OLIGARKHI ATAU OKHLOKRASI?
Oleh: Irawan Santoso Shiddiq | Jurnalis
Oligarkhi, ini kosakata trending era kini. Hampir semua negara kebingungan dengan kemunculan oligarkhi. Karena realitasnya ada, tapi defenisinya susah. Oligarkhi, sebentuk golongan elit penguasa ekonomi. Merekalah para kartel bisnis, yang mengendalikan sebuah negeri.
Kaum akademisi tak punya jalan keluar. Karena oligarkhi muncul dari system yang menyajikan kesempatan. Harold Laski, pakar tata negara Inggris berkata, “Hampir seluruh system terpengaruh dari kondisi jamannya.” Jadi, oligarkhi tercipta dan terkondisi karena system yang menyediakan.
Polybios, sejarawan Romawi, sejatinya punya defenisi tentang oligarkhi. Dia memiliki teori siklus kekuasaan. Mulai dari Monarkhi-Tirani-Aristokrasi-Oligarkhi-Demokrasi-Okhlokrasi-kemudian beralih kembali ke Monarkhi. Dari siklus Polybios, kosakata ‘oligarkhi’ tertera. Tapi defenisinya berbeda dengan realitas kini.
Oligarkhi, tentu fase model tatapemerintahan pasca aristokrasi. Sementara dunia kini jamak membanggakan system yang digeluti adalah demokrasi. Maka, untuk melihatnya perlu perbandingan sahih.
Romawi, seperti Dr. Ian Dallas –ulama besar asal Eropa--, adalah prototype system yang berlangsung di dunia. “Memahami sejarah dunia, cukup dengan memahami Romawi,” tegasnya dalam bukunya ‘The Entire City.’ Karena Romawi memiliki segala macam fase model pemerintahan. Mulai dari monarkhi sampai okhlokrasi, Romawi telah mengalaminya. Karenanya merujuk Romawi adalah gambaran paling pas untuk membedah ‘oligarkhi.’ Karena dalam Al Quran, ‘Romawi’ juga ditabalkan secara khusus. Ini satu-satunya sebuah peradaban yang disebut langsung dalam Kitabullah.
Dallas menguraikan, suatu fase kala Romawi dipimpin Kaisar Oktavianus. Itulah fase Romawi memasuki era okhlokrasi. Bukanlah lagi demokrasi. Pasca perang Triumvirat, Romawi mengalami fase penurunan. Demokrasi mati suri. Kemudian beralih menjadi okhlokrasi. ‘Karena Kaisar dikendalikan oleh para Legiun,’ katanya. Legiun Romawi, inilah deretan militer Romawi yang melegenda. Legiun kemudian mengambil alih kekuasaan, dengan menjadikan Kaisar Oktavianus –cucu Julius Caesar—sebagai seorang pemimpin. Sejak itu, Romawi berubah total. Kaisar hanya menjadi boneka. Ujungnya, inilah yang kemudian membuat kehancuran peradaban Romawi. Pasca itu, Romawi memasuki era monarkhi. Terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Siklus Polybios terbukti. Kekuasaan dipergilirkan.
Modern state, tentu fase yang seolah mengusung kosakata demokrasi. Tapi sejatinya bukanlah demokrasi. Karena ‘head of state,’ pasca Perang Dunia II, tidaklah memimpin. Melainkan dibawah kendali kaum okhlokrasi. Inilah rezim elit yang sangat merusak. Karena sifat okhlokrasi, adalah merusak tatanan peradaban. Persis yang terjadi di era Romawi tadi.
Lantas, siapa para okhlokrasi tadi? Ini kaum yang tak semata oligarkhi. Karena melebihi kekuasaan para oligarkh. Merekalah kaum perusak, yang mengendalikan tatanan pemerintahan seantero dunia. Karena kekuasaan, bukan sekedar mengendalikan suatu barang. Tapi monopoli atas uang. “Dulu Legiun, kini adalah para banker,” papar Dallas lagi. Elit banker –yang mayoritas Yahudi—inilah pengendali dan pengontrol negara-negara. Bretton Wood, 1946, menjadi parameter yang bisa dijadikan pijakan. Mereka kaum yang mengendalikan suatu negara dan bahkan negara-negara.
