Laporan Dugaan Korupsi Ahok ke KPK

Jakarta, FNN - Akhirnya, Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK) melaporkan dugaan kasus korupsi yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis, 6 Januari 2022.

PNPK menyampaikan ringkasan sejumlah kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ahok dan buku “Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok”. Sebagian dari kasus-kasus tersebut bahkan telah diselidiki KPK di bawah pimpinan sebelumnya, namun tidak jelas kelanjutannya.

PNPK juga menilai KPK di bawah pimpinan Agus Raharjo bersikap tidak profesional dalam penanganan kasus-kasus dugaan korupsi, dan bersikap “pilih-tebang”.

Sehingga, membuat sejumlah kasus korupsi besar Ahok justru dihentikan. “KPK saat itu dianggap melindungi Ahok agar lolos jerat hukum melalui penghentian proses penyelidikan dan penyidikan,” tegas PNPK.

Sikap dan sepak terjang KPK seperti di atas tentu jauh dari harapan publik. Bahkan kebijakan dan pola kerja yang ditempuh KPK itu telah membuat pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan di tempat, dan tujuan awal pembentukan KPK sesuai amanat reformasi dan perintah UU semakin jauh dari target yang ingin dicapai.

“Kami berharap KPK tidak berubah peran menjadi alat politik penguasa, sehingga menimbulkan adanya “penyanderaan” atau barter kasus yang berujung pada dihentikannya proses hukum,” tulis laporan itu.

“Kami pun tidak mengharapkan bertambah atau berubahnya peran KPK menjadi bagian dari perangkat politik penguasa guna “menjinakkan” para pimpinan partaiyang menjadi lawan politik penguasa,” lanjutnya.

PNKP juga sangat khawatir KPK berubah menjadi lembaga pelindung koruptor guna mengamankan kepentingan oligarki penguasa-pengusaha. Sikap KPK ini terlihat dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan Ahok.

Untuk maksud tersebut, pimpinan KPK sampai perlu membuat pernyataan “absurd” bahwa Ahok tidak memiliki niat jahat, meskipun alat bukti guna memeroses kasus sudah lebih dari cukup.

Sehubungan dengan uraian tersbut di atas, PNKP meminta agar KPK segera melanjutkan kembali proses hukum terhadap dugaan korupsi Ahok seperti kami ringkaskan terlampir, bukan menghentikannya.

“Dengan demikian, KPK sekaligus dapat membuktikan diri bukan pelindung koruptor, alat politik penguasa, atau bagian dari oligarki,” tegas PNPK.

Kasus-kasus Dugaan Korupsi Ahok

1. Kasus RS Sumber Waras

Berbagai pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara yang dilakukan oleh Ahok dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). KPK telah melindungi Ahok dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai niat jahat, sebagai berikut:

  • Merubah nomenklatur R-APBD 2014 tanpa persetujuan DPRD DKI, dan memanipulasi dokumen pendukung pembelian lahan dengan modus backdated;

  • Mengabaikan rekomendasi BPK untuk membatalkan pembelian lahan RSSW. Hal ini melanggar Pasal 20 Ayat 1 UU No.15/2004;

  • Berpotensi merugikan negara Rp 191 miliar. Hal ini melanggar Pasal 13 Undang-Undang No.2/2012 dan Pasal 2 Perpres No.71/2012;

  • Bepotensi tambahan kerugian negara Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sisanya digelapkan;

  • Berpotensitambahan kerugian negara miliaran Rp dari sewa lahan, danbertentangan dengan Pasal 6 Permendagri No.17/2007, PP No. 27/2014 dan UU No 17/2003.

2. Kasus Lahan Taman BMW

Diduga Ahok terlibat tindak pidana korupsi dalam kasus Taman BMW dan berpotensi merugikan negara puluhan miliar Rp sbb:

  • Tanah BMW yang diklaim Agung Podomoro (AP) akan diserahkan pada Pemda DKI sebagai kewajiban, ternyatabukanlah milik AP; lahan berstatus bodong, tidak ada satu dokumen yang secara hukum sah kalaulahan BMW menjadi milik Pemda DKI;

  • Telah terjadi pemalsuan tandatangan dalam proses pemilikan lahan oleh AP;

  • Pemda DKI telah membuat sertifikat sebagian lahan BMW dengan melanggar hukum, dan telah berperan menjalankan tugas yang harusnya dilakukan oleh AP, yang melanggar PP No.24/1997 dan PMNA No 3/1997.

