Pancasila dan Politik Identitas
Oleh Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., - Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kallijaga Yogyakarta, Dosen S3 Prodi Psikologi Pendidikan Islam UMY, dan Dosen Studi Kitab Tafsir UAD, Ketua Umum MUI dan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Yogyakarta, Anggota Tim Penyusun Tafsir Al-Quran Tematik, dan Tim Revisi Terjemah Al-Quran Kemenag RI, Penulis e-book 365 Kearifan dari Socratres Hingga Soekarno, dan 60-an buku lainnya.
PANCASILA adalah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bangsa Indonesia menghayati dan meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia dari penjajahan adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, melalui perjuangan yang penuh pengorbanan tenaga, pikiran, jiwa, dan raga.
Dalam perjalanannya Pancasila mengalami pengayaan hingga menjadi rumusan final pada Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Pancasila cerminan suara hati nurani manusia Indonesia yang menggelorakan semangat dan harapan akan hari depan yang lebih baik.
Pancasila menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dengan kesadaran untuk mengembangkan kodratnya sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Kemajuan seseorang ditentukan oleh kemauan dan kemampuannya dalam mengendalikan diri dan kepentingannya dalam melaksanakan kewajiban sebagai warga masyarakat dan negara.
Pancasila merupakan satu kesatuan dari lima sila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan sila pertama manusia Indonesia menyatakan percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk Indonesia untuk memeluk agama dan beridabah menurut ajaran agamanya. Manusia Indonesia saling menghormati dan bekerja sama membina kerukunan hidup sesama umat beragama. Kebebasan beragama diakui sebagai salah satu hak paling asasi di antara hak-hak asasi manusia.
Dengan sila kedua, manusia Indonesia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sama hak, derajat, dan kewajibannya, tanpa pembeda-bedaan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, serta kedudukan sosial, dan sebagainya. Sila kedua menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong kegiatan kemanusiaan, membela kebenaran, dan keadilan, serta mengembangkan sikap saling menghormati, dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dengan sila ketiga, manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan bangsa, dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Persatuan dikembangkan atas dasar kebhinekaan, dan kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
Dengan sila keempat, manusia Indonesia sebagai warga masyarakat dan negara mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Keputusan menyangkut kepentingan bersama dilakukan dengan musyawarah dan mufakat menggunakan akal sehat, sesuai dengan hati nurani yang luhur, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, serta mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
Permusyawaratan dalam demokrasi didasarkan atas asas rasionalitas dan keadilan, bukan subjektivitas ideologis dan kepentingan, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, berorientasi jauh ke depan, melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak yang dapat menangkal dikte minoritas elit penguasa dan klaim mayoritas.
Praktik pemilihan presiden secara langsung oleh semua warga negara Republik Indonesia dengan prinsip one man one vote (satu orang satu suara) tidak sejalan dengan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Dengan sila kelima manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang lain.
Pancasila merupakan satu kesatuan utuh yang terpadu dan tak boleh dipisahkan yang satu dari yang lain. Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian seterusnya.
Sebagai dasar negara Pancasila niscaya menjadi landasan Undang-undang Dasar dan Undang-undang lain serta peraturan-peraturan turunannya. Segala Undang-undang dan peraturan yang tidak sejalan dengan Pancasila, sejak hari proklamasi, Jumat 17 Agustus 1945 hingga hari ini, harus ditinjau ulang, diperbaiki, dan/atau dibatalkan.
Politik adalah usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik yang akan hidup bahagia, karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi.
Kegiatan politik menyangkut cara bagaimana kelompok mencapai keputusan kolektif dan mengikat melalui pendamaian perbedaan-perbedaan di antara anggotanya. Kegiatan politik suatu bangsa bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya yang tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama.
Politik dalam bentuk paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang berkeadilan. Persepsi adil itu dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi dan zaman yang bersangkutan. Politik dalam bentuk paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan sendiri. Politik adalah perebutan kuasa, tahta, dan harta.
