, baik Rusia-Ukraina maupun China-Taiwan didasari oleh reaksi atas kekuatan eksternal.
”Konflik Taiwan ini butuh mitigasi serius agar tidak menjadi kenyataan perang terbuka,” tutur Mahfuz Sidik, Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia saat Gelora Talks yang bertajuk : Ancaman Perang di Taiwan, Mungkinkah dihindari? Secara daring di Jakarta, Rabu (31/8/22).
Hubungan kedua negara memanas, menurut Mahfuz, diperlihatkan dengan adanya latihan perang besar-besaran China, dan Taiwan menilai sebagai ancaman serius bahwa latihan ini untuk mempersiapkan invasi ke wilayahnya.
Begitupun Taiwan, juga mirip sejarahnya dengan Ukraina. “Isu kalau berubah jadi konflik nyata, akan banyak pengaruhnya dan komplek,” tuturnya.
Menurut Mahfuz, anggaran pertahanan menjadi penting, namun terkadang dipandang sebelah mata.
Pada umumnya, kebijakan pemerintah memang lebih mengedepankan benefit ekonomi secara langsung. Pahadal pembangunan pertahanan akan mendapat benefit secara tidak langsung (indirect).
“Seperti peningkatan SDM TNI AL, dipandang tidak penting, dan lebih penting BLT (bantuan langsung tunai), dan infrastruktur.” lanjutnya
Teuku Rezasyah, pakar Hubungan International mengatakan, sejatinya, China juga tidak ingin menyerang Taiwan, dan kalaupun terjadi pengerahan kekuatan militer, maka China sebenarnya lebih mampu.
Terlepas dari ini, lenjut Teuku, bagi Indonesia yang terpenting bagaimana memulangkan sekitar 300 ribu WNI di Taiwan, baik mereka yang bekerja atau belajar.
“Jadi sebaiknya, Indonesia lebih memilih status quo, dan penting saat ini. Seiring dengan itu, Indonesia juga harus mampu mandiri secara pertahanan,” ujanrya.
Teuku mengatakan, sikap status quo penting ditengah ketegangan dua negara tersebut, China dan Taiwan. Meski begitu, Indonesia juga tidak bisa tinggal diam apabila persoalan konfliknya meluas sampai ke Laut China Selatan.
“Kondisi sekarang TNI, memiliki tugas pokok, harus sebagai penyeimbang, mandiri dalam pertahanan, serta terus melanjutkan kerja sama strategis baik ke AS, Jepang, Korsel atau Uni Eropa,” terangnya.
Sementara, Connie Rahakundini Bakrie, Pengamat Militer dan Pertahanan menuturkan, Indonesia harus menyadari bahwa perang selalu muncul dalam kurun waktu tertentu. sejak dunia ini berputar, 4.000 tahun lalu, selama 800 tahun dihabiskan untuk berperang.
“Hal ini sudah disadari oleh Bung Karno saat itu,” terangnya.
Menyinggung kasus Taiwan, Connie mengharapkan tidak terjadi perang terbuka seperti Rusia dan Ukraina. Untuk itu, pemerintah tidak menanggapinya dengan cara normatif.
“Kasus Taiwan ini sangat danger, karena melibatkan perputaran ekonomi kawasan dan dunia yang cukup besar. Belum lagi wilayahnya sangat strategis dalam mempengaruhi perekonomian global.”
Menurut Connie, posisi Indonesia harus berada di tengah (inline).Seiring dengan itu, juga membangun peningkatan kapasitas pertahanan negara. Kenapa harus anti perang, karena dampak ekonomi buruk, inflasi dan berdampak terhadap geopolitik.Kita harus bangun pertahanan yang kuat di Asia Selatan.
Wawan Hari Purwanto, Pengamat Intelijen mengingatkan konflik Taiwan harus dikalkulasi dengan baik. Seperti efek di Rusia-Ukraina, memberikan efek harga pangan melambung.
“Intinya, kita ingin ketegangan China dan Taiwan ini tidak meletus, karena makin runyam persoalan dunia.” (Lia)