3. Kasus Lahan Cengkareng Barat

Terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan Ahokadalah:

  • Sesuai audit BPK, Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik Pemda sendiri di Cengkareng Barat dari Toeti Noezlar Soekarno. Negara berpotensi dirugikan Rp 668 miliar;

  • Terjadi penyalahgunaan dana APBD yang melanggar UU No.20/2001, tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor;

  • Dalam proses pembelian lahan terdapat pelanggaran gratifikasi oknum PNS Pemprov DKIRp10 miliar, yang melanggar Pasal 12 UU No.20/2001;

  • KPK telah berperan menetralisir kasus dengan memeroses dan menerima pengembalian gratifikasi Rp 10 miliar, namum menghentikan kasus korupsinya sendiri, Rp 668 miliar.

4. Kasus Dana CSR

Kasus dana CSR melibatkan Ahok Centre, dipimpin dan dikelola Ahok dan tim sukses: Dana CSR diperoleh dari puluhan perusahaan bernilai puluhan-ratusan miliar Rp, ternyata oleh Ahok tidak dimasukkan ke dalam APBD, tetapi dikelola Ahok Centre;

  • Pengelolaan dana CSR oleh Ahok Center di luar APBD antara lain melanggar 1) UU No.40/2007 tentang PT; 2) PP No.47/2012 tentang TJSL; 3)P emern BUMN N0.5/2007 tentang Kemitraan BUMN;4)PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;dan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.

Pembangunan di Jakarta banyak menggunakan dana CSR, dan untuk itu Ahok bekerja sama dengan pengembang. Kerjasama ini sarat kepentingan dan ada motif kongkalikong yang jauh dari pantauan DPRD dan publik, sehingga rawan terhadap tindak pidana KKN.Pada Februari 2016 KPK telah mengusut kasus ini, namuntakjelaskesimpulannya.

5. Kasus Reklamasi Teluk Jakarta

Berdasarkanfakta-fakta persidangan M. Sanusi dan Ariesman Wijaya, serta analisis sejumlah pakar, disimpulkan dugaan KKN Ahok dalam kasus reklamasi sbb:

  • Dari kasus penggusuran Kalijodo, Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Wijaya mengaku telah menggelontorkan dana miliaran rupiah (Rp) untuk menggusur rakyat. Dana diberikan atas permintaan Ahok, dengan kompensasi APL mendapatkan izin dan hak membangun sejumlah pulau reklamasi di Teluk Jakarta;

  • Ahok juga melakukan transaksi terselubung dengan para pengembang dengan suap miliaran atau puluhan miliar rupiah. Ahok telah memberikan izin-izinreklamasi, padahal pembahasan Raperda Zonasi Wilayahdengan DPRD DKI masih berlangsung;

  • Berdasarkan fakta sidang-sidang M. Sanusi, Ahok setuju menurunkan kontribusi tambahan 15% NJOP menjadi 5% NJOP. Ahok merestui langkah Sunny Tanuwijaya melobi anggota DPRD DKI agar poin kontribusi dapat direvisi;

  • Sugianto Kusuma (Aguan) telah memberikan dana Rp 220 miliar kepada Pemprov  DKI. Hal ini merupakanpelanggaran gratifikasi oleh Ahok dan oknum Pemprov DKI;

  • Meskipun fakta-fakta persidangan jelas menunjukkan keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, namun KPK menghentikan proses pengadilan terhadap ketiganya;

  • Pelanggarakan hukum yang dilakukan Ahok dalam proyek reklamasi meliputi:

  • Menyalahgunakan wewenang guna memperkaya diri sendiri dan orang lain, yang melanggar Pasal 12 UU No.20/2001 tentang Tipikor;

  • Mendirikan bangunan tanpa Amdal, yang melanggar Pasal 22UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

  • Menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Zonasi, yang melanggar UU No.1/2014 berupa perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;

  • Menerbitan izin reklamasi diluar kewenangan Pemprov DKI, dan bertentangan dengan PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

  • Menerbitkan izin reklamasi tanpa landasan hukum, karena Kepres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP No. 54/2008;

  • Mengabaikan peraturan kepentingan publik, yang melanggar UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

    Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pelaksanaan proyek reklamasi dapat merugikan negara puluhan-ratusan triliun rupiah. Ternyata Agus dan KPK double standard. KPK tidak melanjutkan proses hukum terhadap Ahok, Sunny dan Aguan. KPK tampaknya telah takluk.

