Membincangkan Etika Bernegara, Berbangsa, dan Beragama
Adil, jujur, benar, berani, sabar, tawakal, amanah, isiqamah adalah akhlak terpuji (mencakup etika, moral, budi pekerti, sopan santun dll) tuntunan agama.
Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
PERBINCANGAN ini bermula dari unggahan seorang teman di grup WA tentang komentar Zulkifli Hasan kepada Prabowo Subianto.
Sejumlah nama calon Presiden mulai bermunculan, termasuk Prabowo Subianto. Zulkifli Hasan menyatakan bahwa Prabowo Subianto akan kalah jika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berjalan rasional. Ada lima faktor yang akan membuat Prabowo kalah dalam Pilpres. Prabowo sudah berkali-kali maju Pilpres tetapi selalu kalah.
“Kalau Pilpres rasional Pak Prabowo kalah. Kenapa? Pertama, tidak ada media yang mendukung Pak Prabowo. Kedua, pengusaha logistik tidak ada yang mendukungnya. Ketiga, operasional tidak mendukung. Keempat, ada sejarahnya. Kelima, berkali-berkali jadi calon kalah,” ujarnya saat Halal Bihalal DPD PAN Sulsel di Hotel Claro Makassar, Jumat (20/5/2022) malam.
Zulhas menambahkan, hal sebaliknya jika Joko Widodo (Jokowi) kembali maju. Menurut dia, infrastruktur politik Jokowi sangat mendukung.
“Untuk Pak Jokowi, TNI Polri mendukung, pengusaha mendukung, media mendukung, operasional mendukung,” ujarnya.
Zulhas menyebut Koalisi Indoneia Bersatu (KIB) dibentuk agar di Pilpres nanti ada lebih dari dua pasangan calon. “Karena ini (syarat Presidential Threshold) 20 persen, supaya menghindari dua (paslon). Nanti kita coba dan dahului supaya ada tiga,” lanjut nya.
Ia menyebut jika ada tiga paslon tidak terjadi perpecahan hingga tingkat dusun seperti yang terjadi pada Pilpres sebelumnya.
“Kalau bisa calonnya tiga, syukur-syukur bisa lebih. Kita jangan sampai menjual/kampanye untuk pecah belah, tapi menawarkan gagasan, konsep, bagaimana Indonesia maju, swasembada pangan, bagaimana lingkungan Indonesia climate change juga tambah bagus lingkungannya, anak muda dapat kesempatan lapangan kerja yang baik.”
Itulah pertimbangan PAN bergabung dengan Golkar dan PPP membangun KIB.
Salah seorang teman menanggapinya demikian. “Ini gara-gara UUD Palsu 2002. Mosok, Ketum Partai menilai Ketum Partai lain di depan publik. Belum juga masa kampanye. Parah. Bgmana ...?
Saya pun menimpali, Zulkifli Hasan mau bilang, “Hidupkan kembali pasal Presiden bisa 3 periode” saja kok pakai muter-muter.
Tiba-tiba salah seorang kawan menulis, “Sudah berubahkah tauhid Prof. Jimly Asshidiqie?”
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie di ruang publik sebaiknya kita berbicara etika, bukan agama.
Karena etika itu berlaku di ruang publik (universal), sedangkan kepercayaan-kepercayaan agama itu eksklusif, hubungan pribadi dengan sesembahan masing-masing.
Ada etika hukum, politik, rekayasa, lingkungan, guru, kedokteran, arsitek dll.
Agama hanya untuk ruang private dan hubungan kita dengan sesembahan. (Miky - Forum Asoterika Spiritualis).
Nggak salah, Prof Jimly Asshidiqie? Teladan sempurna kita adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw dengan Al-Quran yang hidup dengan segala sunah-sunahnya.
Etika/akhlak/budi perkerti, baik personal maupun sosial, bukan justru kerdil jika diperkecil demikian?
Nabi Muhammad Saw membangun Kostitusi Madinah/Traktat Kontrak Sosial Madinah, mengatur segala aspek: politik/bernegara, sosial/bermasyarakat, budaya nasional Madinah/kebangsaan Madinah, sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan Madinah, hukum yang berkeadilan, masyarakat egaliter dengan tata harmoninya, mengintegrasikan suku-suku di Madinah, mengonsolidasikan “demokrasi hikmah kebijaksanaan Madinah, membangun peradaban Madinah” dst-dst.
Betapa naif jika Nabi yang berakhlak agung (khuluqin 'azim) sebagai rahmat, maitrea, cinta kasih, welas asih kepada segenap publik/alam (rahmatan lil 'alamin), maqamtingkatan yang paling tinggi (maqam mahfudz) terutama sifat rendah hati, pemurah, mengorbankan diri untuk orang lain, membalas kejahatan dengan berbuat baik, sampai menjadi rahmat bagi segenap alam semesta, jika cuma urusan yang privat berhubungan dengan Sang Pencipta.
Yang jelas, kita punya nilai-nilai universal Pancasila sebagai standar dasar untuk dioperasionalkan dengan penjelasan turunannya yang berharkat bermartabat.
Sahabat yang lain pun menimpali, “Sumber etika itu dari mana?”
Sumber moral dari mana? Di ruang publik yang harus tegak itu etika atau moral? Dengan rujukan apa? Pejabat publik yang tidak jujur, tidak tunduk pada etika atau moral, dengan argumen apa?"
