Menakar Nasib PPP dan PAN Dalam KIB Pasca Pemilu 2024
Spekulasi yang berkembang menyatakan bahwa KIB memang disiapkan untuk Ganjar Pranowo (GP), jika ia tetap tidak dapat tiket dari partainya, PDIP. Dari KIB-lah tiket untuk GP bisa maju sebagai Cawapres.
Oleh: Ady Amar, Kolumnis
PEMILU Serentak 2024, mengikat partai politik dalam mendukung Calon Presiden (Capres) yang dipilihnya. Bahkan pada parpol tertentu, pilihan Capres itu sangat mempengaruhi hasil pemilihan legislatif (pileg) parpol bersangkutan.
Semacam satu paket antara memilih Capres dan memilih anggota legislatif. Dalam narasi lainnya, konstituen memilih partai tertentu, artinya memilih anggota legislatif dari partai tertentu, jika partai itu mengusung Capres yang dimauinya.
Pada partai tertentu, dalam menentukan siapa Capres yang akan diusung, itu berpengaruh pada perolehan kursi legislatifnya. Salah memilih Capres, artinya yang bukan diinginkan konstituen, akan mempengaruhi suara pemilih dengan tidak memilih anggota legislatif dari partai bersangkutan.
Menjadi lebih bijak jika parpol mendengar suara konstituennya. Tidak cuma berdasar dan ditentukan suara elit partai, dan abai pada pemilik suara yang sah. Jika itu yang terjadi, maka tidak mustahil partai itu akan terpental dari Senayan. Sebab hasil Pileg tidak sampai memenuhi ambang batas parliament threshold yang 4%.
Bahkan, tidak cuma mempengaruhi hasil Pileg untuk DPR pusat, tapi juga berdampak mengena pada perolehan suara DPRD, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Mestinya ini menjadi perhatian elit partai dalam menentukan nasib partainya, jika ingin tetap eksis atau malah ditinggalkan.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN) khususnya, adalah dua partai yang punya hubungan erat, bahkan tak terpisahkan antara Pilpres dan Pilegnya. Jika itu dibandingkan dengan partai lain, yang ikut kontestasi pemilu 2024.
PPP dan PAN adalah dua partai yang hampir sama basis konstituennya, yaitu pemilih muslim. Meski Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga punya basis pemilih yang sama. Hanya saja dua partai terakhir itu lebih solid konstituennya. Sedangkan PPP dan PAN memiliki konstituen yang mudah beralih ke lain hati. Berpindah ke partai lain.
PPP adalah salah satu partai warisan Orde Baru yang tersisa. Hasil fusi dari beberapa partai Islam, yang juga diwarnai ormas-ormas Islam, meski bukan institusi ormas resmi. Setelah reformasi 1998, bermunculan banyak partai baru lain. Baik yang berideologi agama maupun kebangsaan.
Ini awal mula PPP terkikis. Ditinggal beberapa ormas besar pendukungnya. NU – yang sebelumnya menarik diri karena menganggap adanya ketidakadilan pembagian jatah, khususnya jabatan Menteri Agama, juga kesadaran ingin kembali ke khittah 1926 – yang lalu membentuk partai politik sendiri untuk menampung suara kaum nahdliyyin. Lahirlah PKB. Partai yang didirikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Kyai utama NU lainnya.
Begitu pula suara ormas Muhammadiyah yang ada di PPP, sebagian besar suaranya tersedot dengan hadirnya PAN – partai hasil reformasi yang diawaki M. Amien Rais, yang ketika itu juga masih sebagai Ketua Umum Persyarikatan Muhammadiyah – meski PAN tidaklah identik dengan Muhammadiyah. Tidak semua warga Muhammadiyah memilih PAN, meski diawaki Amien Rais. Tapi tetap saja kehadirannya bisa mengikis PPP, yang tidak lagi dianggap sebagai “Rumah Besar” umat Islam.
Begitu pula nasib PAN, yang tidak baik-baik saja. Perolehan suaranya sebagai partai hasil reformasi, hanya bertengger di papan tengah. Ini menandakan warga Muhammadiyah tidak semua menjadikan PAN satu-satunya kendaraan politiknya. Persebaran warga Muhammadiyah ada di banyak partai politik.
Ditambah lagi ada kemelut internal di PAN, yang berpuncak sampai harus melengserkan pendirinya, Amien Rais, lewat Munas V di Kendari, Sulawesi Tenggara (10/2/2020), yang berakhir ricuh. Seolah azas yang dipunya PAN, yang berakhlak politik dengan bersandar pada agama, dan yang membawa rahmat bagi sekalian alam (AD Bab II, Pasal 3), itu ditanggalkan.
Amien Rais lalu mendirikan Partai UMMAT, yang sedikit banyak akan juga menyedot konstituen PAN. Simpatisan Amien Rais di PAN, itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, akan bisa lebih lagi menyedot habis konstituen PAN, jika partai ini salah menentukan/memilih Capresnya. Jika ditambah Partai UMMAT tepat dalam mendukung sosok Capres yang dimaui konstituen PAN. Selesailah nasib PAN itu.