6. Kasus Dana Non-Budgeter

Praktik dana non-budgeter dilakukan Ahok pada banyak kasus. Dengan dalih memiliki hak diskresi, Ahok membarter pembangunan fasilitas umum dengan penerbitan izin dan penetapan nilai kontribusi proyek reklamasi. Ahok juga memanfaatkan dana CSR secara off-budget untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Berdasarkan pengakuan Ariesman Widjaja (Agung Podomoro Land, APL) pada penyidik KPK, terdapat 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan APL, yang anggarannya akan dijadikan pengurang “kontribusi tambahan” proyek reklamasi. Pengurangan terjadi kalau APL membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta.

Ternyata pembangunan sejumlah sarana di DKI dilakukan Ahok memanfaatkan dana non-budgeter. Hal ini sering diklaim sebagai langkah inovatif dan keberhasilan. Namun dibalik klaim dan pencitraan tersebut tersembunyi berbagai tindakan berbau KKN, karena penerapan skema dana non-budgeter melanggar hukum dan prinsipgood governance.

Ahok menjalankan skema dana non-budgeter yang berpotesi merugikan keuangan daerah DKI puluhan triliunan Rp. Tindakan bejad, serampangan dan sarat KKN ini minimal melanggar ketentuan dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengelolaan dana dan pembangunan berdasarkan skema non-budgeter termasuk kategori mega korupsi!

7. Kasus Penggusuran Brutal oleh Ahok

Ahok dapat dikategorikan sebagai pejabat publik penggusur paksa paling brutal sepanjang sejarah Indonesia. Ahok menggusur puluhan kampung di Jakarta dengan tiga pola sistemik berupa stigmatisasi, menyatakan tanah yang akan digusur adalah tanah negara, justifikasi menyatakan bahwa penggusuran dilakukan demi pembangunan dan kepentingan umum, dan langkah pamungkas: hancurkan, tanpa musyawarah, ganti rugi, dlll.

Ternyata motif di balik sebagian besar penggusuran oleh Ahok adalah kepentingan bisnis para pengembang. Dengan pembersihan dan penguasaan kawasan kumuh oleh pengembang, maka nilai jual properti meningkat. Begitu pula dengan area hasil gusuran yang diubah menjadi hunian, ruko atau jalan akses atau taman terbuka. Jalan akses dan ruang terbuka menuju kawasan hunian, aparemen dan area reklamasi akan membuat nilai jual properti meningkat untuk dinikmati para pengembang.

Beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam menajalankan kebijakan penggusuran paksa rakyat adalah:

  • Melanggar Pasal 28A, 28B(2), 28C (1), 28E (1), 28G (1&2) dan 28H (1) UUD 1945;

  • Melanggar berbagai ketentuan dalam UU No.11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya;

  • Melanggar UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM;

  • Melanggar Pasal 13 UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara dan Pasal 6 UU No.34/2004 tentang TNI, yang melibatkan aparat TNI/Polri dalam menggusur rakyat;

  • Melanggar sejumlah UU dan peraturan yang terkait dengan penerapan skema dana non-budgeter seperti diuraikan sebelumnya pada Butir 5 di atas.

8. Lain-lain

Selain tujuh kasus dugaan korupsi di atas, dalam buku Dugaan Korupsi Ahok termuat pula berbagai kasus lain, yakni tentang dugaan korupsi saat Ahok menjadi Bupati Belitung Timur, “Dukungan Presiden Jokowi kepada Ahok”, “Dukungan Penegmbang kepada Jokowi-Ahok”, “Demi Ahok Peraturan Dilanggar”, “Jokowi-Ahok Saling Tersandera”, dan lain-lain. (mth)

 

147

Related Post