Anggota yang lain angkat bicara dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengutip narasi Bung Karno,
“Marilah kita menoendjoekkan keberanian kita dalam mendjoendjoeng hak kedaulatan bangsa kita, dan boekan sadja keberanian jang begitoe, tetapi djoega keberanian mereboet faham jang salah di dalam kalboe kita.
Keberanian menoendjoekkan, bahwa kita tidak hanja membebek kepada tjontoh2 oendang2 dasar negara lain, tetapi memboeat sendiri oendang2 dasar jang baroe, jang berisi kefahaman keadilan jang menentang individualisme dan liberalisme; jang berdjiwa kekeloeargaan, dan ke-gotong-royongan.
Keberanian jang demikian itoelah hendaknja bersemajam di dalam hati kita. Kita moengkin akan mati, entah oleh perboeatan apa, tetapi mati kita selaloe takdir Allah Soebhanahoewataala. Tetapi adalah satoe permintaah saja kepada kita sekalian:
Djikalau nanti dalam zaman jang genting dan penoeh bahaja ini, djikalau kita dikoeboerkan dalam boemi Indonesia, hendaklah tertoelis di atas batoe nisan kita, perkataan jang boleh dibatja oleh anak-tjoetjoe kita, jaitoe perkataan: Betoel dia mati, tetapi dia mati tidak sebagai pengetjoet.
Jadi, kalau orang masih ngomong pilpres, pemilu kita membebek pada sistem Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme, tidak berani mengembalikan UUD 1945 asli, artinya kita pengecut.
Anggota grup yang lain pun menimpali, “Agama Islam itu ada di setiap jengkal kehidupan. Ada yang tampaknya seperti etika menurut ilmu pengetahuan, tapi Islam tetap menganggap itu agama. Kita melaksanakan etika/kebaikan, tanpa menghayatinya sebagai agama, maka kebaikan itu tidak terhubung dengan Allah swt, alias ketika kita melakukan sesuatu kebaikan tanpa disadari itu sebagai agama Islam, maka sejenak saat itu kita meninggalkan Tuhan (Allah dalam kehidupan kita, kadang ada kadang tidak ada. (Na'uzubillah min zalik).
Anggota lainnya pun menulis, “Saya setuju itu: Sesungguhnya shalatku, hidup, dan matiku hanya untuk Allah SWT”.
Allah Swt mendengar ucapan itu setiap kali dibaca. Tapi apakah itu sesuai dengan tindakan dalam kehidupan sehari-hari?
Kepada Allah saja kerap manusia ingkar, apatah lagi kepada sesama manusia.
Kita ini kebanyakan antara munafik-matre-takdir sosial buruk dst, yang 'baik-benar' terseleksi melalui mekanisme 'pasti-imaginasi dan alam rendah (neraka-binatang-hantu-hantu setan kelaparan-hantu-hantu setan raksasa)'. Di Indonesia formulasi kebenaran terasing dan langka, di alam pasti/mutlak. Dan memimpin mereka seperti bersamanya ke 'animal farm' seakan menari-nari di atas ular-ular.
Penulis lain menyatakan demikian.
Sepengetahuan saya, agama samawi, wahyu Tuhan yang diturunkan itu untuk umat manusia, berarti untuk semua manusia, disampaikan terbuka, mengedukasi umat manusia untuk hidup yang baik di dunia dan akhirat, bukan dengan cara glenak-glenik di kamar tidur, cuma dengan istri dan anak doang.
Kalau Pancasila diamalkan oleh para politisi dan pejabat politik, tak ada anasir radikalisme.
Radikalisme yang diwacanakan oleh penguasa sejatinya adalah respons negatif terhadap Islam politik yang mengontrol kekuasaannya yang menyimpang.
Saya sangat yakin bahwa tak akan pernah terdengar radikalisme dari mulut penguasa, andaikata kekuasaan dijalankan secara benar: berdasarkan Pancasila.
“Satu idiot adalah salah satu idiot. Dua idiot adalah dua idiot. Sepuluh ribu orang idiot adalah partai politik.” - Frank Kafka.
Dalam iklim "takdir sosial yang buruk", tapi dalam penghormatan manusia (membunuh satu orang sama membunuh seluruh manusia, menyelamatkan satu orang sama menyelamatkan seluruh manusia) seperti Selandia Baru, Luxemburg, Jepang, Kanada, Inggris, Turki, Chechnya, Iran, negara-negara Skandinavia dkk, semuanya 'indah & islami', betapa kejamnya 'kuasa kerajaan kegelapan' betapa indahnya 'iluminasi cahaya'.
Saya pun menutup perbincangan demikian.
Di ruang publik maupun di ruang privat muslim senantiasa menggunakan dan menjalankan tuntunan agama. Berketuhanan Yang Maha Esa itu beragama. Berkemanusiaan yang adil dan beradab itu niscaya sesuai dengan tuntunan Tuhan Allah YME, bepersatuan Indonesia dalam bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sesuai dengan/mengikuti kehendak Tuhan Allah swt, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dikehendaki Allah swt Tuhan Yang Maha Esa.
Adil, jujur, benar, berani, sabar, tawakal, amanah, isiqamah adalah akhlak terpuji (mencakup etika, moral, budi pekerti, sopan santun dll) tuntunan agama.
“Pengalaman beragama adalah keseluruhan pengalaman hidup setiap orang beragama”. Begitu kata filosof Pakistan Dr. Mohammad Iqbal. (*)