Pergumulan dan Dinamika Pemikiran Politik Salim Said
Oleh Fathorrahman Fadli l Wartawan Senior FNN
Kegelisahan dan keprihatinan Salim Said atas bangsa ini sesungguhnya masih panjang. Untungnya, keprihatinan itu terputus oleh umurnya sendiri. Jika beliau masih hidup, tentu saja keprihatinan itu akan bertambah setelah Mahkamah Agung (MA) memutuskan batas usia kepala daerah yang diubah begitu rupa demi menampung ambisi pribadi seorang penguasa yang merasa dirinya berkuasa, bak seorang raja.
Sebelumnya, ada pelemahan KPK, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres RI, perampokan dan korupsi di PT Timah Rp271 triliun, praktik jual beli emas palsu BUMN ANTAM, pembobolan dana ASABRI, kasus judi online yang melibatkan Sambo, investasi telkomsel ke Go To ketika merger, dan kasus-kasus korupsi lain yang menyesakkan dada kita sebagai anak bangsa.
Dengan berbagai peristiwa itu, sempurnalah sudah prediksi Salim Said akan buruknya tata kelola bangsa ini.
Bagi Salim Said, keprihatinan tidak boleh dipendam dalam pikiran kaum intelektual dan kaum terdidik lainnya. Namun justru menjadi tugas kaum intelektual-lah keprihatinan tersebut harus dilempar ke tengah-tengah publik agar rakyat tahu akan masalah yang sedang dialami oleh bangsanya.
Menurut Salim Said, keberanian untuk membawa keprihatinan itu penting--- tidak saja untuk memberi tahu khalayak ramai, namun lebih jauh dari itu sebagai penanda bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Meskipun demikian, Salim menyadari betul, bahwa untuk menyuarakan kebenaran itu tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Namun yang penting harus tetap ada yang melakukannya, sebagaimana yang telah beliau contohkan berpuluh tahun lamanya.
Salim mengajari kita semua untuk berkata jujur mengenai kondisi bangsa yang sangat besar ini. Ketidakjujuran kita, ketidakberanian kita, dan kesantunan kita yang overdosis mendiamkan kedholiman dan ketidakadilan atas prilaku kekuasaan pada rakyatnya sendiri, sejatinya kita ikut memberi sumbangsih pada semakin rusaknya negeri ini.
Sebagai kaum intelektual bergelar profesor, Salim Said selalu mengajak kita berfikir, mencari tahu akar berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat. Untuk kemudian dianalisis berdasarkan metode ilmiah guna menarik kesimpulan sementara yang mungkin masih terbuka kemungkinan untuk diperdebatkan. Cara itu menurut Salim akan lebih dapat dipertanggungjawabkan secara lebih baik. Itu pula bedanya orang yang berfikir dan tidak berfikir dalam menghadapi masalah.
Salim sangat menghargai kegiatan berfikir seseorang. Terlalu sering beliau mencari kawan dan teman berfikir. Caranya beliau terkadang memberi saya buku tentang Sutan Syahrir, Polemik Kebudayaan Sutan Takdir Alisyahbana, atau mengajak diskusi siapa sebenarnya politisi PDIP, RibkaTjibtaning itu. Untuk mendiskusikan soal Ribka Tjiptaning, saya diminta mencari atau membeli buku, "Saya bangga menjadi Anak PKI."
Seperti tugas dosen pada mahasiswanya, saya pun berusaha membelinya via online. Saya membeli buku itu dua eksemplar, satu untuk sang profesor dan satu lagi untuk saya. "Ok, kita sama-sama baca, minggu depan kita diskusi ya Ong," pintanya.
Salim Said memang terkenal kutu buku. Buku Ribka anak PKI itu dibacanya tuntas dengan coretan-coretan khas beliau. Saya tahu karena Rabu, seperti yang dia janjikan ia serahkan buku itu kepada saya. "Ini buku anda, saya sudah baca. Kesimpulan saya, dia memang anak PKI yang sangat militan. Dugaan saya dia masih menyimpan agenda tersendiri," cetusnya sambil merebahkan tubuhnya di kursi roundtable discussion yang ia pimpin setiap Rabu siang hingga menjelang adzan magrib tiba.
