Megawati Tegas Menolak Penjodohan Ganjar dengan Prabowo
Jakarta, FNN - Dalam Rakernas IV PDIP, Megawati Soekarno Putri mengatakan bahwa dirinya bingung mendengar munculnya isu duet Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo di Pilpres 2024. Megawati mengaku mendengar isu tersebut dari pemberitaan media. Selain bingung dan kaget, Megawati juga melongo mendengar isu tersebut. "Aku terus di rumah melongo, ini yang ngomong siapa ya, ya aku kok ketua umumnya malah enggak ngerti. Coba, enggak usah didengerin,” ujar Megawati. Namun, Megawati tidak mau ambil pusing dengan isu dan mengibaratkan sosok Prabowo dan Ganjar seperti lelaki tampan dan perempuan cantik yang saling dijodohkan, tapi tidak cocok karena sudah punya pacar masing-masing.
Menanggapi reaksi Megawati terhadap isu penjodohan Ganjar ke Prabowo tersebut, Rocky Gerung dalam kanal You Tube-nya Rocky Gerung Official edisi Senin (2/10/23) mengatakan, “Iya, Ibu Mega itu kalau saya perhatikan, dia mampu untuk mengendapkan masalah, kemudian dengan satu statement menyelesaikan kontroversi.”
Itu salah satu sifat dari Megawati, selain sifat-sifat yang kadangkala ngambek, negging, minta ini minta itu, kata Rocky. Tetapi, dalam soal-soal yang menyangkut sebut saja watak dasar Megawati, dia tidak mungkin berubah.
“Jadi, dari awal kita sudah tahu bahwa apa pun bujukan Jokowi, Mega sudah anggap sudah selesai. Dan Jokowi mestinya juga tahu diri, jadi enggak usah kirim-kirim sinyal,” tambah Rocky.
Rocky juga mengatakan bahwa pujiannya buat Megawati tinggal itu. Yang lain susah bagi Rocky untuk menerangkan, karena kasak kusuk di bawah politik PDIP yang kaderisasinya macet, tapi itu masalah internal PDIP.
“Tetapi, ini soal karakter seorang pemimpin. Jadi, kita bedakan antara organisasi atau manajemen politik di dalam PDIP, yang harusnya bertanggung jawab tentu adalah Sekjen. Megawati enggak ngurusin manajemen di situ, karena itu urusan Hasto,” ujar Rocky.
Tetapi, tambah Rocky, Mega menjadi simbol. Kalau Mega sudah tidak ada, misalnya, karena satu peristiwa, susah kita melihat PDIP masih akan tegak lurus dengan prinsip-prinsip kemegawatian.
Jika kita mengamati pernyataan-pernyataan orang-orang di luar Megawati (yang kita yakin bahwa tidak akan berubah), mereka memang sudah terjebak pragmatisme sehingga mereka kelihatannya oke saja ketika ditawar-tawar oleh Jokowi.
“Itu juga buruk buat Indonesia kalau cawe-cawe Jokowi masih berlangsung, lalu akhirnya cawe-cawe itu berakhir anything goes, apapun Jokowi pokoknya mesti ada tangannya. Jadi, buat apa kalau segala hal harus dipastikan Jokowi harus memenangkan dengan cara apapun, entah PDIP yang jadi, entah Anis yang jadi, Nasdem yang jadi, entah Prabowo yang jadi. Kan itu buruk. Artinya, kita enggak punya semacam standar,” ungkap Rocky.
Mestinya, lanjut Rocky, Jokowi dari awal menentukan bahwa standar dia adalah yang akan meneruskan proyek-proyek strategis nasional. Dari segi keteknokratisan, sebetulnya itu dasarnya. Dari segi ideologi, Jokowi harus bilang bahwa dia menginginkan Indonesia bertumbuh secara kapitalistik.
“Tetapi, PDIP seolah-olah kehilangan kemampuan untuk mengucapkan secara final apa yang dia maksud dengan visi kepresidenan berikut. Jadi, kalau PDIP memang hendak menginvestasikan seluruh ideologi Soekarnoismenya pada Ganjar. Didiklah Ganjar dari sekarang untuk bicara tentang ekonomi kerakyatan, tentang koperasi, tentang kemandirian, supaya tampak batas antara mana yang kita sebut sebagai pikiran ideologis dan mana yang pikiran pragmatis. Kan enggak boleh ideologi itu jadi pragmatis,” ungkap Rocky dalam diskusi bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu.
Sampai sekarang, Ganjar seolah-olah tidak ada poin apa yang akan dia lakukan ke depan. Tentu dia tunggu siapa wakil presidennya. Bayangkan kalau wakil presidennya adalah orang yang tidak Soekarnois. Megawati pasti juga sedang memikirkan itu. Tetapi, satu yang sudah selesai, Mega tidak mau ada pembagian harta gono gini politik dengan Jokowi, tegas Rocky.(sof)