Pelantikan Presiden AS: Demi "Legacy", Biden 'Tekan' Israel
Oleh Sabpri Piliang | Wartawan Senior
BERPACU dengan waktu! Tanpa "legacy", atau dengan "legacy"? Presiden Amerika Serikat (AS)Joe Biden risau! masa jabatan tinggal lima hari.
"Legacy"nya? Membiarkan Israel sebebas-bebasnya. Semau-maunya, sekehendak hatinya. Padahal, siapa yang berani menolak "hardikan", siapa yang berani melawan "political will" AS?
Perasaan "tidak enak" pada dunia. Meninggalkan "White House" 20 Januari, dengan Gaza seperti "neraka". Meninggalkan Gedung Putih dalam paradigma AS tidak berani menekan Israel. Sejatinya adalah "legacy berdarah" (bloody legacy).
Tiba-tiba kita dikejutkan, hal yang bukan Israel 'an sich'. Kesepakatan damai Israel-Hamas, hampir rampung! Apa yang terjadi? Sebegitu cepatkah pembicaraan yang titik temunya sangat rumit?
Diperkenalkan oleh filsuf Jerman Immanuel Kant dalam konsep filsafat "Ding an sich", yang artinya "pada dirinya sendiri". Merefleksikan sebuah dominasi dan kegagahan satu pihak, terhadap pihak yang lain.
Israel telah menjadi "hukum positif" yang tidak akan pernah keliru. Dibenarkan, dengan banyak varian asumsi. Apa pun yang dilakukan, harus dibenarkan. Protes di mana-mana, demo di seantero. Tak ada arti! Tak ada yang bisa menghentikan, kecuali "political will" AS.
Memblokade makanan, menghancurkan RS, memberangus jurnalis, bisa dibenarkan. Itulah "Israel an sich".
Joe Biden, kini berpacu dengan waktu! Tak ada 'remah' kebaikan yang akan dikenang dunia, dan khususnya oleh rakyat Palestina. Kecuali darah, dan darah.
Sejumlah 46.000 lebih korban, entah itu kombatan (Hamas). Entah itu anak-anak, perempuan, orangtua. Israel tetap merasa tak bersalah. Israel merasa membela diri. Dunia, pun menonton dan meng-iyakan!
Kita dikejutkan! Secepat itukah kesepakatan untuk berdamai? Secepat itukah Israel setuju dengan klausul Palestina. Padahal, hampir setahun ini, misi bolak-balik perunding AS-Mesir-Qatar, buntu! Mentok!
Israel butuh pembebasan 90-an sandera yang masih hidup! Palestina butuh pembebasan pemimpin kharismatik Palestina Marwan Barghouti (faksi bersenjata Fatah). Dan, satu tokoh lagi Ahmad Saadat (faksi PFLP). Di samping, tentu delapan tokoh utama lain.
Tahukah? Marwan Barghouti bukanlah Hamas. Tokoh 65 tahun ini, berasal dari faksi berseberangan dengan Hamas (baca: Fatah). Dia adalah tokoh yang sangat dihormati bangsa Palestina secara inklusif. Tanpa sekat, oleh Hamas sekalipun.
Hamas mensyaratkan pembebasan Barghouti untuk dipertukarkan dengan sandera.
Saya memprediksi, andaikan Palestina merdeka. Barghouti bisa diterima oleh semua faksi untuk menjadi Presiden dan pemimpin bangsa Palestina. Dalam wilayah sebelum Perang 1967 (Tepi Barat dan Jalur Gaza).
Marwan Barghouti merupakan harapan bangsa Palestina. Di tangannya, akan terjadi Persatuan Palestina ketimbang Mahmoud Abbas yang dinilai terlalu lembek, kompromistis, dan fragmatis. Atau Muhammad Dahlan, sosok yang disukai AS-Mesir-Israel.
Ditahan tahun 2002, tokoh Intifada Palestina ini, dihukum seumur hidup oleh pengadilan Israel. Hingga kini, Barghouti telah mendekam sekitar 23 tahun di penjara Israel.
Alotnya perundingan Israel-Hamas, karena Israel tetap ingin berperang. Setelah sandera dibebaskan. PM Israel Benyamin Netanyahu implisit, mau kesepakatan yang dibuat tersegmentasi. Tidak inklusif!
Israel memaksakan. Hak prerogatif pembebasan tahanan Palestina (di penjara Israel), berada di pihaknya. Hamas tidak diperkenankan meminta pembebasan dan pertukaran dengan menyebut nama.
Negeri zionis ini akan memilih siapa yang bisa dibebaskan, siapa yang tidak. Satu hal yang juga berbahaya, hak prerogatif menyebut Israel boleh memulai lagi pertempuran (permusuhan), setelah tenggat kesepakatan berakhir.
Gaza, sungguh sudah sangat menderita. Hamas menginginkan perdamaian, dengan membebaskan seluruh sandera Israel. Imbalannya: pengakhiran peperangan, penarikan Pasukan Israel dari Gaza, dan pembebasan Marwan Barghouti.
Syarat Hamas ini tak pernah disetujui Israel. Sejak perundingan Agustus 2024 lalu. Lantas, tiba-tiba setelah ada Utusan Presiden terpilih AS Donald Trump, Steve Witkoff dan Utusan Presiden Joe Biden (Bret McGurk), ter-'declared' kesepakatan. Perdamaian sudah hampir terlaksana (rampung).
Saya menganalisis, "pressure" AS mulai serius terhadap Israel. Masa jabatan Joe Biden sudah "injury time". Sementara, mentahnya normalisasi hubungan Israel-Arab Saudi, opini publik yang memperburuk citra AS sebagai negara demokrasi terbesar. Membuat AS tak punya pilihan. Waktunya sudah habis.
Sebelum ini, AS berasumsi. Hamas akan menyerah pasca habisnya para pimpinan teras: Saleh Al-Aroury, Mohammad Deif, Marwan Issa, Ismail Haniyeh, dan Yahya Sinwar. Ternyata tidak!
"Deadline" hingga jelang 20 Januari (pelantikan Presiden AS), ternyata Hamas masih berdiri kokoh. Tak ada pilihan, demi "legacy" baik, dan "happy ending"nya Joe Biden saat lengser.
Kali ini Israel harus menuruti apa kata AS! Penuhi prasyarat Hamas, sekalipun berisiko jatuhnya PM Benyamin Netanyahu.
Dengan begitu. Potensi ditinggalkan Menteri Keuangan Bazalel Smotrich (partai Jewish Home) dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Ittamar Ben-Gvir (partai Otzma Yehudit), terbuka lebar. Keduanya tokoh garis keras Israel.
Itu artinya, koalisi Pemerintahan akan bubar, dan Benyamin Netanyahu harus mundur.
Pilihan sulit, namun Joe Biden juga tak ingin meninggalkan "jejak berdarah", ! (*).