Megawati Peringatkan Jokowi Agar Indonesia Tidak Seperti Sri Lanka
Catatan Politik Dari Malioboro
“Statement” Megawati membandingkan Indonesia dengan Sri Lanka adalah fenomena terakhir dari sikap dan pandangan Megawati terakhir yang penting untuk dicermati.
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
PERINGATAN Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri terkait Indonesia dan Sri Lanka, kemarin, telah membantah tudingan Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan, yakni hanya orang gila yang membandingkan Indonesia dan Sri Lanka dalam hal kemungkinan buruk nasib Indonesia ke depan. Ini bisa jadi soal data, namun bisa jadi juga soal arah politik.
Jika ini terkait data, kalangan politik meyakini bahwa Megawati mempunyai akses pada fakta riil perekonomian kita. Sebab, dia, selain mantan Presiden dan Ketua BRIN juga mempunyai kedekatan dengan Kepala Badan Intelijen (BIN) Budi Gunawan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sehingga, pasokan data kepadanya menjadi sangat presisi. Oleh karena itu, pernyataan Megawati yang merupakan “warning” pemerintah untuk berhati-hati agar tidak mengikuti nasib Sri Lanka, sebuah pernyataan berbasis data.
Tapi apakah itu soal data?
Sebagai politisi paling senior di Indonesia tentu kita bisa melihat perspektif alternatifnya. Ini bukan lagi soal data, melainkan Megawati telah melakukan manuver politik tingkat tinggi, yakni menyamakan “tune” dengan suara kaum oposisi yang telah mengaitkan bobroknya ekonomi dan politik kita itu mirip dengan ekonomi Sri Lanka.
Pertama, statemen Megawati ini diberikan hampir bersamaan dengan soal isu penggalangan kepala desa se-Indonesia yang dilakukan di Ancol dua hari lalu. Isunya juga harusnya sama, tentang desa, Megawati berbicara di acara KKN (Kuliah Kerja Nyata) Universitas Pelangka Raya, Kalimantan, sedang rezim Jokowi di hadapan kepala desa.
Namun, semua kita tahu bahwa mobilisasi kepala-kepala desa adalah sesuatu yang tidak lazim, mengingat: a) kepala desa adalah institusi paling bawah dalam pemerintahan, di mana jenjang hirarkis bertemu dengan pemerintah pusat berkali-kali sangatlah naif. b) telah terjadi preseden di mana pada pertemuan kepala desa se Indonesia sebelumnya, mereka mendeklarasikan Jokowi 3 periode. c) Gerakan Pro Jokowi di mana-mana masih berpolitik praktis, padahal selama ini semua timses presiden sebelum-sebelumnya membubarkan diri setelah calon presidennya menang.
Kedua, Megawati ingin memperkuat spektrum politiknya ke depan, baik koalisi pemikiran maupun jejaring. Selama ini Megawati dipersepsikan membatasi diri atau mengisolasi atau bahkan ditinggalkan parpol koalisinya, sehingga isu yang berkembang Megawati dan partainya menjadi kelompok kecil, alias kelompok pas 20%. Dengan kesamaan “tune” politik dengan “oposisi”, jelas Megawati memperluas spektrum politik.
Bagaimana Megawati bisa demikian?
Secara historis tentu saja Megawati juga ingin memperlihatkan kembali bahwa Garis Sukarno bukanlah kelompok kecil dalam spektrum politik Indonesia. Ini artinya, dalam komunikasi politik, aliran Bung Karno tidak mungkin diisolasi. Sebab, sejak awal tema perjuangan ideologis Bung Karno itu adalah politik kebangsaan alias persatuan nasional.
Sehingga, membandingkan dengan Airlangga Hartarto dengan poros KIB nya, atau Surya Paloh dengan manuver 3 kandidat Capres atau Jokowi yang ingin menunggangi kepresidenannya untuk terus bertahan atau mengarahkan, itu menjadi kecil jika Megawati sudah pada tahap mengepakkan sayapnya kembali.
Memang tentu saja sikap canda Megawati soal ”Tukang Bakso” dan “Minyak Goreng” menjadi “big questions”. Apakah canda itu mempunyai maksud terselubung? Sebab, di era beberapa dekade yang lalu, “Mie Bakso” itu identik dengan produk bukan asli Indonesia. Begitu juga monopoli minyak goreng yang saat ini mayoritas dikuasai orang-orang keturunan.
Jika makna canda itu mengarah pada nasionalisme kaum Marhaen, maka kita dapat menganalisis jalan pikiran Megawati lebih jauh lagi. Karena, sejarah hanya pernah mencatat sekali saja, yakni ketika Sukarno berkuasa, hanya Sukarno-lah presiden yang mengutamakan kaum Pribumi dengan politik Benteng serta pembatasan wilayah dagang kaum keturunan.
Statement Megawati membandingkan Indonesia dengan Sri Lanka adalah fenomena terakhir dari sikap dan pandangan Megawati terakhir yang penting untuk dicermati.
Di Indonesia ini hanya ada dua partai idelogis, PDIP dan PKS. Mencari persekongkolan ideologis berikutnya hanya mungkin dilakukan Megawati kepada kaum oposisi. Jika di akhir masa usianya Megawati kembali kepada jejak perjuangan bapaknya, maka Persatuan Nasional dan Keadilan Sosial akan lebih mudah tercapai, sebuah perjuangan rakyat semesta. (*)