Pilpres 2024 Terancam Macet dan Lumpuh Total!

Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

Seenaknya sendiri DPR (sangat mungkin karena tekanan kekuatan dari luar) “sim salabim diterjemahkan ada ambang batas 20 %”. Bahkan, seperti anak teka (TK) diberi permen ramai akan menambah angka PT-nya.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

UNDANG-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti sebut Pasal 222 UU Pemilu Langgar Konstitusi (Rabu, 27 Apr 2022).

Kalimat singkat itu benar karena pasal tersebut membuka peluang negara akan berada dalam situasi stuck atau lumpuh. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mensyaratkan Presidential Threshold atau Ambang Batas, akan membawa bencana karena tidak memenuhi unsur hakiki dari hukum yang harus ada di negara ini.

Ratusan juta rakyat Indonesia peserta Pemilihan Presiden bisa kehilangan hak pilih. Negara pun bisa dan sangat berpeluang berada dalam keadaan stuck, macet dan lumpuh total.

Bukan hanya rakyat Indonesia akan kehilangan hak untuk memilih, tetapi bisa jadi pemilihan Capres dan Cawapres tidak dapat dilaksanakan.

Hal itu bisa terjadi apabila gabungan partai politik yang mengusung pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mencapai jumlah kursi DPR 80,01 persen atau 75,01 persen suara sah secara nasional. Sehingga hanya akan ada satu pasangan Capres dan Cawapres yang memenuhi syarat untuk mendaftar.

Mengapa bisa stuck atau lumpuh? Karena UU Pemilu hanya mengantisipasi apabila salah satu dari dua pasangan Capres dan Cawapres berhalangan tetap di tengah jalan atau di tengah tahapan. Dimana tahapan dilanjutkan dengan satu pasang melawan kotak kosong.

Kalau hanya ada satu pasang calon akibat adanya (“ambang batas”) maka tidak ada lagi pasangan yang bisa didaftarkan, dalam kondisi seperti ini kekacauan negara akan muncul.

Dengan kata lain, Pasal 222 selain melanggar konstitusi, juga bisa berpotensi menimbulkan persoalan yang tidak mampu dijawab oleh UU Pemilu. Karena UU Pemilu sama sekali tidak mengantisipasi potensi tersebut.

Partai politik dan perwakilan di DPR kesurupaj dalam dunia pragmatis hanya memburu finansial dengan watak henonismenya, sudah tidak lagi peduli atas segala kemungkinan yang akan terjadi, antara lain akan terjadinya kemacetan pada mendaftarkan calon Presiden.

Karena calon tunggal tidak bisa dilawankan dengan kotak kosong. Yang bisa dilawankan kotak kosong apabila salah satu dari dua pasangan calon tersebut berhalangan tetap di tengah jalan.

Para bandit negara dan Oligarki memang cerdas hitung menghitung politik, kalau itu terjadi maka otomatis akan ada penundaan pemilu, sebagai alternatif kalau penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan yang diperjuangkan saat ini gagal.

Keadaan tersebut berpotensi merusak dan menimbulkan kekacauan tata negara bangsa ini. Dan dapat mengancam tujuan serta cita-cita nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Persoalan ambang batas (presidential threshold) pencalonan presiden yang berlaku di Indonesia sejatinya menyimpang dari prinsip presidensialisme. Sistem presidensial yang sebenarnya tidak mengenal sama sekali hubungan antara hasil pemilu legislatif dengan syarat pencalonan presiden.

Tidak ada ambang batas pencalonan presiden atas dasar hasil pemilu legislatif. Presidential threshold yang berdasarkan pada hasil pemilihan anggota DPR menyimpang dari prinsip presidensialisme.

Jadi, tidak salah ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) mengatakan anggota DPR seperti anak anak TK.

Di Amerika Serikat (AS), syarat untuk menjadi capres di sana sederhana, yakni cukup berkewarganegaraan AS tinggal tetap di AS minimal 14 tahun, berumur minimal 34 tahun, dan tidak melakukan tindakan kriminal.

Apa Indonesia merasa lebih hebat dalam wawasan dan pengalaman tentang praktik demokrasinya. Tak ada syarat lain, misalnya harus dari partai politik, apalagi partai politik dengan jumlah kursi tertentu di kongres atau DPR seperti di Indonesia.

Ambang batas itu adalah aturan dalam undang-undang yang merupakan tafsiran politik DPR terhadap konstitusi. Dalam konstitusi, hanya ada pernyataan bahwa calon presiden diusulkan oleh partai politik. Partai politik pengusul harus sebesar apa, tidak ada ketentuannya di konstitusi.

Seenaknya sendiri DPR (sangat mungkin karena tekanan kekuatan dari luar) “sim salabim diterjemahkan ada ambang batas 20 %”. Bahkan, seperti anak teka (TK) diberi permen ramai akan menambah angka PT-nya.

Berdasarkan catatan yang kita ketahui bahwa sepanjang 2017-2022 diketahui berkali-kali gugatan atas Pasal 222 yang mengatur ambang batas capres ke MK. Namun, tak ada satupun gugatan yang dikabulkan. MK canggih dan kuat betul pertahanannya. Mungkin sudah layak harus menerima kehormatan bintang Maha Putra atau maha lainnya, sebagai pahlawan kusuma bangsa.

Ada sinar pencerahan kecil tetapi tak berdaya seperti apa yang dikatakan Saldi Isra dan Suhartoyo, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan Ambang Batas dalam proses pengisian jabatan presiden, jelas memaksakan sebagian logika sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.

Penolakan MK atas Judicial Review atas pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang semua mental, rakyat sudah mengetahui ketika penguasa dan dugaan atas kuasa penguasa yang lebih besar sudah berubah menjadi hukum. Jangan harap dan jangan pernah mengharapkan ada keadilan.

Bencana Pilpres 2024 akan lumpuh dan macet total adalah opsi hukum konstitusi yang tidak boleh diremehkan. (*)

782

Related Post