Muhammadiyah, Deklarasi Pendidikan dan Pelatihan HAM PBB

Prof Dr Hafid Abbas

Oleh Prof Dr Hafid Abbas, Ketua Komnas HAM RI ke-8

Sungguh satu peristiwa bersejarah Muhammadiyah dan PBB sejak satu dekade terakhir. Keduanya mencanangkan satu program pemajuan dan perlindungan HAM bagi semua warga negara.

Muhammadiyah, melalui Majelis Hukum dan HAM yang telah dibentuknya pada 2023-2027, berfokus pada: HAM jaringan kelembagaan; pendidikan hukum , HAM dan demokrasi; Non-litigasi, perundang-undangan dan sosialisasi hukum; dan kebijakan advokasi hukum, HAM dan etika profesi hukum (Keputusan No:146/KEP/I.O/D/2023).

Bahkan melalui majelis ini, Muhammadiyah telah menginisiasi penyelenggaraan Sekolah HAM.

Demikian pula PBB. Pada 19 Desember 2011, telah mengadopsi Deklarasi Pendidikan dan Pelatihan HAM (United Nations Declaration on Human Rights Education and Training) melalui resolusi Sidang Umum PBB 66/137.

Sebagai refleksi atas pelaksanaan deklarasi tersebut, pada peringatan Satu Dekade Deklarasi Pendidikan dan Pelatihan HAM, Dewan HAM PBB pada 29 Desember 2021, melalui resolusi 42/7 menyelenggarakan diskusi panel tingkat tinggi yang berfokus pada: United Nations Declaration on Human Rights Education and Training: good practices, challenges and the way forward. Komisaris Tinggi Dewan HAM PBB pada resolusi itu menyatakan bahwa pendidikan HAM membekali individu dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang membantu mereka mengidentifikasi, mengklaim dan membela HAM.

Konferensi ini mempromosikan pemikiran kritis dan menawarkan solusi berdasarkan nilai-nilai HAM terhadap tantangan global, termasuk diskriminasi dan ujaran kebencian, kemiskinan, konflik, kekerasan, segala jenis kesenjangan dan tiga krisis global yaitu: perubahan iklim, polusi dan pengrusakan lingkungan hidup (para 6).

Pada resolusi yang sama, Asisten Direktur Jenderal UNESCO menekankan bahwa pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan individu untuk memasuki dunia kerja. Pemerintah harus memberdayakan mereka dengan keterampilan, nilai-nilai dan sikap untuk menghormati HAM, meningkatkan kesejahteraan dan membentuk masyarakat yang lebih adil.

Ia menggarisbawahi pula kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa pendidikan HAM berfungsi sebagai alat untuk membangun masyarakat dan perekonomian yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif, serta memiliki ketahanan dalam menghadapi krisis (para 9).

Kerisauan Muhammadiyah dan PBB terhadap urgensi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan HAM bagi semua warga negara bukan tanpa alasan.

Pertama, meluasnya isu Islamofobia .

Kepeloporan AS menjadi pionir memerangi Islamafobia kelihatannya didasari atas kegagalannya menginvasi Afghanistan selama dua dekade dengan kerugian dan pengorbanan yang tidak ternilai.

Pada 30 Agustus 2021, secara resmi AS mengakhiri invasinya di Afghanistan . Kegagalan dan pengorbanan yang sama juga dialami di Irak .

Di sisi lain, dengan melihat ekspansi dan dominasi pengaruh ekonomi, sosial dan politik Cina sejak 1990-an di Afrika dan di berbagai negara di Asia, pengaruh AS di kawasan Indo-Pasifik terlihat meredup.

Dengan dinamika itu, AS telihat hendak membangun koalisi baru dengan dunia Islam.

Sungguh suatu kenyataan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, pada 14 Desember 2021, atas kepeloporan Ilhan Omar, Anggota DPR AS dari kubu Partai Demokrat telah berhasil menggolkan Undang-undang (UU) Anti-Islamofobia (Combating International Islamophobia Act). Keberhasilan Omar adalah karena dukungan penuh dari semua jajaran Partai Demokrat, termasuk Presiden Joe Biden.

Dengan UU Anti-Islamafobia, Kementerian Luar Negeri AS telah mengangkat Special Envoy (Duta Besar Khusus) untuk memantau dan memerangi segala bentuk Islamafobia yang terjadi di seluruh dunia.

UU ini mengamanatkan Kementerian Luar Negeri AS menyiapkan laporan setiap tahun ke Kongres mengenai rapor HAM dan kebebasan beragama di setiap negara dengan mengungkapkan data dan informasi tentang: perlakuan kejam secara fisik dan penghinaan terhadap umat Islam; kasus-kasus propaganda oleh media baik dari pemerintah atau bukan yang bertujuan untuk membenarkan dan mengobarkan kebencian atau penghasutan tindak kekerasan terhadap umat Islam; dan, langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah di setiap negara untuk mengatasi segala kasus seperti itu.

Kepeloporan AS untuk memerangi Islamafobia, telah mendapat dukungan luas dari negara-negara besar, termasuk Kanada, dan sejumlah negara UE.

Perdana Menteri Kanada , Justin Trudeau, bahkan telah menyampaikan kebijakannya untuk segera mengangkat Duta Besar Khusus untuk memerangi Islamafobia. Trudeau menegaskan bahwa persoalan Islamofobia adalah fakta sehari-hari yang dihadapi oleh umat Islam di seluruh dunia (TRTWorld, 30/01/2022).

Jika AS sudah memiliki UU Anti-Islamaphobia dan telah mengangkat Special Envoy (Duta Besar Khusus) untuk memantau dan memerangi segala bentuk Islamafobia yang terjadi di seluruh dunia, dan di seluruh pelosok negerinya, Indonesia tentu dapat pula melakukan hal yang sama.

