Mengaku Tidak Melanggar Konstitusi Membicarakan Politik di Istana, di Mana Etika Publik Jokowi?
Jakarta, FNN – Meskipun sudah berkali-kali Presiden Jokowi melakukan pertemuan politik di istana dengan para ketua umum partai yang di antaranya membahas tentang koalisi dan pencapresan, Jokowi membantah bahwa dirinya ikut cawe-cawe dalam urusan pencapresan. Bahkan, Jokowi mengaku tidak ada konstitusi yang dia langgar dengan mengundang para ketua umum partai politik pendukungnya di istana. Jokowi juga mengatakan bahwa urusan capres merupakan domain partai atau gabungan partai. Namun, kalau partai mengundangnya atau sebaliknya, boleh-boleh saja, sebab selain sebagai pejabat publik dia juga merupakan pejabat politik. Apakah Jokowi tidak paham atau tidak mau paham dengan etika publik dan etika kekuasaan?
Pernyataan Jokowi tersebut disampaikan saat meninjau pusat perbelanjaan Sarinah, di Jalan Thamrin, Jakarta, Kamis (4/5/23, ketika ditanya oleh wartawan.
"Bukan cawe-cawe, wong itu diskusi saja kok, diskusi. Tadi kan saya sampaikan, saya ini juga pejabat politik, tapi bukan cawe-cawe. Urusan capres cawapres itu urusannya partai atau gabungan partai, sudah bolak-balik saya sampaikan kan. Tapi kalau mereka mengundang saya, saya mengundang mereka, boleh-boleh saja. Apa ada konstitusi yang dilanggar dari situ, enggak ada. Tolonglah mengerti bahwa kita ini juga politisi, tapi juga pejabat publik,” kata Jokowi.
"Saya itu adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik, jadi biasa kalau saya berbicara politik ya boleh dong. Ya kan. Saya berbicara berkaitan dengan pelayanan publik juga bisa dong. Memang itu tugas seorang presiden,” tambah Jokowi.
Pernyataan Jokowi tersebut membuat kita bertanya-tanya apakah Jokowi tidak paham atau tidak mau paham tentang undang-undang pemilu yang di dalamnya tidak memberi peluang satu lubang jarum pun pada presiden untuk masuk ke ranah politik Pemilu/Pilpres. Dengan demikian, jika Jokowi melakukan hal tersebut, dia telah melakukan pendustaan terhadap konstitusi.
Hal itu dikatakan oleh Adhie M. Massardi, dari Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia, yang juga pernah menjadi juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, kepada Hersbuno Arief, wartawan senior FNN, dalam Kanal You Tube Hersubeno Point edisi Jumat (5/5/23).
"Politik ini konteksnya kan urusan pemilu. Nah ini jauh, kesalahannya itu berlipat ganda Bung Hersu. Di dalam konstitusi kita, di dalam semua undang-undang tentang kepemiluan, tidak ada otoritas Presiden existing, itu ikut campur dalam urusan pemilu. Apalagi pencalonan-pencalonannya. Saya kemarin itu juga mengecek ke konstitusi sejumlah undang-undang, tidak ada satu lubang jarum pun peluang presiden masuk ke ranah politik Pemilu/Pilpres. Jadi, kalau dia melakukan itu, itu melakukan pendustaan terhadap konstitusi. Itu dilarang,” ujar Adhie M. Massardi.
Adhie Massardi juga mengatakan bahwa harus ada yang memperingatkan kepada Presiden atas kejadian ini. Tetapi, siapa yang bisa memperingatkan soal ini sedangkan partai-partai juga menduduki posisi lembaga-lembaga negara yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Akibatnya, tidak ada kontrol demokrasi seperti yang diharapkan trias politika itu.
"Yang menarik, pelanggaran pendustaan terhadap konstitusi dilakukan secara terbuka. Ini kesalahan yang paling fatal dari apa yang kita bahas mengenai presiden memanggil tokoh partai politik untuk membicarakan Pemilu, pencalonan. Ini kejahatan konstitusinya sangat besar, bukan hanya menggunakan fasilitas negara, tapi memang dilarang presiden aktif masuk di dalam ranah Pemilu. Bahkan, mengatasnamakan petugas partai pun tidak boleh,” tambah Adhie.
Selain Adhie Massardi, pendapat yang hamper sama juga disampaikan oleh wartawan senior Asyari Usman. Asyari secara tegas menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Jokowi merupakan sebuah kesalahan dan pelanggaran,
"Tentu saja tidak boleh Mas Hersu, bahwa urusan koalisi parpol, koalisi yang mendukung pemerintah, itu bukan tugas kenegaraan, bukan pekerjaan yang dilakukan untuk rakyat. Itu Istana Merdeka milik rakyat. Tidak selayaknya, tidak seharusnya digunakan untuk membicarakan kepentingan pandangan politik Presiden Jokowi. Kalau urusannya koalisi, membicarakan bagaimana ke depannya koalisi capres itu, carilah tempat yang bukan milik rakyat, ” ujar Asyari Usman.
Jika kedua pendapat tersebut mengatakan terjadi pelanggaran sementara Jokowi menyatakan tidak ada yang dia langgar secara konsitusi, kata Hersubeno Arief, saya kira kita memang sulit berharap kalau Pak Jokowi paham dengan etika publik, etika kekuasaan, yang harusnya benar-benar dipisahkan manakepentingan publik, kepentingan politik, dan kepentingan personal.
"Jokowi sebagai pejabat politik adalah sebagai presiden dan kepala negara, sehingga fasilitas-fasilitas negara seperti istana dan sebagainya adalah fasilitas yang diberikan kepada Pak Jokowi sebagai presiden dan sebagai kepala negara, bukan sebagai pejabat politik yang seperti dia sebutkan. Harusnya kalau hal-hal semacam ini tidak dilakukan di istana,” ujar Hersu.:
"Apakah Pak Jokowi ini memang tidak paham. Kalau tidak paham apakah tidak ada yang mengingatkan di lingkungannya, termasuk ketua umum partai politik yang mau juga bertemu dengan Jokowi di istana. Atau memang Pak Jokowi ini nggak mau tahu dan nggak mau paham? “Benar-benar sudah kacau sekali logika kekuasaan,” ujar Hersu.(sof)