Kronologi Oligarki Asing Paksa Pemerintah Turunkan PPh 22% dan Naikkan PPN 12 %

Oleh Faisal S Sallatalohy | Pemerhati Kebijakan Publik

Ceritanya bermula pada tahun 2015, tepatnya di era Menteri Keuangan, Bambang Brojonegoro. Sejumlah pengusaha, oligarki termasuk asing meminta pemerintah turunkan PPh Badan dari 25% menjadi 17%. 

Pengusaha ngotot maksa pemerintah turunkan PPh Badan agar dapat bersaing dengan singapura dalam rangka menjamin peningkatan masuknya modal asing berinvestasi di Indonesia. 

Selaku Menkeu, Bambang bertanya, jika PPh Badan diturunkan sesuai keingingan pengusana, lalu bagaimana pemerintah bisa tetap menjaga sisi penerimaan pajak. 

PPh Badan yang diturunkan, tentu saja berdampak pada berkurangnya penerimaan pajak negara yang disetor pengisaha. Hal ini dapat berimplikasi pada rendahnya penerimaan negara. 

Para pengusaha menjawab dengan enteng: pemerintah bisa menambal kekurangan penerimaan pajak dari turunnya PPh Badan dengan cara menaikan tarif PPN secara bertahap. 

Jawaban yang terdengar sangat BANGSAT !!! 

Bagaimana mungkin, para pengusaha, para konglomerat besar dengan perusahan yang telah berstatus wajib pajak atau berpenghasilan tinggi itu, meminta porsi pembayaran pajaknya diturunkan, sebagai gantinya, masyarakat yang dipaksa membayar kekurangan penerimaan pajak negara lewat kenaikan PPN secara bertahap? 

Para konglomerat memang bangsat. Perusahan wajib pajak yang mereka dirikan dan kendalikan, memiliki pemdapatan yang sangat tinggi. Tidak puas dengan keuntungan tinggi tersebut, masih berambisi menggelembungkan keuntungan lewat paksaan pengurangan kewajiban PPh Badan. 

Agar ambisi rakusnya dapat berjalan tanpa mengganggu atau menurunkan penerimaan pajak negara, mereka mendikte pemerintah naikan PPN secara bertahap. Mereka untung, rakyat mampus. 

Bambang mengatakan, dirinya lantas menolak solusi instan tersebut lantaran hanya menguntungkan sisi pengusaha sementara memberatkan rakyat. 

Selepas dirinya tidak lagi menjabat, siasat licik pengusaha ini terus dipaksakan. Ketemu jalannya di era menkeu Sri Mulyani. 

Dengan tangan terbuka, Sri Mulyani menerima desakan pengusaha. Jokowi bertindak cepat mengeluarkan Surpres pada 5 Mei 2021. Dikirimkan ke DPR mendesak revisi UU No.6 Tajun 1983 tentang pajak. 

Proses revisi melahirkan UU No.7 Tahun 2021 yg secara resmi mulai berlaku 1 Janurai 2022. Sesuai perkataan Bambang, pemerintah dan DPR akhirnya menetapkan PPh badan diturunkan dari 25% jadi 22%. 

Sementara dalam pasal 7, PPN dinaikan secara bertahap, 11% di 2022 dan 12% paling lambat 1 Januari 2025. 

Jadi kenaikan pajak secara bertahap dilatar belakangi desakan pengusaha dan dijawab pemerintah-DPR dengan baik. 

Kenaikan ini tidak didasarkan pada pertimbangan hitung-hitungan ekonomi yg matang. Tidak disandarkan atas kajian ketahanan perekonomian masyarakat. 

Liat saja, dalam keadaan ekonomi rakyat yg tidak stabil, PHK meluas, pengangguran bertambah, kemiskinan akut, pendapatan rendah, banyak rakyat terjerat pinjol, jatuhnya kelas menengah, pemerintah tetap saja ngotot jalankan perintah pengusaha naikan PPN 12%. 

Hal ini menunjukan, tidak ada bedanya Prabowo dan Jokowi. Sama-sama menuruti perintah ologarki. Padahal Prabowo punya pilihan untuk membatalkan kenaikan PPN. 

Sebagaimana tertuang dalam pasal 7 ayat 3, kenaikan PPN bisa dinaikan sampai 15%, sebaliknya bisa diturunkan ke 5%. 

Jika Prabowo memang sejak awal memang berjowa patriot, pahlawan pembela HAM sebagimana yg selalu, harusnya memilih untuk menurunkan di bawa 11%, bukannya menaikan. 

Sama saja. Rajin berpidato berapi-api bela kepentingan. Nyatanya hanya omon-omon yg omong kosong. Penjajah berbaju patriot. Dengan lapang dada lanjutkan tugas Jokowi jalankan keinginkan pengusaha naikan PPN secara berkala. (*)

259

Related Post