Matinya Nixon, Moammar Khadafi sampai dilengserkannya Soeharto, adalah bentuk kedigdayaan para elit banker tadi. Hanya dengan permainan kurs, mereka berhasil menjatuhkan seorang Presiden dalam sebuah negara. Tak perlu bala tentara. Melainkan dengan permainan byte computer, kekuasaan kemudian bisa dialihkan.
Karena perihal kurs uang, inilah segmen yang tak berada dalam kedaulatan negara. Tak ada sovereignty ala Jean Bodin. Itu hanya teori basi abad pertengahan. Karena suatu ‘state’, tak ada yang mandiri mengatur uangnya sendiri. Demokrasi ala Romawi, uang masih berada dalam kendali kekaisaran. Julius Caesar, sebagai Kaisar Romawi masih mencetak uang perunggu. Sementara pencetakan uang emas dan perak, menjadi otoritas Senat. Modern state, tak ada kendali pencetakan uang berada di tangan Senat atau Parlemen. Melainkan diluar otoritas state, yang berada dalam kekuasaan central bank. Sementara entitas ini, berada diluar dari struktur trias politica, seperti teori Montesquei. Karena central bank, tak bertanggungjawab pada eksekutif, legislative atau berada di bawah yudikatif. Tampaknya Trias Politica hanya impian semu ‘modern state.’
Demokrasi era modern, tentu berbeda dengan teori dan praktek demokrasi era Romawi. Karena masa Romawi-lah parameter untuk memahami demokrasi. Makanya fase kini tak bisa disebutkan sebagai pola demokrasi. Karena tak ada satupun ‘head of state’ yang mampu mengendalikan uangnya sendiri. Maka, inilah yang layak disebut sebagai era okhlokrasi.
Kendali uang berada di elit bankir. Mereka telah merintisnya sejak Revolusi Inggris, 1660. Raja William menjadi boneka para baron, yang memberikan utang. Tapi meminta hak mengatur ekonomi Inggris lewat Bank of England. Mereka kemudian berjaya di Revolusi Perancis, 1789. Kaisar Napoleon berubah menjadi boneka para bankir. Bank de France, jadi ajang kendali atas republic modern Perancis. Tipikal inilah yang digunakan seantero dunia. Para banker ini tentu menyembah riba. Mereka melegalkan perbuatan riba, yang dulunya ditentang Gereja Roma. Karena Eropa masih dalam kendali Imperium Romanum Socrum. Pasca kudeta atas otoritas agama di Eropa, maka para filosof merancang positivism, agar riba menjadi legal. Sekulerisme jadi pondasi. Maka para banker pun merajalela. Dari yang punya nasabah para individu, berubah memiliki nasabah para Presiden atau King.
Mereka bergerak memonopoli uang. Karena entitas inilah sumber utama kekuasaan. “Tak ada penguasa tanpa mengendalikan harta,” kata Stendhal, sejarawan Inggris. Artinya, kekuasaan (power) dan kekayaan (wealth) adalah menyatu padu. Makanya, otoritas mencetak uang, hanya berada di tangan para bankir. Bukan ditangan Senat atau Raja. Demokrasi era modern, mengikuti itu. Maka era kini tak layak disebut sebagai demokrasi.
Kaum pengendali uang, itulah pemangku kekuasaan sejati. Mereka tak duduk dalam istana negara, mereka tak hadir dalam tatanan Trias Politica. Apalagi masuk dalam susunan cabinet. Tapi keberadaannya menjadi sasaran para politisi. Karena politis modern, hanya sibuk bekerja dengan kaum banker. Partai politik, berubah jadi industry donasi. Mengharap donasi dari kaum okhlokrasi tadi. Tanpa donasi, partai politik tak ada memiliki mesin untuk bekerja. Karena mesin dikendalikan oleh uang. Mesin pencetak uang, dikontrol oleh para okhlokrasi. Sehingga seorang King sekalipun, tak memilki kuasa untuk mengendalikan negerinya. Walhasil, model riba wajib untuk ditaati. Positivisme hanya diperalat agar system itu menjadi legal.
