Nikel Dirampok : Presiden Jokowi Harus Bertanggungjawab (1)

foto : bisnistoday.co.id

Oleh Dr. Marwan Batubara/Direktur Eksekutif IRESS

Sesuai informasi anonim IRESS, ternyata volume bijih nikel yang diselundupkan bukan hanya 5,3 juta ton, tetapi jauh lebih besar, yakni 17 juta ton. Bahkan menurut sumber anonim lain, volume nikel yang diselundupkan kurun waktu 2020 - 2023 dapat mencapai 23 juta ton. Dengan volume sedemikian besar, maka dapat dipastikan kerugian negara dan rakyat Indonesia dapat mencapai lebih dari Rp 25 triliun! Belum lagi program strategis berupa hilirasasi nikel yang dapat memberi nilai tambah hingga 17 kali, juga dikangkangi.

Setelah KPK mengungkap ekspor ilegal (penyelundupan) bijih nikel dari Indonesia ke China sekitar sebulan yang lalu, tampaknya rakyat perlu sabar menanti bahwa kasus tersebut akhirnya akan terkuak secara terang benderang. Karena melibatkan oknum-oknum oligarkis yang sangat berkuasa, para pelaku kejahatan pidana merugikan negara tampaknya bisa lolos dari jerat hukum.

Jika kezoliman ini lolos, maka rakyat pasti sangat kecewa. Namun, sebelum kecewa kita perlu menggalang kekuatan dan melakukan advokasi tanpa henti, agar para penjahat kemanusiaan perampok SDA segera diadili. Kita menuntut agar semua pihak yang terlibat, dari bawah hingga atas dan teratas, dari daerah hingga pusat harus diadili hingga tuntas sesuai peraturan berlaku. KPK telah mulai membongkar kasus, maka KPK pun harus menuntaskan, tanpa takut dan pandang bulu!

Seperti diketahui, pada Jumat 23 Juni 2023 KPK mengungkap terjadinya penyeludupan bijih/ore nikel (mineral bercampur tanah) sebanyak 5,3 juta ton (2020: 3,39 ton dan 2023: 1,88 ton) ke China, yang berlangsung sejak Januari 2020 hingga Juni 2022. Ekspor bijih tersebut berkategori ilegal, sebab sejak Januari 2020, pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel sesuai Permen ESDM No.11/2019 yang merupakan perintah UU Minerba No.4/2009.

 Ketua Satgas Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria mengatakan data penyelundupan diperoleh dari website Bea Cukai China. Sedang bijih tersebut berasal dari sejumlah tambang di Sulawesi dan Maluku Utara. Salah satu sumber anonim IRESS menyebutkan bahwa PT TKD dan PT SBK diduga kuat sebagai pelaku penyelundupan. Juga sangat patut diduga penyelundupan melibatkan fasilitas yang dimiliki beberapa smelter besar di wilayah tersebut, atau juga dari smelter lain milik pengusaha oligarkis dan China.

Menurut APNI, penyelundupan diduga terjadi dengan memakai dokumen pelaporan kode barang yang diekspor yakni HS Code 2604 atau HS0 2604. Artinya HS Code 2604 ini adalah dokumen ekspor untuk nikel olahan atau nikel pig iron atau sejenisnya, sementara yang diekspor sebenarnya adalah bijih/ore nikel. Ini adalah kesengajaan dan manipulasi untuk melancarkan penyelundupan. Namun jika berlangsung lama dan bervolume jutaan ton, maka pihak Bea Cukai dan Perhubungan pun sangat pantas dicurigai terlibat.

Kejahatan sistemik melibatkan oknum-oknum aparat pemerintah lintas lembaga ini jelas mengandung unsur pelanggaran hukum dan unsur kerugian negara. Peraturan yang dilanggar termasuk berbagai ketenyuan dalam UU Minerba No.3/2020 Pasal 158 dan 170 A, UU Kepabeanan No.17/2006 Pasal 102 dan 103, UU Kehutanan No.19/2004, UU PPLH No.32/2009, UU Ciptaker No.11/2020), dan lain-lain. Setiap UU yang dilanggar tersebut telah memuat berbagai ketentuan tentang sanksi pidana dan denda terhadap para pelaku penyelundupan, termasuk tambahan sanksi jika yang melanggar adalah penyelenggara negara.

Hanya dari pelanggaran UU Kepabeanan Pasal 102A, sanksi hukum pelaku penyelundupan adalah kurungan 20 tahun dan denda maksimal Rp 100 miliar.  Untuk Pasal 102 B, sanksi hukum penjara 5-20 tahun dan denda Rp 5 - Rp 100 miliar. Untuk Pasal 102 C, jika pelanggaran dilakukan pejabat negara dan aparat penegak hukum, maka sanksi pidana ditambah 1/3 kali. Sanksi pelanggaran Pasal 103 terkait pelayanan dan pengawasan, dapat dipidana penjara 1-5 tahun dan denda Rp 50 juta hingga Rp 1 miliar. Selain itu, perbuatan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara dapat dipidana penjara 2-10 tahun dan atau denda Rp 1-5 miliar.

