Leadership of Hope: Demokrasi, Redistribusi dan Krisis Global Dalam Regenerasi Kepemimpinan Indonesia ke Depan (1)
Terkait persoalan dalam negeri, saat ini kemiskinan dan ketidakpastian hidup dirasakan oleh mayoritas bangsa kita. Survei Kompas baru-baru ini menunjukkan 70% orang Indonesia mengalami kesulitan membeli kebutuhan pokok. Ini sekedar indikator saja.
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Sabang Merauke Circle
(Disampaikan pada acara 25 Tahun Mega Bintang, 5 Juni 2022, di Solo)
BANGSA Indonesia ke depan akan mengalami regenerasi kepemimpinan nasional dengan tantangan yang sangat berat.
Regenerasi itu terjadi manakala tokoh-tokoh sentral dalam perpolitikan nasional, seperti Megawati Sukarnoputri, Surya Paloh, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Panjaitan, dan lain sebagainya, mengalami usia renta dan oleh karenanya secara alamiah harus lengser dari perpolitikan nasional.
Berbagai kalangan yang lebih muda, seperti Anies Baswedan, Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Agus Harimurti Yudhoyono, Gatot Nurmantyo, Andika Perkasa, Erick Tohir, Sandiaga Uno, La Nyalla Mattalitti, dan lain sebagainya, telah menawarkan diri untuk menerima estafet kepemimpinan nasional tersebut.
Persoalannya adalah situasi nasional dan global yang menyertai regenenerasi saat ini begitu buruk, khususnya setelah berbagai masalah bertubi-tubi, yang dalam level global, diatandai dengan krisis pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia dan ketegangan dagang dan politik antara Amerika/Barat dengan China, serta dalam level nasional kita mengalami kemunduran ekonomi, perpecahan politik dan merosotnya moral kebangsaan.
Kemerosotan moral kepemimpinan saat ini ditandai dengan merajalelanya korupsi, termasuk korupsi bantuan sosial, maupun kejahatan terkait langka dan mahalnya minyak goreng serta pula adanya menteri-menteri yang mencari keuntungan bisnis dari situasi pandemi Covid 19.
Dalam ulang tahun Mega-Bintang ini, saya akan mengupasnya dalam judul di atas, yang melihat dimensi demokrasi, dimensi keadilan sosial dan krisis global sebagai faktor penting yang harus dipertimbangan bagi semua pihak untuk kelanjutan eksistensi bangsa ini.
Kita membutuhkan kepemimpinan nasional baru yang kokoh ke depan. Kita harus meninggalkan kepemimpinan korup, yang berpura-pura cinta rakyat, dan minus nasionalisme, menuju kepemimpinan yang penuh harapan. Dimensi “Leadership nasional” bukan “leader” adalah gugusan kepemimpinan, bukan sekedar seorang pemimpin.
Dibutuhkan kepemimpinan kolektif yang penuh harapan bukan pemimpin-pemimpin lemah, apalagi sekedar menjual negara ini kepada asing. Mega-Bintang sebagai sebuah spirit, yakni sprit perlawanan atas penindasan bagi kaum miskin dan atas kepemimpinan negara yang otoriter, di masa lalu, diharapkan dapat menjadi refleksi untuk kita menemukan jalan konsolidasi kekuatan rakyat yang mampu melahirkan kepemimpinan nasional yang penuh harapan itu (leadership of hope).
Persoalan kita saat ini sesungguhnya terlalu banyak (too many) untuk kita pikirkan, kompleks dan komplikasi. Pertama, yang paling berat adalah soal demokrasi yang amburadul dan perpecahan bangsa. Dalam kacamata indonesianis, demokrasi kita saat ini bersifat tidak menentu.
Ada yang menyebutnya illiberal-demokrasi, yakni demokrasi yang bersifat seolah-olah namun faktanya dikendalikan rezim yang berkuasa. Ada juga yang menyebutnya “Jokowi’s Authoritarian Turn”. Kebebasan berserikat dan berkumpul mengalami kemunduran yang tajam, seperti kembali pada masa orde baru.
Perbedaan pendapat diseleksi oleh rezim yang berkuasa, mereka berusaha menjinakkan dengan berbagai rayuan, sampai pada pemenjaraan aktifis, seperti yang saya dan beberapa anggota Koaliasi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan beberapa pimpinan Front Pembela Islam (FPI) alami juga.
Pemberlakuan undang-undang maupun pasal-pasal karet dilakukan terang-terangan, sekali lagi mirip dengan orde baru ketika menangkapi para aktifis dengan UU Subversif.
Rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) berusaha memonopoli narasi demokrasi dan ideologi dalam versi yang mereka inginkan. Terutama ketika mendirikan Badan Pembinaan Ideologi Pancasiala (BPIP). Ini persis saat Presiden Suharto mendirikan BP7, Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Masyarakat dibelah oleh garis ideologi semu, Pancasila versus non Pancasila, sesuka hati definisi penguasa.
Faktanya, arah bangsa yang salah, saat ini diakui sendiri oleh “shareholders” rezim Jokowi. Surya Paloh, seorang pendiri rezim Jokowi, mengakui bahwa Indonesia saat adalah negara kapitalis liberal dan uang adalah segala-galanya, artinya bukan negara Pancasila.
“You tahu nggak bangsa kita ini adalah bangsa kapitalis hari ini, you tahu nggak bangsa kita ini bangsa yang sangat liberal hari ini. Ngomong Pancasila, mana itu Pancasila,” demikian petikan pidato Paloh di Universitas Indonesia, 14 Agustus 2019, yang dikutip berbagai media.
Megawati Soekarnoputri pada tahun ini telah menuduh DPR suka bikin undang-undang yang inkonstitusional dan orang-orang pintar di Indonesia banyak menjual aset negara. Menteri Jokowi, Mahfud MD, juga mengakui adanya situasi perpecahan bangsa yang begitu besar, serta kepemimpinan yang lemah, menuju tahun 2024 nanti.
Banyak lagi potret politik yang kacau balau, seperti kegagalan pemerintah mengendalikan harga minyak goreng, penunjukan militer dan polisi aktif dalam jabatan kepala daerah masa transisi, nafsu kekuasaan rezim Jokowi untuk memperpanjang jabatan ataupun isu 3 periode, dan lain sebagainya, khususnya pula upaya mempertahankan UU Omnibus Law yang sejatinya inkonstitusional.
Buruknya demokrasi, pengekangan atas kebebasan dan arah bangsa yang salah, sejalan dengan pembajakan demokrasi oleh kekuatan oligarki. Biaya politik yang mahal dan semakin lebih mahal lagi, menunjukkan kegagalan eksistensi ideologi bangsa dan juga ideologi partai politik saat ini.
Tanpa ideologi, dan kepemimpinan yang memihak rakyat dan kepentingan nasional, maka pemilik modal mampu mengkooptasi negara dan partai politik untuk kepentingan segelintir pemilik modal itu sendiri. Oligarki juga selalu melakukan politik “devide et impera”, poltik adu domba, agar rakyat bertikai satu sama lainnya, sehingga kehabisan energi untuk perubahan struktural.
Dan itu telah terjadi, saat ini, khususnya diperlihatkan, misalnya, oleh adanya keinginan pemilik modal menentukan siapa presiden Indonesia terus menerus dan oleh kasus ketidakberdayaan rakyat memperoleh harga minyak goreng dan berbagai barang lainnya secara murah saat ini.
Kedua, terkait persoalan dalam negeri, saat ini kemiskinan dan ketidakpastian hidup dirasakan oleh mayoritas bangsa kita. Survei Kompas baru-baru ini menunjukkan 70% orang Indonesia mengalami kesulitan membeli kebutuhan pokok. Ini sekedar indikator saja.
Deindustrialisasi dan informalisasi sektor formal, terlebih akibat pandemi Covid-19, menjadi fenomena kehidupan, yang mana pertahanan hidup rakyat bergantung pada penghasilan terbatas harian dan pertolongan keluarga dalam “extended family”.
Memang paska pandemi Covid 19, semua negara mengalami kesulitan dalam mempertahankan kelayakan hidup masyarakat bawah. Di Amerika, misalnya, TIME edisi Mai 2022, mengulas situasi di Amerika “Middle Class, Low Hope”, dengan “trouble with the H’s”, yakni mahalnya harga kontrakan (House), mahalnya biaya kesehatan (Health Care) dan biaya pendidikan (Higher Education).
Beberapa media di Prancis, juga mengatakan bahwa gerakan mahasiswa di Perancis saat ini bangkit merespon kepemimpinan nasional mereka, baik Emmanuel Jean-Michel Frédéric Macron, maupun oposisi Maria Le Pen, tidak punya konsep mengurus rakyat bawah.
Persoalannya, negara-negara besar mempunyai kekayaan yang cukup untuk bertahan dalam krisis ekonomi yang panjang. Namun, negara berkembang, seperti Pakistan dan Bangladesh, kita saksikan mengalami kegagalan dalam mempertahankan diri dalam situasi seperti ini. (*)