Inilah wajah modernisme sejati. Realitas yang tak terbantah, tapi tak terteori. Makanya tak bisa dibaca para akademisi.
Namun kedidayaan kaum okhlokrasi ini tak akan lestari. Karena tak ada yang kekal dalam alam dunia. Semuanya fana. Sebagaimana fase runtuhnya okhhlokrasi era Romawi. Demikian pula keruntuhan penguasa moneter era kini. Mereka akan runtuh dengan sendirinya. Karena model tipu daya setan ini, seperti kata Goethe, akan berakhir sendiri.
Goethe, pujangga Jerman, telah meyakini para bankir yang mencipta system fiat money ini, hasil bisikan dari setan. Karenanya ini tak akan letari.
Okhlokrasi masa Romawi berakhir dengan hadirnya kaum agamawan. Mereka yang kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, meruntuhkan imperium Romawi. Monarkhi-monarkhi menjadi fase pasca okhlokrasi. Seperti Romus dan Romulus dalam mendirikan Romawi. Mereka menolak menjadi penyembah api, yang memuja setan, pengikut majusi. Romus mendirikan Romawi, karena bertentangan dengan aqidah.
Okhlokrasi, tentu beranjak dari aqidah neo qadariyya, dimana mereka terkesima pada model inderawi yang jadi pondasi. Inilah penyimpangan aqidah, yang berujung manusia berada pada nihilism –sebagaimana istilah Nietszche--. Nihilisme, model dimana manusia kehilangan nilai-nilai. Okhlokrasi hanya dikalahkan dengan model manusia yang kembali pada fitrah. Itulah Rijallah. Manusia yang berwujud menjadi hamba Allah semata.
Karena okhlokrasi, sebagaimana lahirnya, dimulai dari perusakan atas aqidah. Dari pengikut jabariyya ala Roma, sampai kemudian dikudeta dengan paham ateisme-qadariyya. Model kini tentulah berujung ke sana.
Dallas berkata, monarkhi akan segera kembali. Maka kita harus menyambut era sebagaimana ungkapan Hamlet dalam dramanya: “The Interim is Mine!” Masa dari okhlokrasi ke monarkhi, inilah era interim. Interim itulah yang harus direnggut. Dengan menghancurkan kaum okhlokrasi. Jalannya adalah menegakkan yang haq, maka kebathilan akan musnah.
Para okhlokrasi –banker—tentu bekerja atas pondasi sekulerisme. Inilah ajaran aqidah neo qadariyya, yang menghalalkan ‘being’ adalah perbuatan manusia. Bukan Kehendak Tuhan. Mereka berada dalam doktrin manusia sebagai subjek yang mengamati. Bukan objek yang diamati. Dalih paham itu, yang membuat seolah manusia berhak mengatur perdagangan, mengatur dan menciptakan hokum sendiri. Dengan eliminasi atas Kitab Suci. Inilah jalan lahirnya okhlokrasi.
Maka jalan kembali, bukan dengan menjadi sekuler untuk mengalahkan para oligarkhi atau okhlokrasi. Karena mereka berada dalam sekulerisme, yang beranjak dari qadariyya. Antitesanya adalah dengan kembali pada aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Inilah Tauhid murni, yang menyembah Allah Subhanahuwataala semata. Bukan mengingkari perintahnya, dan tak berada dalam ketakutan pada Tuhan. Karena sekuleris-ateis, berada dalam fase emoh pada Kitab Suci. Artinya kaum yang tak takut pada Tuhan.
Model begini hanya bisa dikalahkan oleh kaum yang menghamba pada Tuhan. Itulah wujud monarkhi terbaik. Sebagaimana Rasulullah Shallahuallaihiwassalam menciptakan dan menghadirkan Madinah al Munawarah. Fase okhlokrasi ini akan berakhir dan akan kembali ke monarkhi. Wali Songo menghadirkan Kesultanan Demak, sebagai fase pasca okhlokrasi yang berlangsung di Majapahit. Era itu akan kembali kini. Itulah jalan meruntuhkan dominasi okhlokrasian. Mereka bukanlah kuat. Tapi lemah seperti sarang laba-laba. Ini hanya bisa dibaca dengan kacamata kaum beriman.