Pengadilan Militer Myanmar Memvonis Aung San Suu Kyi Tiga Tahun Penjara
Ankara, FNN - Pengadilan junta militer di Myanmar memvonis mantan pemimpin sipil negara itu, Aung San Suu Kyi, dan penasihat ekonominya asal Australia tiga tahun penjara atas dakwaan pelanggaran Undang-Undang Rahasia Negara, demikian laporan media setempat pada Kamis.
Suu Kyi dan profesor Sean Turnell divonis di Pengadilan Daerah Pyinmana karena melanggar UU Rahasia Negara setelah 18 bulan persidangan, menurut kantor berita Myanmar Now.
Pengadilan juga menjatuhkan vonis yang sama ke sejumlah mantan anggota kabinet Suu Kyi, termasuk menteri keuangan Kyaw Win, pengganti menkeu, Soe Win, dan wakil menteri Set Aung atas dakwaan serupa.
Awal September ini pengadilan militer juga memvonis Suu Kyi tiga tahun penjara atas dakwaan kecurangan dalam pemilu.
Suu Kyi kini menghadapi vonis 23 tahun penjara sejak militer menggulingkan pemerintahannya pada Februari tahun lalu. Rezim militer memindahkan Suu Kyi ke penjara pada Juni dan menempatkannya di sel isolasi.
Pasca kudeta militer 24 Februari 2021, Suu Kyi menjadi tahanan rumah hingga April tahun ini ketika dia dipindahkan ke sebuah lokasi rahasia, yang diyakini sebagai Penjara Naypyitaw di ibu kota Myanmar.
Suu Kyi menghadapi belasan dakwaan, seperti korupsi, sehingga dia menerima vonis lima tahun penjara pada April. Suu Kyi sebelumnya menghabiskan sekitar 15 tahun sebagai tahanan rumah semasa rezim junta yang berbeda di negara itu.
Suu Kyi pernah dipenjara untuk kedua kalinya pada 2009. Rezim junta saat itu memindahkannya ke Penjara Insein di Yangon selama empat bulan pada tahun itu lantaran "melanggar aturan tahanan rumah."
Pemerintahan Suu Kyi dilengserkan lewat kudeta militer tahun lalu usai menang dalam pemilu November 2020. Kudeta itu lantas menimbulkan kerusuhan sipil yang meluas karena masyarakat mengecam penggulingannya dan aturan militer.
Junta menindas pengunjuk rasa dengan kekerasan, meski PBB telah memperingatkan bahwa Myanmar telah jatuh ke dalam perang saudara. Semenjak itu pasukan junta telah menewaskan lebih dari 1.500 orang sebagai penindasan kepada perbedaan pendapat, menurut kelompok pengawas setempat Assistance Association for Political Prisoners (AAPP). (Sof/ANTARA)