Pengelolaan kebhinekaan merupakan aspek penting dalam kehidupan berbangsa untuk mewujudkan kohesivitas sosial yang akan membuat penduduk lintas agama dan lintas etnis nyaman. Setiap warga negara harus mempercayai sesama warga dan pemerintah untuk merancang dan menerapkan kebijakan yang bermanfaat secara inklusif.
Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2023 bertema Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2-5 Mei 2023 membuahkan Surabaya Charter. Salah satu poin rekomendasinya untuk merespons situasi dan kondisi yang perkembangan adalah sebagai berikut: (5) Rejecting the utilization of religion for political purposes. The phenomenon of identity politics, especially on the ground on religion, must be strongly turned down.
Merespons Surabaya Charter tersebut, Prof. Daniel M. Rosyid menulis, “Piagam Surabaya: Corong Snouck Hurgronje?” Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), di UINSA Surabaya melontarkan Piagam Surabaya yang salah satu isinya adalah menolak keras politik identitas, terutama pemanfaatan agama Islam dalam politik praktis.
AICIS 2023 adalah forum studi, namun dengan menamai rumusan akhirnya sebagai Piagam Surabaya, sulit untuk menghindari kesan agenda politik dari konferensi ini. Bahkan dengan menamakannya sebagai Islamic Studies, tampak sekali agenda politik identitas yang justru hendak ditentangnya.
Tesis pokok yang diperjuangkan AICIS 2023 adalah bahwa politik harus bebas dari agama. Tempat-tempat ibadah tidak boleh berbicara politik. Jika politik adalah perjuangan untuk menjadikan nilai-nilai utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hanya pikiran yang terlatih yang menyadari bahwa agenda ini bertentangan secara langsung dengan Pembukaan UUD45 sebagaimana disepakati para pendiri bangsa ini. https://www.zonasatunews.com/tokoh-opini/piagam-surabaya-corong-snouck-hurgronje/
Politik identitas merupakan penjabaran dari identitas politik yang dianut oleh warga negara berkaitan dengan arah politik yang kerap dikerucutkan menjadi dua kelompok, yaitu nasionalis dan agamis. Antara nasionalisme dan agama sesungguhnya tidak bisa dan tidak pada tempatnya untuk dibenturkan. Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan.
Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas tertentu digunakan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.
Secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi pihak-pihak tertentu. Politik identitas dianggap sebagai senjata yang kuat oleh elit politik untuk menurunkan popularitas dan keterpilihan rival politik mereka atau upaya untuk mendapatkan dukungan politik dari publik. Isu etnis dan agama adalah dua hal yang selalu masuk dalam agenda politik identitas para elit di Indonesia.
Belakangan ramai perbincangan mengenai politik identitas. Seorang muslim dianggap tidak baik jika memilih pemimpin berdasar agamanya, dengan alasan hal itu merupakan bentuk “politik identitas” yang buruk akibatnya. Jika yang dimaksud dengan “politik identitas” adalah memilih pemimpin muslim yang memperjuangkan kemaslahatan umat dan bangsa, maka hukumnya wajib. Namun, jika yang dimaksud adalah mengeksploitasi dan memperjualbelikan Islam dan simbol-simbol lainnya untuk kepentingan politik pribadi dan golongan tertentu, maka hukumnya haram.
Pemerintah adalah pihak yang memegang kekuasaan atau penanggung jawab yang dapat mengambil keputusan dan menangani berbagai macam persoalan. Di dalam Islam tidak ada pemisahan secara tajam antara soal-soal yang sakral dan sekular. Adanya suatu pemerintah diharapkan berjalan di atas kebenaran, dan dapat bertindak sebagai pemimpin yang saleh, benar, dan bersih pula. Kita harus menghormati dan mematuhi pemegang kekuasaan yang demikian.
Dalam konteks pemilihan presiden 2024, pemerintah adalah penyelenggara sekaligus wasit dalam pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia. Semua warga negara Indonesia tanpa kecuali hendaknya melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing, dan tidak menyalahgunakan hak-haknya. Permainan apa pun akan rusak bila wasit ikut bermain. (*)