Bahkan jika beliau sedang on fire, istrinya, Ibu Herawati yang menunggu di ruang sebelah lupa bahwa sedang mengajaknya pulang. Begitulah Profesor Salim Said yang sering mengingatkan teman diskusinya dengan kalimat, “Saya ini profesor politik, yang melihat politik dari perspektif sejarah dan sosiologi".
Inti Keprihatinan Salim Said
Namun apa yang sejatinya menjadi inti keprihatinan Salim Said atas perjalanan bangsa ini. Dibawah ini perlu kiranya saya sarikan agar tidak memenuhi ruangan buku ini terlalu banyak.
Pertama, soal Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Di soal ini saya sempat berdialog cukup intens dengan Salim Said. Menurut Salim Said, masih terdapat masalah yang sangat prinsipil di seputar Pancasila sebagai dasar negara. Pada praktiknya, Pancasila belum sepenuhnya dipahami secara baik oleh para penguasa di negeri ini; mulai Bung Karno, Soeharto, hingga Jokowi. Oleh karena itu, Soekarno hingga Jokowi selalu gagal dalam memahami siapa rakyatnya.
Kegagalan memahami rakyatnya itulah yang kemudian membuat para penguasa itu tidak pernah menjadikan Pancasila sebagai rujukan utama saat mereka berkuasa.
Oleh karena itu wajar jika suatu saat Soekarno dengan seenaknya mengubah-ubah Pancasila menjadi Trisila, ubah lagi menjadi Ekasila, membuat Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) yang menurut Salim Said justru telah menggelincirkan Soekarno sendiri dari singgasana kekuasaan. Lagi-lagi ini dikarenakan Soekarno dinilai tidak memahami akan rakyatnya sendiri.
Tafsir saya atas pemikiran Salim Said itu adalah bahwa Pancasila di tangan Soekarno tidak benar-benar menjadi rujukan utama dalam mengawal kekuasaan. Pancasila dalam derajat yang cukup tinggi hanya menjadi alat untuk kepentingan dirinya sendiri saat berkuasa. Nasakom tidak mungkin dipersatukan karena ketiganya tumbuh dalam "basic values" yang sama sekali berbeda.
Apalagi dalam derajad tertentu ketiganya tidaklah saling berhubungan. Sejak Soekarno berkuasa, ia memang terlihat terlena dengan kekuasaannya. Bahkan seorang Tokoh Pendiri HMI yang dikenal dekat dengan Soekarno yaitu Dahlan Ranuwihardjo berpendapat bahwa Intelektualitas Soekarno itu terhenti sejak ia berkuasa (interview penulis dengan DRW, red).
Kedua, soal cita-cita bangsa ini menjadi Indonesia. Menurut Salim Said, Indonesia ini tidak akan bertahan dalam 100 tahun jika tata kelola negara ini masih seperti sekarang. Apa sebab? Di mata Salim Said, Indonesia bukanlah suatu bangsa. Ia hanyalah suatu bangsa yang diimpikan oleh Soekarno dan Hatta. Jadi Indonesia sekarang ini sedang berada dalam posisi, "on going process".
Seolah merujuk pada konsep Imagine Communities-nya, Ben Anderson, Salim Said kemudian bilang begini.
"Jadi kita ini masih belum menjadi Indonesia. Oleh karena itu dalam perjalanan dan proses menjadi Indonesia itu kita harus hati-hati. Ini betul-betul saya berpesan. Jangan sampai semua suku bangsa yang berhasil disatukan secara fisik oleh Soekarno dan Hatta itu bubar di tengah jalan," tegas Salim Said.
Lihatlah, Uni Sovyet (USSR) tambah Salim, mereka bubar dan berantakan tidak sampai usia 70 tahunan. USSR justru hancur ditangan Presiden Michael Gorbachev sendiri yang seharusnya mampu menjaga keutuhan bangsa. Program Glasnost dan Perestroika yang digembar-gemborkan Gorbachev justru membuat Uni Sovyet hancur berkeping-keping.