Sesuai informasi anonim IRESS, ternyata volume bijih nikel yang diselundupkan bukan hanya 5,3 juta ton, tetapi jauh lebih besar, yakni 17 juta ton. Bahkan menurut sumber anonim lain, volume nikel yang diselundupkan kurun waktu 2020 - 2023 dapat mencapai 23 juta ton. Dengan volume sedemikian besar, maka dapat dipastikan kerugian negara dan rakyat Indonesia dapat mencapai lebih dari Rp 25 triliun! Belum lagi program strategis berupa hilirasasi nikel yang dapat memberi nilai tambah hingga 17 kali, juga dikangkangi.

Atas dasar dua aspek penting di atas, yakni pelanggaran hukum dan kerugian negara, maka sangat layak jika KPK sebagai inisiator pembongkar kasus (23/6/2023) segera melanjutkan proses hukum ke tahap penyelidikan dan penyidikan secara seksama. Untuk itu KPK perlu melanjutkan temuan Bea Cukai yang mengaku telah menemukan 85 Bill of Lading (BL). Dari BL tersebut, akan dapat ditemukan pelabuhan tempat pengiriman bijih selundupan tersebut, dan berbagai informasi lain yang relevan untuk penuntasan kasus.

KPK pun dapat segera menemukan perusahaan-perusahaan smelter terkait, terutama yang memiliki pelabuhan atau akses ke pelabuhan internasional. Disini, kita perlu mempertanyakan statement KPK, bahwa IWIP (Indonesia Weda Bay Industrial Park), tidak terlibat. Kok belum menyelidiki, sudah membuat pernyataan spekulatif, mengundang tanya dan pasang kuda-kuda yang terkesan melindungi IWIP? Mudah-mudahan spekulasi kami ini tidak benar. Karena itu KPK harus independen dan berani bertindak sesuai wewenang yang disandang! KPK tidak tunduk pada tekanan oknum-oknum oligarkis. Rakyat akan mendukungKPK!

Kita perlu memahami jagad industri nikel Indonesia sarat dugaan KKN yang melibatkan banyak proxy (proxies) dan kekuatan oligarki. Rakyat dipersilakan melihat siapa saja oknum-oknum terkait oligarkis yang menjadi proxy dan pengurus (komisaris dan direksi) dalam menajemen tiap-tiap perusahaan smelter. Maka akan ditemukan kepada oknum oligarkis yang mana perusahaan tersebut terasosiasi. Dengan begitu, rakyat tidak perlu heran jika menemukan banyak kejanggalan atau pelanggaran yang merugikan negara seperti fasilitas insentif fiskal, TKA China yang bebas masuk, Harga Patokan Mineral yang rendah, Bea Masuk NOL persen, serta…. berbagai manipulasi dan kejahatan lain…. termasuk penyelundupan.

KPK pun harus aktif menelusuri lembaga-lembaga terkait menyangkut ekspor bijih ini, termasuk yang berperan mengawasi, seperti Bakamla, Bea Cukai, Pol Air, Kantor Syahbandar, Otoritas Pelabuhan (KSOP), Perhubungan dan bahkan KESDM. Jika volume ekspor hanya ber-orde puluhan atau ratusan ribu ton dan berlangsung 3-4 bulan, mungkin rakyat percaya penyelundupan sebagai kejadian insidentil atau kebocoran yang bisa ditolerir.

Namun jika VOLUME bijih nikel yang diseludupkan JUTAAN atau malah PULUHAN JUTA ton, dan berlangsung LAMA, yakni lebih dari 2 tahun, maka kejahatan perampokan SDA rakyat ini dapat dianggap by designed, terencana, sistemik, massif, terorganisir, melibatkan oknum-oknum sangat berkuasa, termasuk para oknum-oknum oligarkis lingkar kekuasaan yang terhubung ke China. Para oknum pejabat yang terkait penambangan, pengiriman dan pengawasan, bisa saja sengaja membiarkan berlangsungnya penyeludupan.

Terjadinya penyelundupan volume besar dalam waktu lama menunjukkan negara gagal berfungsi dan pemerintah tidak hadir menjalankan amanat konstitusi, perintah UU dan tugas pengawasan. Negara dan bangsa Indonesia juga telah dipermalukan. Maka, rakyat menuntut pertanggungjawaban para pejabat terkait seputar kejahatan sistemik tersebut, termasuk para pimpinan lembaga di KESDM, Kemkeu, Polri, Perhubungan, dll. Selain itu, tanggungjawab juga ada pada pimpinan tertinggi pemerintah. Maka kita menuntut agar Presiden Jokowi mempertanggungjawabkan terjadinya skandal penyelundupan yang merugikan negara dan mempermalukan bangsa Indonesia ini. DPR pun harus segera membentuk Pansus Penyelundupan bijih nikel.

1510

Related Post