Pegawai Haminte
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan
SUATU hari saya bertanya pada bapak M. Syafi'i ketika sama-sama anggota DPR dari PPP. Benar Pak Tuan Ahmad Hassan Bandung pernah Mentri Agama jaman RIS? Benar, jawab Pak Syafi'i, 'pan saya Menteri Sosialnya.
Tuan Hassan berkisah pegawai haminte di kantor dia cuma seorang. Tatkala ia lagi ada kerja di ruangnya ia mendengar percakapan pegawainya dengan tamu yang tampaknya Pastor.
Bapak Pastor minta surat jalan karena mau keluar kota. Keharusan di jaman itu. Pegawai jawab, besok saja Pak. Pastor terus berlalu dengan bersepeda.
Tuan Hassan kaget dan tanya ke pegawai, Kok saudara jawab besok saja, saya 'kan ada.
Pegawai jawab, pak di kantor haminte mana saja kalau ada yang minta tolong memang jawabnya besok saja .
Tuan Hassan Bandung lari ke jalan manggil-manggil Pastor, Tuan Pastor sekarang, bukan besok saja.
Pegawai haminte juga ada yang bertugas sebagai sopir majikan yang jadi ambtenaar, pegawai tinggi, di kantor haminte. Ambtenaar orang Belanda, driver Betawi.
Tuan Ambtenaar siap naar kantoor, dia lihat mobilnya berdebu. Diding, driver, lagi jongkok di pavilion minum kopi.
Tuan teriak, Diding ke sini kamu! Diding berhadir. Tuan colek mobil yang berdebu dengan jarinya dan kasih hunjuk ke Diding, Apa ini, Diding, coba kamu lihat. Diding anteng menjawab, Abu Tuan, masa' Tuan kaga tau. Tuan marah, Aku tau ini abu, aku bukan tanya namanya, tapi kamu orang mesti paham, aku ada suruh kamu orang kasi bersih ini auto, mengérti?
Tentu adegan begini sejak jaman PNS sampai ASN sudah tak ada lagi. Bagaimana pun administrative behaviour membaik. Meski belum memuaskan, tapi dalam keadaan ekonomi memburuk, keadaan ASN umumnya tak dapat dibilang OK. Kegiatan berkurang bukan soal pandemi saja, lagi parah karena anggaran menipis.
ASN tak boleh unjuk rasa, mereka bukan pekerja. Paling mereka bertukar rasa dengan sesama.
Keadaan econ yang memburuk ini harus cepat berlalu karena memangsa rupa2 golongan apakah itu yang berpenghasilan tetap seperti ASN dan kaum pekerja, atau sektor non formal yang juga sulit mencari nafkah.
(Foto atas, tampilan pegawai gemeente (haminte)/pegawai pemerintah, sampai tahun 1950 masih seperti ini) (*)