PPP dan PAN dalam KIB
Akankah PPP mengulang sejarah buruk yang pernah dibuat. Dan, itu terjadi ketika Pilkada DKI Jakarta 2017. Pilihan pada salah satu pasangan calon gubernur – PPP memilih Ahok-Djarot – maka suara legislatif PPP di DPRD DKI Jakarta kursi suaranya melorot dari 10 menjadi 1 kursi.
PPP ”dihakimi” konstituennya, itu karena budeg telinga. Abai mendengar suara pemilihnya, yang menjatuhkan pilihannya pada Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Mestinya itu jadi pelajaran terbaik bagi PPP untuk tidak mengulanginya.
Jika masih mengulang peristiwa Pilkada DKI Jakarta, maka PPP (juga PAN) dipastikan akan ditinggal konstituennya. Peringatan juga bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), pun akan bernasib sama ditinggal konstituennya, jika nekad memilih Capres yang bukan selera pemilihnya.
PKS pada Pemilu 2024, perolehan Pilegnya bisa dipastikan tidak lebih baik dibanding Pemilu 2019 lalu. Itu disebabkan perpecahan di internal partai. Banyak tokoh utama partai memilih hengkang, di antaranya Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, Rofi' Munawwar, dan masih banyak lainnya.
Mereka mendirikan Partai Gelombang Rakyat (Gelora). Tentu kehadiran Partai Gelora itu akan mempengaruhi suara Pileg PKS. Apalagi jika Partai Gelora ini mendengar dengan baik Cawapres pilihan konstituennya, yang sebenarnya sama dengan konstituen PKS. Partai Gelora ini memang belum punya hak mengusung Capresnya, tapi tetap bisa mewacanakan presiden yang dipilihnya, yang sesuai dengan suara konstituennya.
Maka, PKS mesti cermat jika masih ingin dipilih konstituennya. Kita sudahi saja pembahasan tentangnya. Kita kembali pada pembahasan PPP dan PAN.
Pertanyaan dasarnya, apa keuntungan PPP dan PAN, yang seperti ujug-ujug membentuk poros koalisi dengan Partai Golkar. Tiga partai berkumpul, dan itu memenuhi jumlah keikutsertaan presidential threshold yang 20%.
Dengan demikian KIB bisa mengusung Capres dan Cawapres-nya sendiri. Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar, menyatakan bahwa calon KIB untuk Capres diambil dari KIB sendiri. Artinya, bukan calon dari luar koalisi.
Jika demikian, bisa jadi Airlangga yang akan diusung sebagai Capres, atau Zulkifli Hasan (Ketum PAN), atau justru Suharso Monoarfa (Ketum PPP). Tiga nama yang tidak punya elektabilitas memadai. Jika tidak mau dikatakan, tiga nama yang tidak menjual.
Maka spekulasi berkembang, bahwa KIB itu hadir atas “perintah” Istana. Apa perlunya sampai muncul perintah demikian. Jika diteruskan, apa hubungan antara Istana dengan ketiga partai tersebut, selain ketiga partai itu sebagai partai pendukung pemerintah.
Meski partai lainnya, partai pendukung pemerintah tidak tergabung dalam KIB. Jika benar munculnya KIB itu “instruksi” Istana, maka bisa disebut itulah bentuk intervensi pada ketiga partai itu. Lalu untuk apa?
Spekulasi yang berkembang menyatakan bahwa KIB memang disiapkan untuk Ganjar Pranowo (GP), jika ia tetap tidak dapat tiket dari partainya, PDIP. Dari KIB-lah tiket untuk GP bisa maju sebagai Cawapres.
Jika itu benar, bisa dipastikan bahwa GP memang manusia spesial, yang sampai tiketnya pun disiapkan oleh Istana lewat ketiga parpol yang tidak ada sangkut paut dengan GP. Bahkan dua dari partai pengusungnya, PPP dan PAN, mesti bertaruh besar dengan perolehan nasibnya pada Pemilu 2024.
Jika PPP dan PAN sudah berhitung dengan matang, berhitung pilihan elitnya sama dengan konstituennya, yang juga memilih GP, itu tidak mengapa, ya monggo saja. Tapi kalau itu hanya suara elitnya, bahkan untuk kepentingan kecil elitnya, di mana konstituennya misal lebih memilih Anies Baswedan – belajar dari kasus Pilkada DKI Jakarta (2017) – maka tamatlah PPP, juga PAN.
Pilpres 2024 masih dua tahun lagi. Dinamikanya akan makin kencang jika memasuki setidaknya pertengahan tahun 2023. Akankah KIB itu kokoh sampai 2024, pastilah tidak ada yang bisa memastikan.
Pada saatnya nanti, seperti biasanya, semua parpol akan mengambil sikap pragmatis dengan memilih jalannya sendiri. Segala kemungkinan bisa terjadi. Rakyat tetap berharap munculnya sosok Presiden yang tidak dibesarkan oleh oligarki, agar negeri ini tidak makin terpuruk. Wallahu a'lam. (*)