"Hal yang terjadi di Sovyet, sangat bisa terjadi di negeri kita jika tata kelola negara ini amburadul seperti sekarang," cetusnya mengingatkan.
Kekhawatiran itu tidak hanya diresahkan oleh Salim Said, namun hal yang sama juga disampaikan Pakar dan Ilmuan Politik pertama di Indonesia yaitu Profesor Deliar Noer. Menurut Deliar Noer, kenyataan sosial Indonesia selama 70 tahun lebih merdeka, rakyat masih belum menikmati apa yang dahulu mereka dambakan yakni kesejahteraan sosial yamg merata. Deliar melihat disparitas sosial yang sangat lebar, jurang pemisah si kaya dan si miskin sangatlah memprihatinkan.
Kondisi ini menurut Deliar membutuhkan usaha yang serius dari pemerintah agar betul-betul sadar dan menyadari akan pentingnya tujuan kita berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
"Seluruh tingkah laku negara harus mengacu kesana," demikian Deliar Noer mengingatkan kita semua sebagai anak bangsa.
Ketiga, soal eksistensi umat Islam. Salim Said juga memendam kerisauan tak terperikan akan kondisi umat Islam Indonesia. Ia melihat muslim di Indonesia masih sangat tertinggal dari sisi meraih pendidikan dan akses terhadap tingkat kesejahteraan mereka. Sebab dalam pandangan Salim Said, wajah Indonesia itu sangat ditentukan oleh wajah umat Islamnya. Semakin buruk wajah umat Islam akan semakin buruk wajah Indonesia.
Mengapa? Karena Indonesia didiami oleh mayoritas umat Islam yang mencapai 244 juta dari 280 juta jiwa. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi Umat Islam adalah persoalan bangsa Indonesia. Disinilah seorang pemimpin nasional dari mana pun datangnya, dia berlatar belakang agama apapun, penting kiranya memahami Islam dan aspirasi umat Islam.
Memahami Islam adalah penting karena Islam telah menjadi sumber nilai dan pedoman hidup Umat Islam Indonesia. Seorang pemimpin yang tidak paham nilai-nilai Islam adalah sama dengan tidak memahami apa dan bagaimana rakyatnya yang mayoritas itu.
Memahami aspirasi Umat Islam adalah sama pentingnya dengan memahami seperangkat nilai yang tumbuh dan berkembang serta bersemayam dalam pikiran Umat Islam. Kegagalan dalam mengartikulasi aspirasi umat Islam adalah sama dengan kegagalan memimpin Indonesia.
Mengapa demikian? Sebab Islam dan Umat Islam tidak bisa dipisahkan dari denyut nafas perjuangan bangsa Indonesia ini. Indonesia merdeka adalah buah dari perjuangan panjang para Syuhada yang rela mati demi kemerdekaan Indonesia. Pengabaian pada aspirasi Umat Islam mesti dibaca sebagai bagian integral darii pengkhianatan pada sejarah Indonesia itu sendiri.
Menyadari hal itu Salim Said tergerak untuk menulis buku mengenai "Tafsir Sosial Islam" yang telah lama dirintisnya. Ia berharap melalui buku itu dapat memberi pemahaman yang lebih baik bagi umat Islam dalam melihat relasi antara Islam sebagai ajaran yang dipeluknya dengan interaksi dan dinamika sosial politik dan kebudayaan masyarakatnya. Hingga beliau wafat, ternyata buku itu belum juga selesai.
Keempat, adalah soal rendahnya literasi bangsa.
Menurut Salim Said, rendahnya semangat untuk membaca buku dan literatur dalam masyarakat kita masih sangat rendah. Kondisi ini ikut memperburuk kualitas dan daya saing bangsa dikancah pergaulan internasional. Rendahnya literasi juga berakibat pada rendahnya kegiatan berpikir masyarakat. “Jika membaca saja tidak mau, mana mungkin kita bisa berpikir maju. Bangsa yang maju itu karena mereka berpikir jauh ke masa depan, cilakanya, banyak doktor yang sudah berhenti membaca,” ujarnya dengan nada prihatin.