Muatan Keppres 17 Tahun 2022 Bisa Menyasar ABRI dan Bung Karno?

Oleh Sri Widodo Soetardjowijono - Wakil Pemimpin Redaksi FNN

Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) kembali menyelenggarakan diskusi strategis dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang beberapa hari lalu mengeluarkan Keppres 17 tahun 2022, dimana ada 12 kasus terkait pelanggaran HAM berat masa lalu mulai tahun 1965 s/d 2019.

Tentu lahirnya Keppres ini membuat kaget banyak pihak, khususnya para sejarawan, aktivis HAM, dan tokoh bangsa. Karena, bagi yang paham sejarah pasti akan langsung menangkap ke mana arah rezim hari ini sebenarnya. 

Hadir sebagai narasumber antara lain sejarawan Dr Anhar Gonggong, mantan Ketua Komnas HAM Prof. Hafids Abbas, pakar politik dan juga dosen UI Dr Mulyadi,  budayawan sepuh Taufik Ismail, dan sebagai clossing penutup Panglima TNI 2017-2019 Jenderal Gatot Nurmantiyo.

Prof. Hafids menyatakan, sebenarnya tak perlu lagi pemerintah menerbitkan Keppres yang justru kemungkinan akan menjadi masalah baru, khususnya masalah tragedi 30/S/PKI tahun 1965. Karena ketika beliau menjabat sebagai Ketua Komnas HAM telah menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat ketika itu, namun yang terjadi adalah konflik horizontal dua kelompok yang pro komunis (PKI) dan yang anti Komunis. Dan itu sudah clear secara standar hukum hak asasi manusia. 

Sejarawan Anhar Gonggong juga menambahkan, mustinya kalau mau jujur, yang dipermasalahkan tidak saja tragedi tahun 1965-66 saja, akan tetapi harus dimulai sejak tahun 1961. Anhar menegaskan Soekarno yang jadi Presiden ketika itu berniat baik menyatukan kelompok Nasionalis, Agama dan Komunis, namun di kalangan arus bawah hal ini tidak terjadi. Justru yang terjadi, adalah pembunuhan dan kriminalisasi oleh kelompok PKI terhadap kalangan agamais seperti NU, dan para pejabat bupati hingga polisi.Keinginan Soekarno menyatukan Nasakom, kata Anhar termotivasi pikirannya tahun 1926.

Anhar Gonggong menambahkan bahwa sesungguhnya yang paling menjadi korban dari kebiadaban PKI ini adalah warga NU. Ribuan santri dan kiyai dibunuh oleh PKI di Jawa Timur, tragedi sumur koco sebagaimana yang tertulis dalam buku “Banjir Darah PKI”. Semua kebiadaban itu terjadi di tahun 1961-1965.

“Artinya, tragedi pembunuhan terhadap antek PKI tahun 1965 adalah balas dendam dari kelompok Islam (NU) dan nasionalis terhadap PKI yang gagal Kudeta 1965," tegas sejarawan senior yang juga mengajar di Lemhannas RI tersebut.

Begitu juga dengan pernyataan Dr Mulyadi. Dalam perspektif ilmu politik, Presiden Jokowi harus hati-hari terhadap Keppres yang dikeluarkannya. Karena diduga bukan menyelesaikan masalah, namun justru akan menambah masalah baru.

Mulyadi menambahkan ada faktor geopolitik global  saat ini, maupun korelasinya dari masa lalu dari dua kekuatan besar global yang selalu ingin mengadu domba sesama anak bangsa sampai hari ini. Kalau tahun 1965 ada perang dingin, sedangkan sekarang hampir sama oleh dua kekuatan tersebut.

Mulyadi wanti-wantai agar jangan sampai justru lahirnya Keppres no 17 ini, Jokowi secara tak langsung memobilisasi para musuhnya bertambah banyak. Sedangkan, permasalahan itu sebenarnya sudah selesai. Jangan sampai Keppres ini untuk jadi ajang “balas dendam” satu kelompok. 

Apalagi, kata Mulyadi ada 9 dari 12 kasus tersebut melibatkan sebuah institusi dan personal yang sebagian besar dari kalangan militer dan bapak bangsa. 

Sementara budayawan Taufik Ismail meski sudah sepuh, namun semangatnya akan nasib bangsa ini ke depan masih begitu luar biasa. Ia selalu beraoi-api jika bicara soal kekejaman komunis.

