Oligarki Nasionalis: Ancaman Sesungguhnya Bangsa Ini
Oleh: Miftah H. Yusufpati | Jurnalis FNN
SUNGGUH mengerikan buah dari oligarki yang dipraktikkan Presiden Joko Widodo selama berkuasa. Kini yang dipertontonkan ke publik baru sebagian kecil saja: Pemerintah membekali sertifikat kepemilikan laut dan hutan kepada para taipan anggota barisan oligarki.
Oligarki berarti pemerintahan oleh sejumlah kecil orang kaya. Dalam oligarki, elit kaya berusaha untuk melestarikan dan memperluas kekayaan dan kekuasaan mereka.
Dalam buku definitifnya berjudul Oligarchy, Jeffrey Winters menyebutnya pertahanan kekayaan. Elit terlibat dalam ‘pertahanan properti’, melindungi apa yang sudah mereka miliki, dan ‘pertahanan pendapatan’, melestarikan dan memperluas kemampuan mereka untuk menimbun lebih banyak.
Hal yang terpenting, oligarki sebagai strategi pemerintahan, memperhitungkan politik dan ekonomi. Oligarki menggunakan kekuatan ekonomi untuk mendapatkan dan memegang kekuasaan politik dan, pada gilirannya, menggunakan politik untuk memperluas kekuatan ekonomi mereka.
Oligarki berkuasa melalui dua strategi: pertama, menggunakan taktik adu domba untuk memastikan bahwa mayoritas tidak bersatu, dan kedua, dengan mengatur sistem politik agar semakin sulit bagi mayoritas yang muncul untuk menggulingkan mereka.
Strategi adu domba adalah strategi lama, dan strategi ini bekerja melalui kombinasi antara paksaan dan kooptasi. Nasionalisme—baik yang bersifat statis, etnis, agama, atau ras—memenuhi kedua fungsi tersebut.
Strategi ini menyelaraskan sebagian orang biasa dengan oligarki yang berkuasa, memobilisasi mereka untuk mendukung rezim dan berkorban untuknya.
Pada saat yang sama, memecah belah masyarakat, memastikan bahwa mereka yang terinspirasi oleh nasionalisme tidak akan bergabung dengan orang lain untuk menggulingkan kaum oligarki.
Dalam beberapa hal, memanipulasi sistem merupakan taktik yang lebih jelas. Itu berarti mengubah aturan hukum permainan atau membentuk pasar politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Tema umumnya adalah bahwa taktik-taktik itu melindungi kaum minoritas yang berkuasa dari demokrasi; taktik-taktik itu mencegah penduduk untuk menendang para penguasa keluar melalui cara-cara politik biasa.
Taktik seperti ini bukanlah hal baru. Matthew Simonton dalam bukunya Classical Greek Oligarchy, menyebut taktik ini setidaknya sudah dipraktikkan sejak zaman Pericles dan Plato. Konsekuensinya, baik dulu maupun sekarang, adalah bahwa oligarki nasionalis dapat terus menjalankan kebijakan ekonomi yang menguntungkan orang kaya dan memiliki koneksi yang baik.
Kita hendaknya menyadari bahwa kita tidak sedang baik-baik saja. Membingkai ancaman saat ini tidak cukup dengan memperjelas tantangan tetapi juga memperjelas bagaimana demokrasi berbeda—dan apa yang dibutuhkan demokrasi.
Demokrasi berarti lebih dari sekadar pemilihan umum, peradilan yang independen, pers yang bebas, dan berbagai norma konstitusional. Agar demokrasi dapat bertahan, harus ada juga kesetaraan ekonomi yang relatif.
Jika masyarakat sangat tidak setara secara ekonomi, orang kaya akan mendominasi politik dan mengubah demokrasi menjadi oligarki. Dan harus ada beberapa derajat solidaritas sosial karena, seperti yang dikatakan Lincoln, “Rumah yang terbagi tidak dapat bertahan.”
Ezra Klein menyebut, merupakan konsekuensi yang jelas: Orang kaya menggunakan uang mereka untuk memengaruhi politik dan mengatur kebijakan untuk meningkatkan kekayaan mereka, yang pada gilirannya meningkatkan kapasitas mereka untuk memengaruhi politik.
Celakanya, pertunjungan seperti itu sudah dipentaskan selama pemerintahan Jokowi. Semoga pemerintahan kini tahu apa yang mesti dilakukan, agar negeri ini sembuh dari kegilaan. (*)