Partitur Politik
Oleh Ridwan Saidi - Budayawan
Grup jazz hampir tak ada bermain dengan partitur. Dari interlude saja sudah improvisasi.
Simphoni memang partituran, tapi itu dulu. Sekarang solisten orchestra sudah mulai bermain tanpa partitur, wilayah improvisasi sekali-sekali dimasuki juga.
Memahami fenomena politik dengan disiplin ratio, itu konsep partitur dalam politik.
Pernyataan Ketua MPR Bambang Susatyo 18 April 2022 bahwa negara dalam keadaan krisis di atas krisis, juga pernyataan-pernyataan Ketua DPD LaNyala dan Menko Mahfud yang kecam pemerintah dengan intensitas tinggi, ketiganya masih dalam disiplin partitur.
Bagaimana memahami Megawati yang sebelum lebaran tak ada kabar, sesudah lebaran hadiri pelantikan Presiden Korea Selatan lalu bincang 4 mata dengan Presiden Korsel. Kembali ke Tanah Air lagi2 tak berkabar. Tak ada pula kabar Jokowi bertemu Megawati silaturahmi Idul Fitri.
Kalau ini dipahami dengan konsep partitur politik bakal mentok. Karena fenomena ini beyond the poitics. Tak pula bisa pakai system lotre buntut, tebak-tebakan: Mega kecewa kali. Memang lotre buntut musim di sementara pemerhati politik.
Luhut juga jarang tampak, bahkan pengumuman lepas pembungkus mulut penangkal kopat kopit bukan disampaikan Luhut.
Kabinet pun tak terdengar beritanya kalau bersidang. Kebijakan disampaikan mondeling (lisan). Sekarang kita tak boleh jual ini barang. Minggu depannya keluar lagi ma'lumat bi lisani (mondeling): Em sori (l'm sorry), barang yang minggu lalu tak boleh dijual, sekarang boleh lagi.
Seluruh fenomena politik internal sekarang harus dipahami dengan konsep non musik. Karena yang dimainkan bukan musik.
Tetapi fenomena yang muncul dari pentas beyond the existing ruler itu music berkualitas, termasuk fenomena Mega, kaya dengan improvisasi hingga sulit diketahui lagu apa. Song theme terbenam dalam presentasi non partitur.
Fly me to the moon
And let me play among the stars. (RSaidi)