Mengartikan Solusi Fundamental Sebagai "People Power"
People power itu bisa menjadi landasan hukum bagi TNI untuk bergerak dan mengambil langkah penyelamatan tersebut. Perlu diingat, “metode” serupa ini sebenarnya pernah terjadi dalam lintasan sejarah kita.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN
KETIKA memberikan kata sambutan dalam Musyawarah Daerah Tahun 2022 Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) DKI Jakarta pada Sabtu (11/6/2022), Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan bahwa bangsa ini menghadapi persoalan fundamental.
“Jika kita ingin melakukan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik, maka kita harus melihat dengan jernih, bahwa persoalan yang kita hadapi ini adalah persoalan fundamental. Maka, jalan keluar yang dilakukan juga harus secara Fundamental,” tegasnya.
LaNyalla mengungkapkan, salah satu persoalan fundamental ini yaitu Oligarki Ekonomi yang semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik yang juga telah menyandera kekuasaan.
“Maka, jalan keluar fundamental yang harus kita lakukan adalah mengakhiri Rezim Oligarki Ekonomi dan pastikan Kedaulatan ada di tangan rakyat. Bukan melalui Demokrasi Prosedural yang menipu,” tegas LaNyalla.
Jika menyimak pernyataan LaNyalla di atas, setidaknya ada dua jalan keluar fundamental yang harus dilakukan. Yaitu: Mengakhiri Rezim Oligarki Ekonomi dan Menolak Demokrasi Prosedural.
Demokrasi Prosedural yang dimaksud LaNyalla tentunya Pemilihan Presiden. Mengapa disebut menipu? Karena ternyata presiden terpilih tidak menepati janji-janji saat kampanye dulu. Tidak salah kalau LaNyalla menyebut dengan istilah Demokrasi Prosedural yang menipu!
Apalagi, suara rakyat kini dihadang dengan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Jelas-jelas Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng keadilan justru menjadi “perampok keadilan”.
Karena selain melanggar Konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti tertulis di dalam “Naskah Pembukaan Konstitusi” kita.
Secara massif masyarakat hingga lembaga tinggi negara DPD RI mengajukan Judicial Review (JR) ke MK untuk menghapus Pasal 222 UU Pemilu tersebut, semuanya kandas. Kekuatan kekuasaan rezim bersama Oligarki Ekonomi ini seperti begitu kokoh menghadangnya.
Khusus DPD RI secara kelembagaan telah mengajukan gugatan ke MK atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang digugat adalah tentang Ambang Batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold.
LaNyala berkeyakinan, bahwa pasal ini adalah pasal penyumbang terbesar Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural di Indonesia. Sebab, melalui pasal inilah, Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan Pimpinan Nasional bangsa ini.
Pasal ini telah membatasi munculnya putra-putri terbaik bangsa. Dan, pasal ini telah pula mematikan ruang bagi Partai Politik peserta pemilu untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Sebab pasal ini memaksa parpol untuk berkoalisi dalam mengusung pasangan Capres dan Cawapres. Dan, ini mematikan hak parpol baru untuk mengusung pasangan Capres dan Cawapres, karena ada kewajiban menggunakan basis suara hasil pemilu 5 tahun sebelumnya.
Dan, yang lebih esensi adalah Pasal 222 tersebut sama sekali tidak derivatif dari Konstitusi di Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal seperti drakula ini memaksa Partai Politik berkoalisi untuk memenuhi ambang batas, maka yang terjadi adalah Capres dan Cawapres yang akan diberikan kepada rakyat akan sangat terbatas.
Di situlah pintu masuk Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik mengatur dan mendesain siapa pemimpin nasional yang akan mereka mintakan suara dari rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang disebut sebagai Pilpres.
Untuk memutus mata rantai hubungan Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik tersebut adalah dengan mengakhiri rezim yang disokong Oligarki Ekonomi ini. Naiknya harga-harga kebutuhan dapur bisa menjadi pemicu terjadinya people power agar rezim pimpinan Presiden Joko Widodo ini berakhir.
Perlu diingat, pada 1998 Presiden Soeharto bisa jatuh salah satunya berawal dari dapur juga, antara lain karena harga susu yang mahal. Emak-emak lalu keluar ikut turun ke jalan bersama mahasiswa.
Bukan tidak mungkin, peristiwa serupa juga bakal terjadi saat pemerintahan Presiden Jokowi sudah dalam keadaan darurat ekonomi. Sementara Presiden bermanuver dan kasak-kusuk ojo kesusu terkait dengan Pilpres 2024.