Jika saja umat Islam terkesan masih dicurigai dengan segala macam tuduhan radikal, ekstrim, teroris, dan segala macam bentuk penghinaan lainnya, Indonesia dapat menjadi musuh bersama dari seluruh umat manusia.

Kedua, isu ketidakadilan yang semakin massif.

Pada kesempatan berbeda, Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) menyayangkan pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait dengan 198 pesantren terafiliasi terorisme.

Pernyataan JK tersebut kemudian mendapatkan respons permintaan maaf dari Kepala BNPT, Boy Rafli Amar saat bersilaturrahmi ke Kantor Pusat MUI (FNN, 07/02/2022).

Bahkan JK di kesempatan lain kembali menegaskan: “dari pengalaman kita berbangsa selama 77 tahun, kita memahami bahwa setidak-tidaknya ada 15 konflik besar melanda negeri ini yang menyebabkan munculnya korban ribuan orang. Dari 15 konflik itu, 11 karena ketidakadilan, yakni ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi" (Tempo, 15/01/2022).

Sebagai contoh yang memperkuat pandangan JK, pembakaran Kantor Bupati Bima NTB oleh warga pada 26 Januari 2012 sesungguhnya berpangkal dari kebijakan Bupati Ferry Zulkarnaen yang dinilai tidak adil telah memberikan izin Pertambangan Emas di tiga kecamatan kepada PT Sumber Mineral Nusantara.

Juga kasus serupa yang ditangani oleh Komnas HAM pada 2016 atas penggusuran warga di dua kecamatan di Bima oleh PT Sanggaragro karena telah mendapat izin penguasaan lahan seluas 5000 hektar.

Warga yang tergusur harus hidup terlunta-lunta, berkemah di depan Kantor Bupati berbulan-bulan.

Jika warga melakukan tindakan radikal, sama sekali tidak ada kaitannya dengan paham ekstrim, tetapi hilangnya keadilan. Jika saja negara hadir memberi keadilan, kesejahteraan dan rasa aman, negeri ini tentu akan terbebas dari segala konflik, radikalisme dan ekstrimisme.

Ketiga, kegagalan demorasi.

Sejak 1998, melalui Reformasi, Indonesia telah memilih jalan demokrasi. Namun dalam dua dekade terakhir, institusi-institusi demokrasi Indonesia terlihat telah mengalami pelapukan.

Lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD dan DPRD) telah dilanda berbagai persoalan hukum, politik dan sosial yang telah menyebabkan meredupnya kepercayaan masyarakat kepada institusi ini.

Data KPK menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga Juli 2023, DPR dan DPRD telah terjerat di sebanyak 344 kasus korupsi. Oleh KPK, jumlah ini dinilai ketiga tertinggi, sebagai institusi paling korup di tanah air, berada di bawah kasus korupsi yang bersumber dari korporasi (399 kasus) dan pejabat eselon I-IV di berbagai kementerian dan lembaga negara sebanyak 349 kasus (Kompas, 18/07/2023).

Selanjutnya Kontras mengungkap pula bahwa selama periode 2014-2019, terdapat 242 anggota legislatif yang memiliki catatan buruk dan diduga terlibat dalam sejumlah kasus pelanggaram hukum dan HAM.

Dari jumlah itu, anggota DPR yang memiliki catatan terburuk terbanyak berasal dari Fraksi PDIP yakni 57 orang, Fraksi Partai Golkar 44 orang, Fraksi Partai Demokrat 37 orang, Fraksi Partai Gerindra 24 orang, Fraksi PPP 20 orang, Fraksi PKS 18 orang, Fraksi PAN 16 orang, Fraksi PKB 11 orang dan Fraksi Partai Nasdem 9 orang (Hukumonline, 14/10/2014).

Potret suram seperti ini terlihat semakin masif dipraktikkan di semua lini pemerintahan, mulai di tingkat kelurahan hingga di pusat seperti yang telah direkam dalam film dokumenter Dirty Vote (2024).

Akibatnya, tidak mengherankan jika terlihat sederetan rapor merah dalam pelaksanaan ketatapemerintahan yang baik (good governance) di tanah air.

Pada 2014, Indonesia sebenarnya sudah tercatat sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dengan indeks demokrasinya (world democracy index) yang cukup baik. Ketika itu, Indonesia berada di peringkat ke-49 di antara 167 negara di dunia dengan skor total 6,95, memiliki skor 7,35 pada aspek kebebasan sipil.

Namun, setelah satu dekade, pada 2023, capaian-capaian itu menurun tajam ke skor total 6,53, sehingga peringkatnya turun ke urutan 56, dengan skor pada aspek kebebasan sipil 5,29, berada sejajar dengan Sierra Leone (5,29) dan sejumlah negara terbelakang lainnya yang berbentuk kerajaan atau otoriarian.

Memburuknya parameter-parameter demokrasi yang ditandai dengan pelemahan KPK, dan pergeseran peran aparat menjadi alat politik penguasa, Gus Mus (KH Mustofa Bisri) menggambarkan suasananya: “Ada sirup rasa jeruk dan durian, ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan” (JPNN 01/11/2023).

Terakhir, semoga dengan inisiasi Muhammadiyah yang menyelenggrakan persekolahan HAM dan prakarsa PBB yang terus menerus menggelorakan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi semua warga negara (human rights education for all) untuk memerangi ketidakadilan, memerangi penyalahgunaan kekuasaan yang telah menyuburkan kembali praktik KKN dan perang melawan Islamafobia, dapat segera membebaskan Indonesia yang kini terancam pecah.

151

Related Post