Pelajaran dari Bangladesh

Oleh Andi Rahmat | Mantan Ketua Umum KAMMI, Anggota DPR RI 2004-2014

Sheikh Hasina, wanita penguasa Bangladesh berusia 76 tahun itu tidak menduga ketika dia bangun pagi di hari 5 Agustus 2024 lalu. Dia mesti terburu-buru dan panik bersama adik perempuannya terbang dengan helikopter meninggalkan Bangladesh. Terbang untuk menghindari serbuan rakyatnya sendiri yang marah kepadanya.

Sheikh Hasina baru beberapa bulan sebelumnya memenangkan Pemilu Bangkadesh. Kemenangan yang sangat fantastitas. Menang mutlak 80%, namun Pemilu yang diboikot oleh partai-partai oposisi utama di Bangladesh. 

Sebagai seorang Perdana Menteri, Sheikh Hasina terbilang sukses membangkitkan perekonomian Bangladesh. Jutaan orang Bangladesh terbebas dari jeratan kemiskinan. Syeikh Hasina sukses besar.  

Setelah pandemi, pertumbuhan ekonomi Bangladesh adalah salah satu yang terbaik di dunia. Ekonomi tumbuh rata-rata di atas 7%. Pertumbuhan rata-rata yang fantastis ini dicapai melalui upaya kerasnya dalam menata ulang struktur perekonomian Bangladesh dalam kurun 15 tahun masa kedua kekuasaannya. Dari tahun 2009-2024.

Bangladesh adalah negeri yang sejak memerdekakan diri dari Pakistan di tahun 1971, dipenuhi dengan ketidakstabilan politik. Diguncang oleh berbagai kekerasan politik yang menewaskan ribuan orang dan dua orang pemimpinnya. Secara ekonomi, negeri ini adalah paria dan salah satu negara miskin di dunia.

Sheikh Hasina sendiri adalah seorang pemimpin politik tangguh, yang telah melewati berbagai prahara politik. Bapaknya, Sheikh Mujibur Rahman adalah Presiden Bangkadesh pertama. Sheikh Hasina sedang berada di Eropa ketika militer Bangladesh menyerbu rumahnya dan membunuh bapak dan sebagian anggota keluarganya. 

Dia hidup untuk beberapa waktu sebagai “exile” di negara lain. Kemudian kembali ke Bangladesh untuk memulai karier politiknya hingga dia berhasil menjadi Perdana Menteri di tahun 1996-2001, dan terpilih kembali di tahun 2009. 

Pengalaman ini membuat Sheikh Hasina meyakini bahwa sumber ketidakstabilan Bangladesh adalah kemiskinan yang menghimpit rakyatnya. Kemiskinan itu sendiri adalah hasil dari ketidakstabilan politik Bangladesh. 

Sejak berkuasa kembali untuk yang kedua kalinya di tahun 2009, Sheikh Hasina menjadikan pembangunan ekonomi sebagai fokus utama. Kepercayaannya terhadap keniscayaan stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi, menyebabkan dia memutuskan untuk mengeradikasi sumber-sumber ketidakstabilan politik itu.

Sejak 2009, Sheikh Hasina mulai melancarkan kampanye untuk menaklukan lawan-lawan politik. Kampanye itu dimulai dengan kelompok politik Islam yang digawangi oleh Jemaat Islami, Partai Politik Islam yang diilhami oleh Abul A’la Al Maududi. 

Kampanyenya ini mendapat dukungan diam-diam dari Barat yang saat itu melihat kelompok-kelompok Islam sebagai ancaman global. Dan yang lebih penting lagi, dia mendapat dukungan penuh dari negara tetangganya India. Apalagi India juga melihat keberadaan kelompok itu di Bangladesh sebagai ancaman asimetrik bagi India.

Kendati mengalami perlawanan keras, Sheikh Hasina mendapat dukungan kuat dan penuh dari aparat keamanan negara polisi. Dukungan yang sama kuat juga datang dari militer Bangladesh. Ditambah dukungan rakyat Bangladesh yang lelah dengan kemiskinan dan kekacauan politik. Kampanyenya ini membuahkan hasil luar biasa. 

Dengan modal keberhasilan ini, ditambah meluasnya dukungan rakyat Bangladesh yang melihat keberhasilannya memulihkan perekonomian, membuat Sheikh Hasina kemudian mulai memperluas kampanye politiknya.

Keberhasilan kebijakan ekonominya ditopang oleh arus besar investasi dari India yang menganggapnya sebagai partner yang dapat diandalkan. Bangladesh memperoleh berkah besar akibat realokasi industri tekstil dari berbagai negara. Apalagi ditopang okeh India yang mendorong usahawan India untuk menjadikan Bangladesh sebagai basis industri tekstil mereka yang baru.

