Mobilisasi Kepala Desa dan Agenda Presiden Tiga Periode

Oleh Gde Siriana - Direktur Eksekutif INFUS dan penulis buku "Keserakahan Di Tengah Pandemi.

PADA awal Desember 2021 Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), Surta Wijaya, menyatakan bahwa organisasinya akan menganugerahi Presiden Joko Widodo dengan gelar "Bapak Pembangunan Desa" dan "Bapak Kepala Desa Senusantara". Manuver Apdesi untuk terlibat dalam konstelasi politik nasional kemudian berlanjut. Pada 29 Maret lalu, Apdesi mengklaim bahwa setelah Idul Fitri, seluruh kepala desa berencana untuk mendeklarasikan dukungan "Jokowi tiga periode".

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, tentu saja sumringah dan para pembantunya, seperti Staf Khusus Presiden, Ngabalin, dan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, menyambut umpan lambung ini dengan smash menukik untuk memberi pembenaran pada dukungan big data Luhut, yang telah disangkal berbagai pihak. Luhut mengklaim punya big data yang menunjukkan bahwa 110 juta warganet ingin pemilihan umum 2024 ditunda.

Tentu saja, memobilisasi kepala desa untuk mendukung Jokowi tiga periode ini sudah sangat telanjang di mata publik. Menteri Desa, Abdul Halim Iskandar, adalah kakak kandung Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa yang melontarkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden. Adapun Wakil Menteri Desa, Budi Arie Setiadi, adalah Ketua Umum Projo, relawan pendukung Jokowi pada pemilihan presiden 2014 dan 2019. Maka, sudah jelas mengapa para kepala desa dikerahkan untuk melancarkan agenda Jokowi tiga periode ini.

Sejauh ini, tidak ada teguran atau kemarahan yang terlontar dari Jokowi untuk menertibkan manuver para pembantunya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gerakan Jokowi tiga periode atau pun perpanjangan masa jabatan presiden ini merupakan gerakan yang sistematis dan dikendalikan dari dalam Istana. Mobilisasi kepala desa tampaknya merupakan upaya untuk membentuk opini publik.

Mobilisasi dukungan akar rumput ini akan membelah masyarakat. Misalnya, beberapa pihak dalam Apdesi menyangkal klaim bahwa organisasi itu mendukung Jokowi tiga periode. Nafsu kekuasaan ternyata tidak mempedulikan kohesi sosial masyarakat dan bahkan cenderung memecah belahnya.

Posisi Presiden Jokowi sudah terjepit akibat agenda ini. Sikap Megawati yang menolak penundaan pemilihan umum juga memperlebar keretakan di dalam lingkaran kekuasaan. Pembatalan agenda tiga periode dan penundaan pemilihan umum juga akan lebih merugikan Jokowi, terutama terkait dengan calon-calon yang dia kehendaki untuk memenangi pemilihan presiden 2024.

Ini tampaknya berhubungan dengan sindrom petahana atau sindrom periode kedua. Petahana memiliki impian untuk terus dikenang oleh rakyat, dipuja sebagai pemimpin yang berhasil, dan mewariskan kejayaan. Ia juga ingin terus menjadi bagian dari orang yang mengatur kekuasaan berikutnya. Hal ini pernah terjadi juga ketika lingkaran kekuasaan SBY mencoba menggoda SBY untuk tiga periode tetapi SBY berhasil menolak gagasan itu.

Kini Jokowi tergoda dan bahkan sudah terjebak dan tersandera oleh lingkarannya sendiri ketika anak-mantunya didorong menjadi kepala daerah—suatu hal yang belum pernah terjadi di era presiden sebelum-sebelumnya.

Kini, gagasan menambah masa kekuasaan presiden sudah turun pada tataran operasional, meski harus membeli dukungan publik maupun kader partai pemilik suara di DPR demi menyiasati konstitusi. Gagasan perpanjangan masa jabatan ini juga akan lebih menarik minat kader partai yang merupakan petahana di DPR dan DPD karena masa jabatan mereka pun akan ikut diperpanjang. Singkatnya, SPS: semua petahana senang.

Jika agenda Jokowi tiga periode atau perpanjangan masa presiden gagal, sudah disiapkan rencana cadangan untuk menempatkan orang-orang pilihan sebagai penggantinya melalui berbagai mekanisme yang mungkin. Dengan demikian, dua agenda tersebut tampaknya akan terus dipaksakan semaksimal mungkin, apa pun risiko dan berapa pun biayanya.

Yang perlu disadari para elite dan tokoh masyarakat desa adalah bahwa pertarungan elite yang merambah ke akar rumput akan menimbulkan konflik horisontal, yang sangat memungkinkan menimbulkan pertumpahan darah. Di desa juga ada kader-kader partai politik dan mungkin akan terjadi konflik di antara mereka sebagai turunan dari sikap partai di pusat.

Namun, tidak semua hal dapat dipertukarkan. Loyalitas masyarakat pada konstitusi, akhlaknya, dan harapan tentang hari esok yang lebih baik tidak selalu dapat ditukar dengan materi yang ditawarkan para elite.

Memobilisasi masyarakat, yang sudah terbelah sejak pemilihan presiden 2014, akan sangat berbahaya karena akan berbenturan dengan kelompok-kelompok penjaga konstitusi yang juga sudah bergerak, termasuk aksi-aksi mahasiswa. Potensi konflik sosial antara pendukung dan penolak agenda Jokowi tiga periode atau perpanjangan masa presiden akan dapat memicu kekacauan serta ketidakstabilan politik dan keamanan. Inilah yang harus dicegah sedini mungkin. (*)

290

Related Post