Padahal, seperti kata pengamat politik Rocky Gerung, kita bisa menyatakan bahwa kemungkinan tidak terjadi Pilpres 2024 karena kondisi ekonomi yang memburuk dan itu bukan hanya terjadi di Indonesia tapi di seluruh dunia.
Itu yang sekarang sedang dihitung oleh para analis KPU. Bisa jalan gak kalau anggarannya itu dipotong separo, hanya untuk menyelamatkan ekonomi kita. Bisa gak IKN itu dilanjutkan kalau terpaksa anggaran yang disiapkan harus dipakai buat membeli politik.
Jadi trade-off semacam itu atau kampanye APBN akan mendikte politik APBN-nya bolong. Artinya, politik bakal berantakan juga. Kita hanya bisa terangkan itu sebagai analisis, nanti dianggap solusi, apa ya solusinya percepat Pemilu?
“Solusinya ya ganti presiden, solusinya ya lakukan people power. Itu bahaya, segala semacam. Kalau itu enggak diucapkan lalu orang diam-diam merasa memang gak ada solusi kalau kayak gitu,” tegas Rocky Gerung.
Kalau dapur emak-emak nggak bisa lagi berasap, dia akan keluar bawa panci lalu digendang-gendang, tukang ojek ikut di situ karena tukang ojek juga tahu dapurnya nggak berasap lagi.
Itu akan sampai juga ke buruh-buruh, merasa bahwa daya beli mereka makin turun. Jadi lonceng people power itu mulai dari dapur emak-emak. Menurut Rocky Gerung, itu yang disebut sebagai gerakan rakyat yang berupaya untuk mencari solusi.
Solusinya mestinya di kabinet dan parlemen, tapi karena 2 lembaga itu sama isinya, yaitu irasional maka emak-emak cari jalan rasional itu. Mereka mau di jalan itu yang akan mengumpulkan banyak orang. Maka terjadilah dengan apa yang disebut people power.
“Itu namanya people power. Terjemahnya kedaulatan rakyat, itu bukan makar, kan begitu,” tegas Rocky Gerung. Ia menyatakan siap memimpin people power. Pernyataan ini disampaikan Rocky saat peringatan HUT Mega Bintang ke-25 di Solo beberapa waktu lalu.
Social Unresh
Rocky Gerung mengingatkan, kita harus bersiap-siap bila terjadi keadaan yang bukan sekedar peluang tapi pasti terjadi. Soal krisis pangan dan ekonomi yang juga sudah diwanti-wanti oleh Presiden dan Menkeu Sri Mulyani.
Kalau itu terjadi, maka semua berantakan dan itu akan menghasilkan social unresh (keresahan sosial). Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa seharusnya bersiap-siap juga untuk menghadapi situasi paling buruk bersama Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Semoga tidak ada lagi orang yang mencoba menyeret-nyeret Jenderal Andika dalam perpolitikan, seperti yang disebut-sebut namanya menjadi salah satu Capres Partai NasDem.
Karena, itu akan mempersulit koordinasi kalau sampai terjadi social unresh yang disebabkan oleh kekacauan ekonomi politik yang sebenarnya berawal dari ketidakmampuan Presiden untuk menerangkan ke publik bagaimana daya beli, bagaimana inflasi, bagaimana stagflasi, problem kesulitan pangan dan energi karena perang di Eropa, Ukraina.
Jadi, seperti kata Rocky, sebenarnya banyak hal yang tersembunyi dari hiruk-pikuk soal koalisi dan capres-mencapres ini. Itu yang menyebabkan kita harus membangun satu blog baru untuk mencegah jangan sampai kekacauan dan arogansi di kalangan elit ini merembet ke rakyat.
Jika social unresh terjadi, demi menyelamatkan negara, Panglima TNI wajib hukumnya untuk “mengambil-alih” kekuasaan, kemudian ditetapkan oleh MPR menggantikan Presiden yang mandatnya sudah dicabut rakyat melalui people power.
Apalagi, jika ditambah dengan adanya resolusi rakyat yang mendesak supaya TNI segera menyelamatkan NKRI dari keterpurukan ekonomi dan krisis politik yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan.
People power itu bisa menjadi landasan hukum bagi TNI untuk bergerak dan mengambil langkah penyelamatan tersebut. Perlu diingat, “metode” serupa ini sebenarnya pernah terjadi dalam lintasan sejarah kita.
Bermodalkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Pangkostrad ketika itu, Mayjen TNI Soeharto mengakhiri people power dengan membubarkan DPR dan MPR serta membentuk DPRS dan MPRS yang akhirnya melantik Pangkostrad itu sebagai Pejabat Presiden RI menggantikan Bung Karno pada 1967 hingga terselenggaranya Pemilu 1971. (*)