Mengenali Prabowo Asli
Oleh: Luthfi Pattimura | Wartawan Senior Majalah FORUM Keadilan
PADA saat Jokowi berkuasa, kenyataan-kenyataan dasar disembunyikan di mana-mana. Di awali dengan tag Jokowi adalah kita, sebagai orang biasa, lalu disusuli kebijakan yang diklaim pro rakyat. Dari sana, Jokowi pun banjir dukungan. Ini modal awal.
Setelah ketahuan segala bentuk pencitraan, Jokowi akhirnya menyandang predikat presiden pencitraan. Jokowi bahkan dinilai lain di bibir lain di hati. Bibirnya buat rakyat, tapi hatinya buat keluarga dan kroni.
Bukan rahasia, kalau sebahagian geng Solo dan jaringan UGM, sempat menjadi petinggi di berbagai pos, sekaligus menjadi benteng Jokowi selama berkuasa..
Sebagai langkah preventif Jokowi, anak menantunya juga harus disiapkan agar tidak dipukul balik oleh elit politik setelah dia lengser: Gibran kini menjadi Wapres, Kaesang mejadi Ketum PSI, dan Bobi Nasution, kini menjadi Gubernur Sumut.
Pada titik ini, apa artinya bom waktu ala Connie Rahakundini Bakrie, menyusul KPK menetapkan status Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P sebagai tersangka dugaan korupsi?
Connie, pengamat militer, sohib dekat Hasto, mengaku penyimpan sejumlah dokemen penting, yang diklaim berisi kelakuan Jokowi dan kroninya. Gegerkah, kalau sampai dokumen itu terbongkar?
Bila dilihat dari satu sisi, Hasto dan karenanya PDI-P, adalah pendukung Jokowi, dari Pilpres 2014-2019 hingga Pilpres 2019-2024, meski mereka akhirnya “pisah ranjang.”
Melihat aneka versi pemberitaan soal kasus Hasto, karena gambaran tentang Hasto juga gambaran tentang latar partai penguasa sejak Jokowi menjadi Presiden RI selama dua periode.
Sebagai simbol kekuatan arus bawah, PDI-P kuat mengkonsolidasikan sukarelawan dalam wujud yang lebih solid terhadap Jokowi. Kini, simbol kekuatan itu berada di titik bawah.
Akan tetapi, jika dilihat dari sisi lain, dari sudut pandang orang awam, mendengar cerita klasik tentang pisah ranjang, dapat menjadi alasan untuk menanyakan lagi. Bukan soal panggung apa perpisahan itu terjadi, melainkan ujung dari penerus nafsu kekuasaan tadi.
Kalau definisi pisah ranjang dirumuskan sebagai tindakan menjauh, bukan kematian permanen, maka pusat kekuasaan yang kini di tangan Prabowo-Gibran, membikin seorang bodoh pun akan berpikir, betapa wajarnya jika masih ada fenomena Jokowian.
Meskipun PDI-P dan Jokowi sudah pisah ranjang, perpisahan itu ternyata tidak menghapus jejak dukungan terhadap Jokowi. Pastilah, karena ini panggung kekuasaan politik. Apa saja bisa terjadi.
Dalam politik, bahkan sering tampak merah adalah putih, kuning adalah hijau. Pohon tempat berkumpulnya hantu dan pelacur. Karena susah dipegang buntutnya, dunia politik juga sering dianalogikan sebagai binatang tak berekor. Tak usah gelisah, toh, manusia juga tergolong binatang yang berakal.
Aslinya, setiap orang punya tanggal: Kelahiran dan kematian. Pula, punya bagian terindah dan tersulit saat kelahiran atau kematian. Juga, punya waktu kebangkitan dan keruntuhan.
Saat lahir atau mati, di antara orang-orang terdekat, di sebuah ruangan, orang-orang itu ada, ruangan itu ada. Bagaimana jika kesunyian itu bahasa Tuhan, dan orang-orang terdekat di sebuah ruang, itu hanya terjemahan dari kehausan akan pertolongan?
Pertanyaan begini perlu disisihkan, karena aslinya, ada sepersekian detik bagi siapa pun untuk bertanya, apa, kenapa, dan seterusnya, ketika ia jatuh. Ini percakapan batin yang tak bisa dihapus, kecuali ditransformasikan dalam kehidupan termasuk di partai.
Megawati, Jokowi, bahkan Prabowo yang maju, kalah, maju, kalah lagi, maju lagi dan akhirnya menang di Pilpres 2024, atau Anda yang membaca tulisan ini, pasti juga sering melakukan percakapan model ini.
Memang, dalam politik, percakapan yang sah hanya percakapan yang menawarkan kepentingan, ideologis, bukan batin. Gagal dalam percakapan politik bahkan bisa berujung konflik. Sekarang, orang menginjak orang lain sudah dengan tangan dingin dan perencanaan yang canggih.
Sampai di sini, mereka yang matanya sudah lulus sekolah cahaya, akan ingat pertama kali memegang kamera. Di sana: Lensa didefinisikan sebagai kumpulan cahaya-cahaya, dan memutar lensa bukan itu cahaya sesungguhnya.
Betul. Setiap bangsa punya gagasan untuk bangkit, namun apa kata dunia, bila di dalam kebangkitan, masih berisi bermacam pelacuran: Otak, ilmu, keyakinan, hingga pelacuran hak dan wewenang, untuk memainkan berapa jumlah wajah seorang pemimpin bisa kena sorotan cahaya kamera.
Bila kehormatan bangsa ibarat seorang wanita, yang menyingkap sendiri pahanya. Amboi. Reduplah cahaya jiwa. Pingsanlah kehormatan bangsa.
Dulu, di Mesir, Anwar Sadat menyebut dirinya presiden yang saleh, tetapi pada akhirnya ia runtuh di negerinya sendiri. Kenapa? Karena ia sering mengotak-atik kenyataan dasarnya, dengan cahaya kamera, untuk dikagumi tapi malah terpencil di dunianya sendiri.
M. Heikal, sohib dekat Sadat, menulis kisah itu sebagai contoh orang haus pembenaran karena nafsu kekuasaan berujung tragedy, dalam bukunya, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan.
Orang bisa saja memiliki penilaian yang lebih tepat tentang PDI-P, jika melihat makna obyektif yang muncul dalam sirkulasi budaya politik demi kesatuan NKRI.
Nah, karena kekuasaan sudah beralih dari Jokowi-Ma’ruf ke Prabowo-Gibran, masalahnya di sini sudah bukan peralihan, melainkan garisnya.
Apa yang dipisahkan oleh garis—kata Bourdieu dalam bukunya Bahasa dan Kekuasaan Simbolik—tentu saja adalah sesuatu yang ada sebelumnya dan sesuatu yang hadir sesudahnya.
Pencitraan, utang bertumpuk, korupsi, adalah kondisi bangsa sebelum Pilpres 2024. Sesudahnya, mulai diangkat tinggi-tinggi bendera perang terhadap para geng koruptor.
Melihat bom waktu ala Connie Bakrie, dikaitkan dengan mereka yang memelototi wajah presiden yang masih setengah Jokowi setengah Prabowo, jelas, supaya Indonesia punya presiden yang Prabowo asli seratus persen, bisa dikenali.