Maksud Baik Risma
Oleh Ady Amar *)
Tri Rismaharini, biasa dipanggil Risma, Menteri Sosial RI, selalu buat berita. Jika mengira berita terbarunya masih seputar marah-marah, itu tidak salah. Memang marah seolah jadi ciri khasnya. Semacam kegemaran, acap emosinya tak tertahan, meledak jadi kemarahan. Seperti orang tidak sabaran, itu jadi trade mark seorang Risma.
Risma memang buat berita, tapi kali ini bukan berita marah-marah khasnya. Sikapnya kali ini sebenarnya diniatkan memberi semangat pada penderita disabilitas. Tapi laku Risma seolah "memaksa" penyandang disabilitas, tepatnya tunarungu, berbicara di hadapan banyak orang.
Peristiwa itu terjadi saat peringatan Hari Disabilitas Internasional, 1 Desember 2021. Ia mengajak Aldi, seorang tunarungu naik ke atas panggung. Memberi semangat, terkesan memaksa, agar ia mau berbicara. Risma memintanya untuk menyampaikan apa yang ada dipikirannya, dan itu dengan berbicara langsung tanpa alat bantu.
Kata Risma menyemangati, "Kamu ingin kita tidak merusak bumi kan? Kamu sekarang ibu minta bicara tidak pakai alat, kamu bicara Aldi... kamu bicara," sebagaimana dikutip dari YouTube Kemensos RI, Kamis (2/11/2021).
Dengan tergagap-gagap, yang dibantu Risma, keluar dari mulut anak itu, "Aldi mau lestarikan alam." Maka tepuk tangan membahana. "Bisa lo Aldi... bisa Aldi kamu bicara," ucap Risma penuh kebanggaan.
Gaya Risma yang memaksa mendapat protes banyak pihak, termasuk kaum disabilitas sendiri. Risma ingin menyamakan kemampuan semua orang itu sama, dan itu di hadapan banyak orang. Risma tidak menyelami jenis penyandang tunarungu yang bermacam tingkatan, dan mereka lebih nyaman berbicara dengan bahasa isyarat, tapi dipaksanya untuk berbicara.
Gaya Risma memang terbiasa dengan gaya memaksa. Itu yang biasa ia lakukan pada bawahan disekelilingnya. Jika tidak sesuai dengan yang diinginkan, maka bawaan Risma marah-marah. Bahkan jika target tidak bisa dipenuhinya atau di luar ekspektasinya, ia akan menangis sesunggukan sampai ndelosor segala. Setidaknya adegan itu pernah ia lakukan di hadapan pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya. Saat itu ia masih sebagai Walikota Surabaya. Saat Covid-19 di Surabaya meningkat pesat, sehingga RS-RS yang ada kewalahan menampung pasien, Risma tampak stres dan sesunggukan sampai pingsan segala. Risma memang atrakrif.
Gaya memaksa seorang Risma pastilah tidak disadarinya, yang itu diteruskan pada anak-anak disabilitas yang pendekatannya seharusnya dengan metode khusus, metode tidak biasa.
Niat Risma ingin menyetarakan anak disabilitas dengan anak normal itu baik, jika itu menyangkut perlakuan yang sama dalam hal memperoleh hak-hak manusiawi. Tapi menjadi absurd jika yang diinginkan adalah kemampuan berbicara anak tunarungu yang bisa sama dengan anak normal. Sesuatu yang pastinya tidak akan sama.
Menjadi salah besar jika pandangan Risma soal kesetaraan, itu seolah anak disabilitas itu sebagai anak kurang pintar yang karenanya ingin disetarakan. Tidak bisa disamakan demikian. Disabilitas mestinya dilihat sebagai kekurangan pada fisik dan itu kodrati. Tidak perlu harus disetarakan dengan cara dipaksa melakukan yang membuatnya tidak nyaman.
Komunikasi yang dibangun Risma selalu pada persepsi atas dirinya. Sehingga tanpa ia sadari, kaum disabilitas pun dipaksanya bisa melakukan hal yang sama atas nama kesetaraan. Justru hal sebaliknya yang Risma pertontonkan, itu pun tanpa disadarinya, ia menekan psikis penyandang disabilitas di depan publik luas.
Risma tampak belum mampu berkomunikasi dengan hati, dan itu dengan pendekatan proyeksi. Melihat pihak lain bukan sebagaimana dirinya. Dengan begitu, ia menyesuaikan dengan kemampuan pihak lain. Apalagi saat berkomunikasi dengan pihak disabilitas, yang pastinya diperlukan pola komunikasi khusus pula.
Maksud baik Risma yang ingin menyetarakan kaum disabilitas, itu dinilai tidak tepat dan dianggap menekan psikologis Aldi. Perlakuan yang dianggap baik, itu tidaklah cuma diukur dengan persepsi seorang Risma. Jika itu yang dilakukan, maka komunikasi yang dimunculkan adalah komunikasi menekan, menganggap itu yang paling tepat.
Maka, menekan itu pun sebenarnya marah-marah dalam maknanya yang lain, yang punya nilai sama-sama kerasnya. Bahkan menekan psikis, itu punya daya rusak lebih dahsyat. Meski itu dimaksudkan untuk hal yang dianggapnya baik.
Kasihan sebenarnya Risma itu. Menjadi tak pantas menghukumnya berlebihan. Justru kita dituntut empati, mampu melihat niat baiknya meski yang dimunculkan hal yang tidak semestinya. Mau apa lagi... (*)
*) Kolumnis