Mohammad Natsir Pemimpin Nasionalis-Religius
Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir untuk memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto.
Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, MAg, Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
MOHAMMAD Natsir adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia salah satu pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia.
Lahir di Solok, Padang, Sumatra Barat, pada 17 Juli 1908, dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah, dan meninggal dunia pada 6 Februari 1993 di Jakarta. Pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri pada era Soekarno pada 1950–1951.
Mohammad Natsir salah seorang pendiri Universitas Islam Indonesia, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Di antara karya tulis utamanya ialah buku Capita Selecta, Islam sebagai Dasar Negara, dan Fiqhud Da’wah.
Natsir mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun, kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsch School (HIS) Adabiyah Padang. Beberapa bulan kemudian ia pindah ke Solok dan dititipkan di rumah saudagar Haji Musa. Selain belajar di HIS pada siang hari, ia juga belajar ilmu agama Islam di Madrasah Diniyah pada malam hari.
Tiga tahun kemudian Natsir kembali pindah ke HIS di Padang bersama kakaknya. Pada 1923, ia melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), lalu ikut bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda, seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond.
Setelah lulus dari MULO, ia pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) hingga tamat pada 1930. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an bergabung dengan partai politik berideologi Islam.
Dari 1928 sampai 1932 Natsir menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru dua tahun di perguruan tinggi dan memperdalam ilmu agama, termasuk dalam bidang tafsir Al-Quran dan hukum Islam. Pada 1932 Natsir berguru kepada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Persatuan Islam.
Natsir aktif menulis di majalah-majalah Islam. Karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Natsir memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia pun kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam.
Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno menuding Mohammad Natsir sebagai pemberontak dan pembangkang yang berujung pemenjaraan. Sedangkan negara-negara lain sangat menghormati dan menghargai Pak Natsir, hingga banyak penghargaan yang dianugerahkan kepadanya.
Dunia Islam mengakui Mohammad Natsir sebagai pahlawan lintas batas bangsa dan negara. Di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan Ketua Dewan Masjid se-Dunia. Menurut Bruce Lawrence, Natsir merupakan politisi yang paling menonjol mendukung pembaruan Islam.
Pada 8 Juli 1945 M. Natsir bersama tokoh-tokoh Islam, antara lain Abdoel Kahar Muzakir, Mohammad Hatta, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Roem, dan KH Imam Zarkasyi mendirikan Universitas Islam Indonesia, salah satu perguruan tinggi swasta nasional tertua yang terletak di Yogyakarta.
Setelah proklamasi kemerdekan Indonesia Natsir menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral dalam sidang pleno parlemen yang memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat (RIS), sehingga ia diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950.
Natsir mengundurkan diri dari jabatannya pada 26 April 1951, karena perselisihan paham dengan Soekarno yang menganut paham nasionalisme dan mengkritik Islam sebagai ideologi, seraya memuji sekularisasi Mustafa Kemal Attaturk di Kesultanan Turki Usmani.
Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah di Turki dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi. Natsir juga mengkritik Soekarno yang kurang memperhatikan kesejahteraan di luar pulau Jawa.
Bersama tokoh-tokoh Nasional pada 1947 Mohammad Natsir mendirikan partai politik Islam Masyumi. Pada tahun 1958, beberapa tokoh Masyumi bergabung dalam struktur PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Oleh karena itu, Masyumi bersama-sama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan oleh pemerintah pada 1960. Upaya untuk membangkitkan kembali partai ini selama masa transisi ke Orde Baru sempat dilakukan, tapi tidak diizinkan.
Setelah kejatuhan Soeharto pada 1998, upaya untuk membangkitkan partai ini dilakukan kembali dengan cara mendirikan Partai Bulan Bintang yang berpartisipasi dalam pemilihan-pemilihan umum pasca-Reformasi.
Selama dalam era demokrasi terpimpin Indonesia, Natsir terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) setelah meninggalkan Pulau Jawa.
PRRI yang menuntut otonomi daerah yang lebih luas yang disalahtafsirkan Soekarno sebagai pemberontakan terhadap pusat. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang tahun 1962 sampai 1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada 26 Juli 1966.
Di era Orde Baru Natsir membentuk Yayasan Dewan Dakwan Islamiyah Indonesia pada 26 Februari 1967 bersama para pendiri bangsa, semisal Mr. Mohammad Roem (Menteri Luar Negeri RI, dan penandatangan Perjanjian Roem-Van Roejen), Mr. Sjafroedin Prawiranegara (Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia pertama), Prof. Dr. HM Rasjidi (Menteri Agama pertama RI), Mr. Burhanuddin Harahap (Perdana Menteri RI ke-9), Prawoto Mangkusasmito (Ketua Partai Islam Masyumi terakhir), Prof. Kasman Singodimedjo (Jaksa Agung Pertama), dan lain-lain.
Sejak berdirinya Dewan Da’wah memutuskan untuk melakukan aktivitas politik melalui dakwah Islamiyah, sebagaimana digariskan oleh Mohammad Natsir, yaitu: “Kita berpolitik dengan dakwah”. Dewan Da’wah memutuskan untuk menekuni bidang dakwah dan mengambil jarak yang sama dengan semua kekuatan politik yang memperjuangkan aspirasi umat Islam dan memperjuangkan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indoensia.
Dewan Dakwah melandaskan kebijaksanaannya kepada empat hal: (1) Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berdasarkan taqwa dan keridhaan Allah; (2) Dalam mencapai maksud dan tujuannya, Dewan Dakwah mengadakan kerja sama yang erat dengan badan-badan dakwah yang telah ada di seluruh Indonesia;
(3) Dalam hal yang bersifat kontroversial, dan dalam usaha melicinkan jalan dakwah, Dewan Dakwah bersikap menghindari dan atau mengurangi pertikaian paham antara pendukung dakwah, istimewa dalam melaksanakan tugas dakwah;
(4) Di mana perlu dan dalam keadaan mengizinkan, Dewan Dakwah dapat tampil mengisi kekosongan, antara lain menciptakan suatu usaha berbentuk atau bersifat dakwah, usaha mana sebelumnya belum pernah diadakan, seperti mengadakan pilot projek dalam bidang dakwah.
Natsir juga mengkritisi kebijakan pemerintah, dengan ikut menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti, dan lain-lain.
Akibatnya Natsir dilarang pergi ke luar negeri, dan banyak seminar yang tidak bisa diikutinya. Natsir menolak kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai, terutama partai Islam dan mengkritik Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Soeharto.
Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir untuk memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto.
Tahun 1980 Natsir menerima anugerah penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi melalui Yayasan Raja Faisal di Riyadh, Arab Saudi.
Ia juga memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang politik Islam dari Universitas Islam Libanon pada 1967. Pada 1991 ia memperoleh gelar kehormatan dalam bidang sastra dari UKM (Universitas Kebangsaan Malaysia), dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia.
Pemerintah Indonesia menghormatinya setelah 15 tahun beliau wafat. Pada 10 November 2008 Natsir dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Soeharto enggan memberikan gelar pahlawan kepada salah satu “bapak bangsa” ini. Namun, pada masa BJ Habibie Mohammad, Natsir menerima penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana. (*)