Dengan lugas tanpa basa-basi, Taufik Ismail yang berdarah Minangkabau ini membacakan data-datanya, “Di Moskow ada gereja terbesar yang di tutup saat ini kemudian dijadikan masjid besar yang juga diresmikan oleh walikotanya langsung dengan meriah. Di Inggris ada 500 gereja ditutup, lalu 423-nya juga di jadikan masjid. Dan ada 9 kota yang walikotanya adalah dari muslim," paparnya.

Artinya, lanjut Taufik di Eropa antara komunitas Islam dan Barat baik itu dengan Katolik dan bahkan sosialis-komunis khususnya di Rusia sudah hidup damai dan mesra. "Ini adalah fakta hari ini yang begitu indah sekali,," kata Taufik.

Taufik Ismail lalu memaparkan banyaknya korban di pihak atas kebiadaban komunis masa lalu.

“Di satu sisi, dalam catatan sejarah, ada tragedi di 74 negara dalam 76 tahun lamanya terjadi pembunuhan terhadap umat muslim sebanyak 4000 jiwa setiap hari. Hal ini kalau kita simpulkan ada 108 juta jiwa umat Islam dibantai dalam sejarah komunis berkuasa di dunia," paparnya.

Apa yang mesti kita ambil pelajaran dari itu semua, bahwa di belahan dunia barat dan Eropa, pertumbuhan Islam sangat luar biasa.

"Mereka (kelompok komunis) terdesak dan tidak laku lagi di sana. Akhirnya melihat Indonesia, sebuah negara muslim terbesar yang sedang merangkak bangkit. Makanya mereka (kelompok komunis) itu bersepakat untuk masuk secara diam-diam ke Indonesia untuk menguasai Indonesia. Kita mesti paham ini! Demi Allah umat Islam mesti sadar dan paham akan ancaman ini, “ kata budayawan itu dengan mata berkaca-kaca penuh khidmat.

Sebagai penutup diskusi yang hangat dan menarik tersebut, Jenderal Gatot Nurmantiyo menyampaikan kesimpulan dari catatannya bahwa Presiden Jokowi harus hati-hati terhadap para pembisiknya.

“Pak Jokowi hati-hati dan menganalisa kembali apa yang sudah diterbitkan. Karena, kalau berbicara negara minta maaf kepada korban PKI, berarti institusi negara yang akan menerima kesalahan itu adalah ABRI (TNI/POLRI) dong? Apa salah ABRI? Dan ini berbahaya, karena dunia internasional akan mengucilkan ABRI, generasi muda yang belajar sejarah yang sudah diputarbalikkan. Mereka akan menghujat ABRI. Sedangkan ABRI adalah tulang punggung  negara. Kalau ABRI di hancurkan nama baiknya, itu sama saja menghancurkan negara demi kepentingan satu kelompok," tegas Gatot.

Gatot mengingatkan tragedi 1965-1967 siapa presidennya ketika itu? Siapa Panglima besar tertinggi saat itu? Ya jelas Soekarno kan? Apa rela bangsa ini, mengorbankan nama besar Bapak Pendiri Bangsa. Kita semua dikorbankan jadi penanggung jawab semua kejahatan kemanusiaan di masa beliau Presiden. Karena secara hukum humaniter hal itu tak akan dapat dipisahkan.

Jenderal Gatot juga melanjutkan, “Setelah ada korban, tentu ada penjahatnya. Lalu penjahatnya siapa? ABRI? Umat Islam? Bung Karno? Pak Harto yang menerima mandat dari Soekarno dengan Supersemar? Lalu yang dibantai PKI pada tahun 1961-1965 bagaimana? Termasuk pahlawan revolusi? Belum lagi nanti akan muncul ribuan atau bahkan jutaan orang yang mengaku jadi korban dan minta uang ganti rugi?

"Untuk itu pada kesempatan ini, saya melihat justru Keppres ini bukam saja menusuk bahkan mengoyak-ngoyak luka lama berdarah kembali. Kalau bicara rekonsoliasi, toh secara alamiah sebenarnya hal itu sudah terjadi. para anak ex PKI hak politiknya sudah kembali. Ada yang jadi menteri, kepala daerah, dan anggota dewan. Kurang apa lagi coba? " tegas mantan Pangkostrad dan KSAD ini.

Diskusi yang dipandu wartawan senior FNN Hersubeno Arief ini disiarkan live streaming di kanal Forum News Network dan kanal Refly Harun.

 Tampak juga hadir di studio politisi dan advokat Dr Ahmad Yani, mantan Jubir Gus Dur Adhi Massardi, Said Didu, Anton Permana, Hendri Harmen, dan para aktifis serta Mahasiswa. (*)

360

Related Post