Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Digugat ke MK
Jakarta, FNN – Rencana pengangkatan Kepala Daerah oleh Kementerian Dalam Negeri melanggar konstitusi. Moch Sidik dan kawan-kawan atau cum suis (c.s.) mengajukan gugatan terhadap ketentuan penunjukan dan pengangkatan kepala daerah dalam Undang-Undang tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Para pemohon adalah Moch Sidik, Dewi Nadya Maharani, Suzie Alancy Firman, Rahmatulloh, dan Mohammad Syaiful Jihad yang memberi kuasa kepada Sulistyowati dan kawan-kawan.
"Kami sebagai warga negara Indonesia yang sah dan memiliki hak pilih berhak melakukan permohonan judicial review ke MK," kata Moch Sidik dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (7/2/2022).
Sesuai dengan amanat UU Nomor 10 Tahun 2016 yang diubah dengan UU No. 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, kekosongan kursi kepala daerah tersebut bakal diisi lewat pengangkatan penjabat kepala daerah. Mereka mengajukan permohonan pengujian Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang Panel Perkara Nomor 15/PUU-XX/2022 perihal pengujian materi UU No. 10/2016 rencananya digelar pada Kamis (10/2/2022) melalui zoom dengan agenda pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang pleno lantai 2 gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Pasal 201 ayat (10) UU No. 10/2016 berbunyi: "Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Sementara, Pasal 201 ayat (11) UU No. 10/2016 berbunyi: "Untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemohon berpandangan bahwa mekanisme pengangkatan kepala daerah yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya untuk penjabat gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama untuk penjabat bupati dan wali kota tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai negara Indonesia yang demokratis.
“Pengangkatan penjabat kepala daerah juga bertentangan dengan isi dan substansi dari UUD 1945 yang demokratis, khususnya Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat 1," kata Sidik.
Sebagai warga negara Republik Indonesia yang baik, demokratis dan taat hukum, pihaknya sangat menginginkan terwujudnya prinsip, nilai, serta budaya demokrasi sesungguhnya di tengah masyarakat Indonesia maupun di lembaga negara dan pemerintahan Indonesia ke depannya. Karena itu, pemohon mengaku sangat berharap dan menginginkan praktik-praktik demokrasi di Indonesia tidak hanya mementingkan prosedur dan formalitas serta kepentingan sesaat, tetapi praktik-praktik dan upaya serius dan sungguh-sungguh bersama ke depan menjadikan negara Indonesia menjadi sebuah negara demokrasi dan pemerintah Indonesia menjadi pemerintah yang demokratis.
Sidik berharap demokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat banyak, dan menjamin serta memastikan adanya penghormatan atas hak-hak rakyat berdaulat yang fundamental, yaitu hak kemerdekaan, kebebasan, keadilan, keseimbangan, integritas, persamaan, transparansi, akuntabilitas, inklusif, partisipasi, serta pemenuhan akan hak kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, kenyamanan, dan keamanan diri rakyat Indonesia menjadi sebuah keniscayaan.
Selain itu, menurut Sidik, alasan lainnya adalah karena rakyat Indonesia menjadi pemegang mandat utama dan paling berdaulat di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sidik menegaskan bahwa wajib hukumnya hak-hak dasar rakyat Indonesia yang sama dengan hak manusia di bumi lainnya harus dihargai dan dihormati oleh sesama warga negara Indonesia maupun oleh para penyelenggara negara Indonesia dan Pemerintah Indonesia yang merupakan pemilu.
"Jabatan kepala daerah merupakan jabatan politik yang mulia dan agung karena merupakan hasil dari sebuah kompetisi berkala yang dilakukan secara sehat dan bermartabat," kata Sidik.
Ia juga mengatakan, jabatan kepala daerah juga diperoleh dari hasil perjuangan keras para kompetitor pilkada selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun walaupun secara resminya hanya beberapa bulan.
Pada 2022, sebanyak 101 kepala daerah akan habis masa jabatannya, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sedangkan pada 2023 akan ada 170 kepala dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Daerah-daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah hingga kepala/wakil kepala daerah baru terpilih dalam pemilihan kepala daerah serentak nasional pada 2024. (sws, ant)