Partai Gelora: Indonesia Bisa Jadi Model Kombinasi Agama, Demokrasi dan Kesejahteraan
Jakarta, FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta merasa prihatin dengan kondisi umat Islam sekarang, mayoritas namun kecil dari arti mindset-nya.
Akibatnya, kondisi tersebut dimanfaatkan betul oleh partai politik (parpol) sebagai pendorong bagi mobil yang mogok dalam konteks berpolitik secara nasional. Namun, setelah mesin mobilnya bergerak, lalu begitu saja ditinggalkan.
"Sebagai kelompok mayoritas dari warga negara Indonesia, peran umat Islam belum dioptimalkan secara penuh, seperti hanya dibutuhkan sebagai pendorong mobil mogok, setelah jalan, lalu ditinggalkan," kata Anis Matta dalam diskusi Gelora Talks bertajuk: Politik Dorong Mobil Mogok: Menentukan Visi Baru Politik Keumatan, yang digelar secara daring, Rabu (6/7/2022) sore.
Menurut Anis Matta, sudah saatnya umat Islam mengubah aksi kerumunan selama ini menjadi sebuah kekuatan dan mampu menciptakan perubahan besar dalam peta politik nasional.
Hal itu, harus dilakukan umat Islam sekarang, kalau tidak mau lagi menjadi pendorong mobil mogok di Pemilu 2024 mendatang.
"Jadi jangan hanya ibarat badai yang berada didalam secangkir kopi. Orientasinya harus perubahan besar, dan harus konsolidasi dengan arah serta perjuangan bersama," ujarnya.
Karena itu, kata Anis Matta, umat Islam perlu mengajukan visi baru masa depan Indonesia. Dalam pandanganya, ada Lima Visi Perjuangan Keumatan Indonesia sekarang ini.
"Jadi sebenarnya, umat Islam sudah menyadari agama bukan sekadar identitas, tetapi lebih serius dari itu. Umat Islam besar, namun kesejahteraan minim, dan dalam berdemokrasi juga tidak mengalami perubahan," katanya.
Padahal potensi umat Islam begitu besar dalam mewarnai hajatan politik, termasuk dalam Pemilu 2024 mendatang.
"Umat muslim harus ambil alih atau berperan lebih besar dalam kepemimpinan. Jangan yang terjadi malah seperti minoritas, atau tukang tepuk tangan saja," tegas Anis Matta.
Anis Matta ini berharap Indonesia bisa menjadi model pemberlakuan kombinasi antara agama, demokrasi dan kesejahteraan di tengah upaya perubahan sistem tatanan global baru sekarang. Kombinasi tersebut, akan menjadikan Indonesia sebagai kekuatan lima besar dunia.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Sunato atau yang akrab di panggil Cak Nanto ini menilai umat Islam sekarang tidak memiliki gagasan besar dan visi kebangsaan, Sehingga setiap kelompok tidak mencapai titik temu, termasuk dalam hal perjuangan visi politik.
"Inilah problem umat Islam sekarang yang harus diurai. Jadi kalau menurut saya, tidak hanya sebagai pendorong mobil mogok saja, tapi ini mobilnya juga rusak berantakan, karena setiap kelompok tidak memiliki titik temu," kata Sunanto.
Sunanto menyadari bahwa untuk menjelaskan mengenai problematika umat Islam sekarang seperti mencari "ayam dan telur ", duluan mana yang ada terlebih dahulu.
"Tapi yang paling penting sekarang adalah target utama membangun kerukunan, persatuan dan kesatuan. Kita tidak bisa lagi sekedar teriak-teriak, tapi tidak bisa mempengaruhi kebijakan," katanya.
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah ini mengatakan, umat Islam terus membangun kesadaran berpolitik dengan gagasan-gagasan yang berbeda dengan satu nilai kebangsaan, sehingga dapat mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintah.
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Raihan Ariatama menilai identitas politik dalam konteks ke-Indonesia-an juga harus dilihat dari keberagaman dan budaya lokal.
Karena keberagaman itu, akhirnya melahirkan berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis dan lain-lain yang menghormati tradisi keagamaan di masing-masing daerah.
"Tentunya ini merupakan satu fakta yang harus kita ketahui, bahwasanya kekuatan politik di Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai wilayah dan berbagai macam konsep lain, selain dari Islam. Ada juga nasionalis demokratis dan segala macamnya. Inilah, inilah titik persoalan yang harus kita pahami hari ini," ujar Raihan Ariatama.
Raihan sependepat dengan Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta, bahwa Umat Islam harus memiliki visi besar, tidak hanya untuk kepentingan Pemilu 2014 saja, tapi juga Indonesia Emas 2045.
"Kita tidak bisa lagi tonjolkan politik identitas, karena hanya menyebabkan polarisasi. Hari ini, Umat Islam harus memiliki visi besar hingga tahun 2045," katanya.
Dai dan Muballigh Nasional Haikal Hassan Baras meminta umaI Islam harus cerdas sekarang. Tidak lagi menjadi korban politik parpol tertentu, yang dimanfaatkan untuk mendorong mobil mogok.
"Mobil yang didorong tidak hanya mogok, tapi sudah mobil rongsokan. Tidak pantas sebenarnya mereka didorong umat Islam. Umat Islam ini korban, dan itu jangan terjadi lagi di Pemilu 2024," katanya.
Sebagai Dai dan Muballigh Nasional, Haikal Hasan menyadari bahwa dirinya dicap sebagai provokator tatkala menyampaikan berbagai komentar terkait berbagai permasalahan publik.
Hal itu dia lakukan sebagai bentuk kecintaannya terhadap Pancasila dan NKRI. Sebab, Indonesia saat ini berada dalam cengkeraman para kapitalis nya dan oligarki kekuasaan.
"Saya ingin menyadarkann umat Islam, bahwa Pemilu 2024 diperlukan sebuah persatuan, dan persatuan itu akan mendatangkan kekuatan. Jadi gaya provokatif saya semata-mata untuk membangkitkan kesadaran karena yang datar-datar saja kadang-kadang tidak didengar oleh telinga," tandasnya. (sws)