Penataran Pancasila ke-4: Ideologi Pancasila Terurai Pada UUD 1945
Para elit dan pengamandemen UUD 1945 rupanya tidak memahami bahwa pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 mempunyai hubungan yang erat yang tidak bisa dipisahkan
Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
KATA Bung Karno, sejarah adalah Kaca Benggala yang harus terus disimak. Agar bangsa dan negara ini tidak melenceng dari cita-cita berdirinya negara Indonesia.
Akibat tidak memahami dan mendalami hubungan Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945, tidak memahami apa Ideologi Pancasila, maka diamandemenlah UUD 1945.
Sekarang DPR RI mulai ngarang-ngarang menerbitkan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). UU HIP. Aneh dan janggal. Bagaimana Ideologi Pancasila itu, ya UUD 1945 dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan-nya.
Kok mau dibuat UU. Secara herarki bagaimana? Apa bisa UU lebih tinggi dari UUD 1945? Rupanya DPR RI semakin keblinger dan tidak mau membuka dokumen hubungan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
Hubungan Pembukaan dan Batang tubuh UUD 1945 itu adalah hubungan sebab-akibat yang tidak bisa dipisahkan atau dipenggal.
Karena ada Pembukaan UUD 1945 itulah maka ada Batang Tubuh UUD 1945 dan penjelasannya. Mari kita bahas hubungan Pembukaan dan UUD 1945 asli hasil kajian Prof. Noto Negoro.
Kiranya perlu kita simak agar kita tidak kesasar dan tidak mengerti kalau negara sudah dikudeta. Bahkan, TNI POLRI sebagai penjaga Pancasila dan UUD 1945 tidak mengerti.
Terus mereka yang lulusan Lemhamnas dan dosen-dosen pengajarnya, apa yang diajarkan selama ini? Kok sampai tidak mengerti tentang ideologi negara Pancasila?
Pendjelmaan (pelaksanaan objektif) Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Uraian ideologi Pancasila di dalam batang tubuh UUD 1945.
Udjud pelaksanaan objektif mengenai asas kerohanian Negara (Pantjasila) adalah sebagai berikut:
1. Asas “ke-Tuhanan Jang Maha Esa” tersebut dalam Bab XI hal Agama, pasal 29 dari Undang-undang Dasar 1945.
2. Asas “Kemanusiaan jang adil dan beradab” terdapat dalam ketentuan-ketentuan hak asasi warganegara tertjantum dalam pasal-pasal 27, 28 dan 31 ajat 1 dari Undang-undang Dasar 1945.
3. Asas “Persatuan Indonesia” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 26 tentang warganegara, pasal 31 ajat 2 tentang pengadjaran nasional, pasal 32 tentang kebudajaan nasional, pasal 35 tentang bendera Negara dan pasal 36 tentang bahasa Negara.
Diantara pendjelmaan daripada asas “persatuan Indonesia” terdapat satu hal, jang amat penting untuk pada tempat ini dikemukakan. Karena djika hal ini disadari, sungguh akan merupakan dasar bagi tertjapainya realisasi sifat kesatuan daripada Negara dan bangsa.
Lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah, dan menurut ketetapan ini “Bhinneka Tunggal Ika” adalah lambang Negara, satu sungguhpun berbeda-beda.
Negara Indonesia adalah satu, akan tetapi terdiri dari pulau-pulau jang amat banjak djumlahnja. Bangsa Indonesia adalah satu, akan tetapi terdiri atas suku-suku bangsa jang banjak djumlahnya.
Tiap-tiap pulau dan daerah, tiap-tiap suku bangsa mempunjai tjorak dan ragam sendiri-sendiri, beraneka warna bentuk-sifat daripada susunan keluarga dan masjarakatnja, adat-istiadatnja, kesusilaannja, kebudajaannja, hukum adatnja dan tingkat hidupnja.
Golongan bangsa jang tidak asli terdiri atas golongan keturunan Tiong Hwa, keturunan Arab, keturunan Belanda dan golongan dari mereka jang berasal dari orang asing tulen.
Lebih daripada jang terdapat dalam golongan bangsa Indonesia jang asli, diantara mereka ada perbedaan jang besar dalam segala sesuatu.
Sedangkan disampingnja ada perbedaan pula dengan golongan bangsa Indonesia jang asli.
Kalau ditambahkan terdapatnya pelbagai agama dan kepertjaan hidup lainnya, maka makin mendjadi besar perbedaan jang terdapat di dalam masjarakat dan bangsa Indonesia. Jang demikian itu disamping daja penarik ke arah kerdja sama dan kesatuan menimbulkan djuga suasana dan kekuatan tolak-menolak, tentang-menentang, jang mungkin mengakibatkan perselisihan, akan tetapi mungkin pula, apabila dipenuhi hidup jang sewadjarnya, menjatukan diri dalam suatu resultan atau sintesa jang malahan memperkaja masjarakat.
