Oligarki Merampas Kedaulatan Rakyat

Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI

Oligarki Ekonomi inilah yang membiayai semua proses itu, dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun koalisi partai, kampanye, dan biaya dalam proses pemenangan Pilpres lainnya.

Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI

SEMUANYA bersifat responsif. Tiada gagasan cemerlang, tiada solusi matang. Begitulah negara ini dikelola. Permasalahan demi permalahan yang muncul ditangani secara tambal sulam. Yang penting terlihat bekerja, agar semboyan “kerja, kerja, kerja” bisa tetap mengudara. Dan, negara semakin rapuh.

Rakyat terbelah, kesenjangan menganga lebar. Ini menjadi lahan subur bagi mekarnya oligarki. Betul kata Jefrey A. Winters, ketidaksetaraan material yang ekstrem akan menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Kita menghadapi ketidaksetaraan ekstrem itu.

Satu persen orang kaya di Indonesia telah menguasai 50 persen aset nasional. Sementara itu, Lembaga Oxfam menyatakan, total kekayaan empat milyader terkaya di Indonesia setara dengan total kekayaan 100 juta penduduk miskin Indonesia, atau 40 persen penduduk miskin.

Di sisi lain, pemerintah sering membanggakan pembangunan infrastruktur. Padahal duit untuk pembangunan sebagian berasal dari hutang, yang bakal menyandera generasi bangsa hingga lamanya berpuluh-puluh tahun ke depan.

Pemerintah sering membanggakan petumbuhan ekonomi. Padahal riset bank dunia mengatakan pertumbuhan tersebut memberi manfaat hanya kepada 20 persen orang paling kaya di Indonesia saja.

Semakin jomplang distribusi kekayaan material, semakin besar pengaruh orang tajir dalam motif dan tujuan politiknya. Dan karenanya, semakin ulet pula mereka mencari koneksi di kekuasaan. Kelompok yang terkoneksi itu sering disebut oligarki, yakni kelompok orang kaya yang memiliki pengaruh terhadap kekuasaan.

Di media sosial, netizen seringkali menyebut secara sinis Joko Widodo sebagai boneka. Sepertinya sebutan ini dikaitkan dengan kecurigaan adanya peran oligarki dalam pemerintahannya. Bahkan, perjalanan politik Jokowi dari Solo hingga ke Istana Negara, dicurigai lekat dengan peran oligarki.

Oleh Winters, misalnya, kesuksesan Jokowi bertarung di DKI dulu itu disebut-sebut dimungkinkan oleh gerakan oligarki di mana kekuasaan kaum berduit menempatkan Jokowi di hadapan para pemilih. Meski Jokowi memang telah mendapat dukungan dari akar rumput, tapi Winters menilai pertarungannya dalam Pilkada DKI saat itu bukan karena inisiatif atau gerakan politik akar rumput.

Jokowi adalah produk oligarki, begitu kata Direktur Buffet Institute of Global Affairs dalam riset berjudul “Oligarchy and Democracy in Indonesia” (2013). Boleh jadi, hubungan mesra dengan oligarki tersebut tidak terputus hingga pemilihan presiden yang telah dua periode menempatkan Jokowi di atas singgasana RI 1.

Itu pula sebabnya, tidak sedikit yang menduga isu penundaan pemilu, atau perpanjangan masa jabatan presiden, atau presiden tiga periode lagi-lagi dicurigai sebagai keinginan oligarki. Oligarki menemukan habitat paling nyaman berkembang biak di era Jokowi. Selama 10 tahun tak cukup, maka disoronglah isu itu.

Politisi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu salah seorang yang berpendapat demikian. Lebih pedas lagi, Ekonom Senior Rizal Ramli mengatakan bahwa masa keemasan oligarki terjadi di era Jokowi. Oligarki telah menjadi bagian dari kekuasaan. Mereka bisa mengatur undang-undang dan kebijakan.

Langkah Nyata DPD RI

Pernyataan yang sama juga diungkap Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI LaNyalla Mattalitti. Menurutya, oligarki telah menyandera kekuasaan sehingga menjadi musuh bersama kita semua. Oligarki dalam pandangan LaNyalla semakin rakus menumpuk kekayaan dan menyimpan kekayaannya di luar negeri.

Oligarki ekonomi telah menyatu dengan oligarki politik. Memberikan ruang kepada mereka tumbuh dan bersimbiosis dengan kekuasaan, sama saja dengan menghancurkan bangsa ini. Semakin oligarki berkembang, semakin pendek umur Indonesia.

Sayangnya, oligarki bahkan telah mengakar ke sendi utama pelaksanaan kedaulatan rakyat, yakni Pemilihan Umum. Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memaksa Partai Politik untuk berkoalisi dalam mengusung pasangan Capres dan Cawapres. Kita sudah mengenalnya dengan presidential threshold, ambang batas bagi partai politik yang mengusung calon presiden dan calon wakil presiden.

Secara kelembagaan, DPD RI telah mengajukan gugatan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 222 UU Pemilu. Bagi DPD RI, Pasal tentang ambang batas pencalonan Presiden ini adalah pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia.

Melalui pasal ini Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan pimpinan nasional bangsa ini.

Situasi tersebut menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendesain pemimpin nasional yang akan mereka ajukan ke rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang disebut sebagai Pilpres.

Oligarki Ekonomi inilah yang membiayai semua proses itu, dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun koalisi partai, kampanye, dan biaya dalam proses pemenangan Pilpres lainnya.

Tidak heran, pasal 222 UU Pemilu telah berkali-kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Namun, MK bergeming. Terakhir, penolakan MK karena pemohon tidak memiliki legal standing. Menurut MK, yang berhak mengajukan gugatan tersebut adalah partai politik, sebagai pihak yang disebut-sebut dalam pasal 222.

Kini, DPD RI telah mengajukan gugatan judicial review atas pasal yang sama. Seharusnya tidak ada alasan lagi bagi MK untuk menolak. Ketua DPD RI secara terbuka menyatakan, bila MK nanti menolak gugatan DPD RI, maka MK telah dengan sengaja memberi ruang kepada Oligarki Ekonomi untuk menyandera dan mengendalikan negara ini. Dan, sepantasnyalah kalau MK dibubarkan saja.

Kita wajib mengawal perjalanan tuntutan DPD dan PBB di MK. Konsolidasi elemen Civil Society mutlak diperlukan guna mengakhiri rezim Oligarki Ekonomi sekaligus memastikan kedaulatan tetap di tangan rakyat. (*) 

520

Related Post