Semua keberhasilan ini membuat Sheikh Hasina memperluas kampanye politiknya untuk memberangus kekuatan oposisi terhadapnya. Kaum intelektual, jurnalis dan banyak aktivis menjadi korban berikutnya. Banyak di antara mereka yang dipenjarakan atau melarikan diri ke luar Bangladesh.

Puncaknya adalah Sheikh Hasina melancarkan kebijakan politik untuk mengisolasi, menghancurkan dan memenjarakan rival utamanya, Begum Khaleda Zia. Begum adalah seorang pemimpin politik kuat, Mantan Perdana Menteri dan janda mantan presiden Bangladesh yang tewas terbunuh, Ziaur Rahman.

Sempurna sudah konsolidasi kekuasaan Sheikh Hasina. Ekonomi Bangladesh meroket 7%. Cengkramannya terhadap kekuasaan birokrasi sangat kuat. Militer dan polisi berada dalam kontrol penuhnya. Bahkan, kelompok ulama dan institusi keagamaan di Bangladesh pun tak kuasa melawan kharisma dan daya gentarnya. 

Sayangnya, sejarah mengajarkan, justru di puncak kekuasaan ini segalanya bermula. Tindakan Sheikh Hasina terhadap lawan-lawan politiknya menyebabkan meningkatnya apatisme politik publik. Di permukaan tampak ini dibaca sebagai kemenangan penguasa. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Apatisme ini perlahan-lahan bermetamorfosis menjadi silent disobedience (pembangkangan diam-diam).

Ekspresi ketidakpatuhan ini kadang-kadang muncul sebagai gerakan protes kecil-kecil yang mudah diberangus. Contoh mencolok dari silent disobedience tampak dalam pemilu tahun 2024 yang dimenangkan mutlak oleh Sheikh Hasina. Partisipasi pemilih sangat rendah dikarenakan calon-calon yang dimajukan adalah calon-calon dari koalisi penguasa. Sementara calon oposisi yang berniat maju terpaksa tidak terlibat karena gugurnya mereka di persyaratan kandidat.
 
Masyarakat Bangladesh secara diam-diam terpisah secara diametral. Terbelah antara mereka yang euphoria dengan kecanggihan konsolidasi kekuasaan dengan mereka yang diam-diam memelihara ketidakpatuhannya. 

Tragedi itupun akhirnya datang juga. Di puncak kegemilangan kekuasaanya, Sheikh Hasina, mengeluarkan suatu kebijakan yang berbau patriotis. Mengalokasikan 30% lowongan pekerjaan negara kepada keturunan veteran Bangladesh. Kebijakan yang tampaknya patriotis ini memicu reaksi keras dari kalangan muda Bangladesh yang digawangi kalangan kampus. 

Mereka berdemonstrasi dan juga menempuh jalur hukum. Kedua-duanya dihadapi dengan sangat keras dan brutal. Mereka yang berdemonstrasi, ditangkap, dipukuli dan bahkan tewas terbunuh. Sementara Mahkamah Agung Bangladeesh mengesahkan kebijakan Sheikh Hasina tersebut.
 
Rupa-rupanya, tindakan represif aparat keamanan yang brutal dan jumawa ini menjadi pemicu. Ditambah lagi dengan dukungan putusan Mahkamah Agung Bangladesh menemukan “rallying point”  bagi kalangan rakyat Bangladesh yang selama ini diam-diam tidak patuh. Unjuk rasa meluas dalam bentuk perlawanan. 

Upaya pemerintah menciptakan demonstrasi tandingan hanya sia-sia. Demontrasi tandingan dilumat oleh ledakan dukungan rakyat Bangladesh kepada keresahan terhadap suatu kebijakan pemerintah. Gerakan mahasiswa dan rakyat beruhab menjadi prahara politik bagi penguasa terkuat dalam sejarah Bangladesh ini.  

Manusia, meminjam istilah almarhum Prof.Soedjatmoko, adalah makhluk otonom. Manusia akan merasa terancam manakala ke-otonom-annya diusik. Setiap upaya untuk mengontrol dan apalagi memberangus otonomi manusia akan menimbulkan reaksi balik yang hebat. Bisa menjadi serangan langsung terhadap kemerdekaan dan rasa keadilannya yang paling asasi.  

Benarlah penggalan kata-kata “sang orang tua” dalam Old Man and The Sea (Ernest Hemingway); “ Man is not made for defeated. Man can be destroyed, but not defeated..” (Manusia tidak dibuat agar ditaklukkan. Manusia bisa dihancurkan tapi tidak bisa dikalahkan).  Wallahu ‘alam.

627

Related Post