Makin Tidak Jelas Soal Janji Anies ke Prabowo, Fadli Zon dan Sandiaga Saling Lempar

Jakarta, FNN – Politisi Gerindra, Fadli Zon, akhirnya buka suara soal perjanjian politik antara Anies Baswedan dengan Prabowo Subianto. Fadli Zon mengakui bahwa dia yang mendraft perjanjian yang tersdiri dari 7 poin tersebut. Fadli Zon juga mengakui bahwa dirinya mengetahui soal utang piutang antara Anies dengan Sandi yang jumlahnya mencapai 50 miliar. Apa isi 7 poin perjanjian itu?

Fadli Zon tidak bicara secara tegas dan eksplisit tentang 7 point perjanjian tersebut, sementara soal perjanjian utang piutang sebesar 50 miliar antara Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno, Fadli Zon mempersilahkan media untuk menanyakan hal itu secara langsung kepada Sandiaga. “Ada, kebetulan saya yang mendraft, saya yang menulis, ada 7 poin. Kalau itu urusannya urusan Pilkada,” kata Fadli Zon menjawab pertanyaan wartawan ketika menghadiri hari ulang tahun partai Gerindra.

“Tadinya, banyak orang berharap bisa mendapat penjelasan dari Fadli Zon tentang perjanjian politik antara Pak Prabowo dengan Pak Anies, tetapi Fadli Zon tidak memberikan penjelasan juga.  Ini jadi malah membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya ada apa kok kesannya semua orang saling menutupi,” ujar Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Senin (6/2/23). Kalau merujuk pada penjelasan Fadlizon, 7 poin perjanjian itu berkaitan dengan Pilkada, bukan soal pencapresan.

Sedangkan soal utang piutang 50 miliar, ketika wartawan menanyakan kepada Sandi di tempat yang sama, saat ulang tahun Gerindra, Sandi juga terkesan menghindar. “Saya baca dulu, belum bisa kasih statement,” kata Sandiaga Uno.

Soal janji politik dan utang piutang ini memang menjadi heboh di media sosial. Sandi mengungkap perjanjian tersebut dalam wawancaranya dengan Akbar Faisal Unsensor, tapi dia tidak secara spesifik menyebut seperti apa perjanjian itu. Kemudian banyak yang menduga soal pencapresan, yaitu Anies tidak akan maju sebagai capres jika pada saat yang bersamaan Prabowo juga nyapres. Sementara soal utang piutang yang membuka adalah politisi Golkar, Erwin Aksa, anggota timses Anies – Sandi pada Pilkada DKI.

 Namun, soal utang piutang ini sudah ada bantahan dari Sudirman Said, mantan anggota timses Anies pada Pilkada DKI tahun 2017 dan sekarang kembali menjadi timses Anies pada Pilpres. Menurut Sudirman Said, soal utang piutang sudah beres, karena dalam perjanjian disebutkan bahwa kalau keduanya menang maka utang piutang dianggap lunas, karena dianggap berbagi beban.

Tetapi, belakangan isu itu sangat mengganggu para partner koalisi yang mendukung Anies Baswedan. Wakil ketuan Umum Nasdem, Ahmad Ali, misalnya, dia minta agar Nasdem tidak dikait-kaitkan dalam soal itu. Sedangkan Demokrat memberikan statement  yang cukup keras, “Benar atau tidaknya apa yang disampaikan oleh Bang Erwin Aksa silakan ditanyakan langsung ke Mas Sandi saja untuk membuka faktanya. Minta beliau buka saja agar terang benderang, membuktikan adalah tugas yang menuduh, bukan yang dituduh,“ kata Kamhar Lakumani.

 “Soal utang piutang 50 miliar ini kan bukan duit kecil. Saya kira orang seperti Anies Baswdan tahu betul soal agama. Ini hukum utang piutang itu berat. Bukan soal besar kecilnya, tapi pokoknya namanya utang piutang itu harus diselesaikan,” ujar Hersubeno.

“Aneh ya kalau yang tahu dan terlibat dalam persoalan ini malah terkesan saling melempar dan kemudian bahkan menghindar, kalaupun mau bicara hanya samar-samar, hanya memberikan semacam insinuasi saja. Tentu saja ini kemudian menjadi komoditas politik,” tambah Hersu.

Menurut Hersu, dari setting politik, memang mereka yang dulu bersekutu pada Pilkada DKI 2017 sekarang saling berhadapan dan punya kepentingan politik berbeda-beda serta punya jagoan masing-masing. Sandiaga Uno harus mendukung Pak Prabowo, Erwin Aksa harus mendukung Airlangga Hartarto, sementara Anies Baswedan akan berhadapan dengan Prabowo. Dengan demikian petanya berubah. “Ya wajar kalau mereka mencoba saling menjatuhkan,” kata Hersu.

Kita tidak bisa berharap bahwa soal ini akan terbuka secara transparan karena dalam politik justru soal seperti ini yang lebih menarik. Dalam politik yang paling penting adalah persepsi. “Jadi, kelihatannya mereka mencoba membiarkan publik dan netizen tidak terlampau mendapat penjelasan yang riil tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi membiarkan mereka hidup dalam persepsi masing-masing,” kata Hersu.

Kalau kasus ini dibuka secara transparan, lanjut Hersu, kita akan bicara fakta, bukan bicara persepsi. Padahal, dalam politik persepsi itu yang paling penting. “Saya menduga kasus ini tidak akan pernah terbuka secara transparan. Ini akan dibiarkan menggantung sampai nanti Pilpres berlangsung,” ujar Hersu. (ida)

456

Related Post