Pemerintahan Prabowo Sangat Hati-Hati Menerapkan PPn 12%

foto : idtoday.com

Oleh Haris Rusly Moti | Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998

PANDANGAN kritis kami terhadap karakter politik “esuk dele sore tempe” (pagi kedelai sore tempe) yang dipertontonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tak menunjukan kami anti kritik. Ibarat kata, “benihnya kau yang tanam, anaknya tidak mau kau akuin, bahkan kau tolak dan nistakan”.

Pemerintahan Prabowo tidak anti terhadap kritik. Pemerintahan Prabowo sangat terbuka terhadap pandangan dan masukan dari berbagai unsur masyarakat sipil terkait penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%. Semua kritik diperhatikan, dan diterima dengan senang hati.

Saya yakin kritik dan masukan dari unsur ormas kemasyarakatan agama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferesi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pengusaha, serta para intelektual dan ekonom terkait penerapan PPn 12% pasti dipertimbangkan oleh pemerintahan Prabowo.

Menurut saya setiap kritik dan masukan adalah “suplemen” yang justru memperkuat pelaksanaan dari kebijakan PPn 12 persen. Tujuannya, agar semakin berpihak kepada kepentingan rakyat. Saya yakin Presiden Prabowo pasti mendengar dan membaca aspirasi yang berkembang untuk menyempurnakan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Kita memang menghadapi situasi geopolitik yang “saling kunci” antara negara negara blok barat yang dipimpin USA & Uni Eropa versus China dan Rusia. Dampaknya adalah ambruknya konsensus pasar bebas yang telah sekian lama menjadi mekanisme perdagangan global.

Free trade atau pasar bebas maupun free investment berubah menjadi "Friendshoring". Perdadangan pasar bebas berubah jadi perdagangan antar sesama negara se-blok atau se-sekutu atau se-poros geopolitik.

Situasi saling kunci geopolitik tersebut yang membuat ekonomi global diramal suram di 2025. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut situasi global tersebut “komplex” dan “complicated, rumit dan ruwet.

Di dalam negeri, siapapun pemerintahan yang berkuasa pasti menghadapi kebijakan sulit dengan ruang pilihan kebijakan yang terbatas. Kadang pemerintah harus menempuh kebijakan tidak popular. Tuujuannya untuk memitigasi agar situasi geopolitik yang rumit dan ruwet tersebut tidak berdampak buruk terhadap ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.

Terkait kebijakan PPn 12% ini sendiri, memang bukan kebijakan yang diproduksi di era pemerintahan Prabowo. Namun, pemerintahan Prabowo tidak cuci tangan dan tetap bertanggungjawab. “Saya kira bukanlah karakter Presiden Prabowo untuk menyalahkan masa lalu setiap menghadapi masalah dan tantangan.

Saya yakin dalam penerapannya pemerintahan Prabowo sangat penuh kehati hatian. Kita tidak memaksakan agar kebijakan PPn 12 % ini diterima oleh seluruh rakyat dan dunia usaha. Paling tidak, kita berharap rakyat dan dunia usaha dapat memahami situasi sulit yang melahirkan kebijakan sulit yang mesti ditempuh oleh pemerintahan Prabowo dalam menerapkan PPn12%.

Sesuai masukan dari pimpinan DPR-RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR-RI Sufmi Dasco Ahmad, agar kebijakan penerapan PPN 12% jangan sampai makin memperlemah ekonomi dan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Karena itu, penerapan PPN 12% diutamakan untuk komponen pajak barang mewah”.

Pemerintahan Prabowo dipastikan akan sangat hati-hati dalam membuat kategorisasi terkait komponen barang mewah yang dikenakan PPN 12%. Kehati-hatian tersebut agar daya beli ekonomi rakyat tidak terganggu”. Masyarakat dapat melaksanakan aktivitas ekonomi dengan leluasa seperti biasanya setiap hari.

Semoga perbedaan pandangan terkait penerapan PPN 12% tersebut tidak melunturkan semangat persatuan dan kebersamaan dalam membangun ekonomi nasional. Mari kita sama sama menjaga agar bangsa kita dijauhkan dari dampak negative. Baik itu dampak negatif ekonomi maupun politik sebagai akibat darai pertikaian geopolitik yang diperkirakan memanas di tahun 2025. (*)

126

Related Post