Di mana dapat, perlu diusahakan peniadaan dan pengurangan perbedaan-perbedaan jang matjam terachir itu. Meskipun dengan harapan, bahwa usaha itu akan tidak berhasil sempurna.
Dalam kesadaran akan adanja perbedaan-perbedaan jang demikian itu, orang harus berpedoman kepada lambang Negara “Bhinneka Tunggal Ika”, menghidup-hidupkan perbedaan jang mempunjai daja penarik ke arah kerdja sama dan kesatuan, dan mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan jang mungkin mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak-menolak ke arah perselisihan, pertikaian dan perpetjahan atas dasar kesadaran akan kebidjaksanaan dan nilai-nilai hidup jang sewadjarnya.
Lagipula dengan kesediaan, ketjakapan dan usaha untuk sedapat mungkin menurut pedoman-pedoman madjemuk-tunggal bagi pengertian kebangsaan, ialah menjatukan daerah, membangkitkan, memelihara dan memperkuat kehendak untuk bersatu dengan mempunjai satu sedjarah dan nasib, satu kebudajaan di dalam lingkungan hidup bersama dalam suatu Negara jang bersama-sama diselenggarakan dan diperkembangkan.
“Bhinneka Tunggal Ika” adalah merupakan suatu keseimbangan, suatu harmoni jang tentu akan berubah-ubah dalam bentuknja, akan tetapi akan tetap dalam dasarnja, antara kesatuan dan bagian-bagian dari kesatuan, dalam segala matjam hal tersebut di atas, dan djuga dalam hal susunan bentuk dan susunan pemerintahan Negara.
4. Asas “Kerakjatan yang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan/perwakilan” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 2 ajat (1) tentang terdirinja Madjelis Permusjawaratan Rakjat atas wakil-wakil rakjat, pasal 5 ajat (1) tentang kekuasaan Presiden membentuk Undang-undang dipegang dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat, pasal 6 ajat (2) tentang Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat.
Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakjat (pasal 19 sampai dengan 22). Pasal 18 tentang Pemerintah Daerah.
5. Asas “Keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IV tentang kesedjahteraan social, perintjiannja terdapat pertama dalam pasal 33 tentang hal susunan perekonomian atas dasar kekeluargaan, tentang tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara, dan menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara tentang bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat; kedua dalam pasal 34 tentang fakir-miskin dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh Negara.
Jadi, jelas Ideologi Pancasila teruarai di dalam pasal-pasal UUD 1945. Oleh sebab itu amandemen UUD 1945 yang memisahkan Pembukaan UUD 1945 dengan batang tubuh, sama artinya menghilangkan Ideologi Pancasila.
Para elit dan pengamandemen UUD 1945 rupanya tidak memahami bahwa pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 mempunyai hubungan yang erat yang tidak bisa dipisahkan.
Asas Politik Negara Indonesia Diamandemen
Daripada asas politik Negara, bahwa Negara Indonesia “terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat”, jang ditentukan dalam Pembukaan, udjud pelaksanaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 1 ajat (1), bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, dan pasal 1 ajat (2), bahwa kedaulatan rakjat dilakukan sepenuhnja oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat.
Diamandemennya pasal 1 ayat 2 Kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diamandemen menjadi.
Pasal 1 ayat 2 Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.
Akibat diamandemennya pasal 1 ayat 2 adalah mengamandemen asas politik negara, susunan Negara Republik Indonesia tidak lagi wujud dari kedaulatan rakyat.
Adapaun tudjuan Negara, tertjantum dalam Pembukaan, jang nasional (“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah serta memadjukan kesedjahteraan umum dan mentjerdaskan kehidupan bangsa”), pendjelmaannya objektif adalah sebagai di bawah ini.
Pertama-tama terkandung djuga dalam pendjelmaan daripada asas kerohanian dan asas politik Negara sebagaimana dimaksudkan di atas, karena kedua asas Negara itu memang dikehendaki untuk mewujudkan atau mentjapai tudjuan Negara.
Lain daripada itu terutama untuk tudjuan Negara jang negatif, jaitu keselamatan bangsa dan Negara atau perdamaian, pendjelmaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (pasal 24 dan 25) dan Bab XII tentang Pertahanan Negara (pasal 30) serta kekuasaan Presiden dalam pasal 14 untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, dalam pasal 10 atas Angkatan Perag, dalam pasal 11 untuk menjatakan perang, membuat perdamaian dan perdjandjian dengan Negara lain, dan dalam pasal 12 untuk menjatakan keadaan bahaja. (*)