Meski Harga Harga Meroket, Kepuasan Publik Terhadap Jokowi-Maruf Naik, Rocky: Lembaga Survei Sudah Ancang-ancang Berbohong Lagi
Jakarta, FNN - Hasil survei Center for Political Communication Studies (CPCS) menyebutkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin masih tinggi di tengah polemik kenaikan harga yang memicu aksi demonstrasi.
"Meskipun ramai polemik kenaikan harga, mayoritas publik masih merasa puas terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi,” kata Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta dikutip dari ANTARA di Jakarta, Jumat (29/4/2022).
Dalam survei tersebut, katanya, sebanyak 79,3 persen responden merasa puas, yang 8,5 persen di antaranya menyatakan sangat puas. Sebaliknya, 18,9 persen responden merasa tidak puas, dengan 1 persen di antaranya merespons tidak puas sama sekali; sedangkan sisanya sebanyak 1,8 persen tidak tahu atau tidak menjawab.
Isu kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok, khususnya minyak goreng, telah berlangsung setidaknya sejak September 2021 dan diikuti dengan kelangkaan stok ketika Pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET).
Menanggapi hasil survei di tengah goncangnya rezim acakadut, pengamat politik Rocky Gerung menyatakan bahwa tak ada urgensinya berbicara soal puas tidak puasnya masyarakat.
“Kita nggak tahu yang disurvei siapa lagi nih. Kan tetap mau dikasih kesan bahwa kalau Pak Jokowi melakukan sesuatu itu tidak kontra-produktif dengan legitimasinya. Ini beberapa lembaga survei memang bersiap-siap untuk berbohong lagi. Kan nggak ada di dalam logika publik, tiba-tiba dalam sekejap itu legitimasi Pak Jokowi naik,” kata Rocky kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Jumat (29/4/2022).
Survei tersebut kata Rocky justru menghina petani yang sedang kewalahan menahan beban ekonomi yang disebabkan oleh kekacauan kebijakan dari Pak Jokowi.
“Jadi kita tahu lembaga survei tergantung siapa yang pesanlah, dan tergantung apa yang diinginkan. Itu yang harus ditulis sebagai headline,” paparnya.
Rocky menegaskan, sebetulnya tidak penting lagi untuk bicara tentang tiba-tiba naik dukungannya. Fakta di lapangan bahwa sawit itu dibiarkan busuk oleh petani karena biaya untuk memproduksi atau memanjat pohon saja tidak ada.
“Jadi, busuknya sawit di petani itu pertanda dari busuknya kekuasaan. Nah, kalau busuknya kekuasaan nggak mungkin dia naik lima persen,” katanya.
Jika kemudian hasil survei seperti itu, Rocky menilai mungkin dari awal sudah disiapkan, bahkan sebelum Pak Jokowi ngomong tentang larangan total eksport CPO itu. Surveyor sudah disiapkan untuk menerangkan bahwa ini adalah sebuah keputusan yang justru membuat rakyat percaya pada Jokowi hingga hari ini, elektabilitasnya atau legitimasinya, tingkat kepercayaannya naik lima persen.
“Ini juga angka yang ngapain sih? Mau sampai berapa persenlah, kan terlihat dari wajah Pak Jokowi yang muram dan wajah itu wajah minus 5 persen,” tegasnya.
Persoalan survei ini kata Rocky adalah masalah yang sejak dulu dikritik karena tidak layak dipercaya.
“Ngapain sih masih ngukur-ngukur sesuatu yang sudah akan atau sedang berakhir. Jadi biarin aja, nanti di ujung baru diukur tuh pada waktu beliau memerintah kuasa atau tidak.” katanya.
Rocky menyaranan lembaga survei agar melakukan polling atas wajah Jokowi.
“Publik ditanya, menurut Anda wajah Pak Jokowi tadi malam itu wajah kepuasan atau wajah penderitaan. Kan lebih gampang begitu sebetulnya dari pada main-main statistik dan tujuannya apa?,” katanya.
Mustinya, survei dilakukan menjelang pendaftaran presiden baru, orang mau cari tahu, nih presiden lama kita puas apa enggak? Kepada siapa kepuasan itu akan dia wariskan.
“Sebaliknya, kepada siapa ketidakpuasan itu akan berakibat buruk nantinya. Kan begitu cara melihat legitimasi Presiden,” katanya.
Rocky menyimpulkan, akhirnya analisis politik tidak lagi berbasis pada kemampuan untuk membayangkan masa depan, tapi kita mulai menghitung teknik bahasa tubuh.
“Kan orang anggap bahwa siapa yang seolah-olah telah didekati oleh Pak Jokowi itu sebetulnya sinyal bahwa dia akan ditangkap. Kira-kira begitu,” paparnya.
Jokowi kata Rocky menjadi semacam sinyal buruk memberi umpan orang yang musti diperiksa.
“Dua hari sebelumnya Anies bermesraan dengan Pak Jokowi, sekarang Anies dinyatakan berpotensi untuk menjadi tersangka. Jadi itu sinyalnya. Orang enggak tahu bacanya bagaimana ya. Kalau Pak Jokowi diberi tahu duluan, misalnya, mungkin Pak Jokowi ngapain lagi bergandeng dengan Anies. Atau memang Pak Jokowi sudah tahu bahwa Anies akan ditersangkakan baru, akan ditersangkakan lagi di KPK, dikasih sinyal seolah itu memang nasibnyalah,” paparnya.
Tapi di sisi lain, kata Rocky, sesungguhnya ada faksi lain yang ingin menghalangi Anies dan segala macam spekulasi berlangsung. Partai yang merasa cemburu dengan elektabilitas Anies, kini mulai memakai kekuasaannya untuk mempengaruhi KPK.
“Jadi variabel-variabel ini yang terlihat ulang, tapi tetap ada hal yang kongkrit bahwa ekonomi kita memburuk terus, legitimasi presiden memburuk terus. Setiap persoalan politik harus dilihat dalam konteks itu. Apakah pemburukan legitimasi presiden bisa diatasi dengan sprindik buat Anies? Apakah orang akan lupa soal krisis minyak goreng kalau Anies ditersangkakan?,” tegasnya.
Rocky menganggap dekatnya Jokowi dengan Anies menimbulkan kecemburuan baru bagi partai politik.
“Saya anggap permainan-permainan yang konyol karena orang sudah tiba pada kesimpulan bahwa calon-calon yang dipersiapkan Presiden Jokowi nggak bermutu. Kan itu intinya. Jadi mulai ada kecemburuan, kok ada calon dari luar. Itu saya kira itu sinyalnya begitu,” paparnya. (ida, sws)