Masyarakat Rempang Terbuka untuk Investasi Dengan Syarat Tidak Direlokasi
Jakarta, FNN | Melalui rapat kabinet terbatas, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengubah cara pendekatan terhadap masyarakat atau warga Rempang, karena diakui bahwa selama ini pendekatannya kurang elegan. Presiden Jokowi meminta agar pendekatan yang dilakukan lebih soft untuk memindahkan warga di Pulau Rempang. Selain itu, deadline tanggal 28 September harus clean and clear juga tidak ada lagi.
Dalam perbincangan antara aktivis Aliansi Pemuda Melayu dan aktivis Forum Tanah Air, Aris Sudarwanto, dengan Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, di kanal You Tube Hersubeno Point edisi Selasa (26/9/23), Aris mengatakan bahwa terkait dengan keputusan rapat terbatas antara Presiden Jokowi dengan menteri terkait, termasuk Menteri Investasi Bahlil, yang menyatakan bahwa deadline pengosongan Pulau Rempang pada tanggal 28 September ini dibatalkan, masyarakat Rempang, terutama masyarakat Kampung Melayu, Masyarakat Adat, dan Masyarakat Kampung Tua, menyambut gembira.
Namun, lanjutnya, masyarakat masih gundah gulana karena di balik keputusan tanggal 28 tidak jadi ada pengosongan, pemerintah masih bersikukuh untuk memindahkan beberapa kampung ini ke tempat lain. Keputusan yang terbaru adalah menggeser sisi pantai timur ke sisi selatan Pulau Rempang.
“Yang diinginkan oleh masyarakat, walaupun sekarang kondisinya sudah cukup kondusif, tapi yang diinginkan oleh masyarakat Rempang adalah mereka tidak direlokasi, atau tetap diizinkan dan tetap disetujui untuk tinggal di tanah kelahiran mereka,” ujar Aris.
Menjawab pertanyaan apakah ada perbedaan yang sinifikan antara sisi pantai timur dengan sisi Pantai selatan , Aris mengakan, kalau dilihat investasi dari China, terutama yang digembar-gemborkan oleh PT MEG dan Xinyi Group untuk produksi kaca dan panel surya ini, maka keinginan mereka dari awal adalah menguasai seluruh Rempang dan mengosongkan semuanya. Namun, kemudian ada gejolak hingga akhirnya mengecil menjadi 2000 hektar.
“Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah mereka dalam berinvestasi di Rempang ini, tentu ingin mengamankan segala produktivitas, marketing, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, yang dipikirkan oleh mereka adalah akan membangun pelabuhan baru, yang mana apabila pelabuhan ini dibangun di sisi timur Pulau Rempang maka sangat memudahkan bagi PT Xinyi untuk loading dan unloading barang yang akan diproduksi. Karena pantai yang menghadap sisi timur, apabila mereka keluar berlayar, akan terus menghala ke China, Korea, Taiwan, dan Hongkong. Namun, apabila mereka tidak mendapatkan lokasi di sisi pantai timur atau sisi yang pantai barat, misalnya, mereka akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berputar ke selatan atau berputar ke utara melewati Selat Singapura, yang tentu akan menambah cost dan biaya. Ini yang perlu digarisbawahi,” ujar Aris.
Sebelumnya, lanjut Aris, ketika kerusuhan terjadi di kantor BP Batam pada 11 September lalu, Walikota Batam ex officio, termasuk ketua BP Batam, mengambil langkah cepat dengan mengadakan rapat bersama Forkopinda dan tokoh-tokoh adat Melayu. Dari rapat tersebut akhirnya dihasilkan suatu kebijakan bahwa yang akan dikelola hanya 2000 hektar dan yang akan dipindahkan hanya 3 kampung. Namun, menurut rapat terbatas terbaru yang dipidahkan 5 kampung, tambah dua kampung lagi, dari 700 KK menjadi 900 KK.
Semula mereka akan direlokasi ke Pulau Galang, tapi yang terbaru, karena masyarakat tidak bersedia direlokasi, pemerintah akhirnya hanya menggeser ke Tanjung Banun, yaitu pantai selatan dari Pulau Rempang. Walaupun pergeseran ini hanya berjarak beberapa kilometer, namun psikologi yang akan dilalui oleh masyarakat Rempang apabila berpindah adalah tercabutnya history dan akar budaya dari kampung yang ditinggali oleh leluhur mereka selama ini. Itu yang mereka beratkan.
“Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa masyarakat Melayu di Rempang tidak menolak investasi. Mereka terbuka untuk menerima investasi, tapi dengan syarat mereka tidak direlokasi,” ujar Aris.
Aris juga mengatakan bahwa dari keseluruhan luas Pulau Rempang, sekitar 17.600 hektar, pemerintah mengalokasikan 10.000 hektar untuk hutan lindung. Pertanyaannya, kapan peraturan perundang-undangan tentang hutan lindung dibuat? Lebih dahulu mana dengan keberadaan masyarakat Rempang yang ada di pulau tersebut?
“Kalau pemerintah bisa mengalokasikan 10.000 untuk hutan lindung, menapa tidak bisa mengalokasikan ke-16 untuk kampung ini, yang totalnya hanya sekitar 1300 hektar, untuk manusia yang harus dilindungi dari kampungnya dan dipagari. Yang lain digunakan untuk investasi tidak masalah,” tegas Aris.
Aris juga meminta agar dibangun sarana dan prasarana, infrastruktur, dan lain sebagainya untuk kemasyarakatan dan kemaslahatan masyarakat Rempang, karena pulau mereka dipergunakan untuk investasi dan pembangunan.(ida)