Pilpres Mbelgedhes!
Hiruk-pikuk pencapresan sekarang ini oleh berbagai pihak dan lembaga survei tidak produktif dan menyesatkan karena mengubur masalah mendasar yang bersembunyi di balik hingar-bingarnya.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts
DIATAS pijakan UUD 1945 palsu liberal-kapitalistik yang sekarang ini berlaku, beserta sederetan UU Politik turunannya, pemilu dengan rancangannya saat ini hanya akan mengantarkan bangsa ini menjadi Kafir Pancasila kaffah alias tulen, murni dan konsekuen.
Pemilihan langsung para pejabat publik cabang eksekutif, terutama Presiden, yang dibangga-banggakan sebagai puncak demokrasi ala Amerika Serikat itu adalah sikap murtad dari prinsip musyawarah bil hikmah melalui mekanisme perwakilan sebagai sila ke-4 Pancasila.
Nyaris mustahil Yeheskiel yang tinggal di Yakohimo kenal capres Joko Susilo (Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono) sedangkan Asep asal Garut saja tidak kenal.
Untuk ratusan suku yang tinggal di bentang alam kepulauan seluas Eropa ini yang baru merdeka 80 tahun, dan lama sekolahnya rata-rata hanya 7 tahun, ingin meniru Pilpres model AS adalah absurditas in optima forma. Apalagi jika baik Yeheskiel dan Asep serta kawan-kawannya ternyata sudah wafat namun masih tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap.
Pemilu langsung untuk cabang legislatif di tingkat lokal masih masuk akal sehat, sedangkan pemilihan pejabat eksekutif sebaiknya dilakukan melalui mekanisme perwakilan yang ber-musyawarah bil hikmah.
Untuk kepentingan efisiensi anggaran dan manajemen data pemilih dan suaranya secara manageable, pemilihan langsung untuk cabang legislatif diberlakukan hanya di tingkat daerah otonom saja, yaitu Kota dan Kabupaten. Pejabat legislatif di tingkat provinsi dan negara, dapat dilakukan melalui melalui mekanisme utusan yang mewakili daerah otonom.
Di daerah otonom ini, pemilih masih memiliki peluang besar mengenali calon-calon wakil dan pemimpin mereka dan memastikan bahwa calon-calonnya itu kompeten secara moral, sosial dan politik.
Wakil terpilih bukan sekedar populer, tapi memang diketahui memiliki rekam jejak publik yang meyakinkan. Wakil-wakil rakyat yang kompeten dan amanah di tingkat lokal akan menjamin rekrutmen pemimpin cabang eksekutif yang kompeten dan amanah pula di jenjang yang lebih luas. Ini sekaligus akan mengurangi politik uang yang menjadi pintu masuk bagi pembajakan politik oleh para pemilik modal.
Setiap lembaga legislatif di daerah otonom diawaki oleh wakil partai politik, utusan daerah, dan utusan golongan dengan porsi yang kurang lebih sama. Lembaga legislatif tidak boleh lagi dimonopoli oleh partai politik seperti saat ini sehingga banyak anggota masyarakat yang grossly unrepresented, seperti kelompok minoritas dan masyarakat adat.
Wakil parpol diperoleh melalui Pemilu langsung, sedangkan wakil golongan ditentukan melalui melalui mekanisme internal organisasi golongan-golongan tersebut. Organisasi golongan tersebut harus terakreditasi sebagai indikasi organisasi yang well governed.
Utusan daerah diwakili oleh pemimpin adat, dan kesultanan, serta daerah-daerah yang memerlukan perhatian khusus seperti pulau-pulau terluar di perbatasan. Harus dipastikan bahwa lembaga legislatif sepenuhnya mewakili aspirasi semua kelompok masyarakat. None is left behind unrepresented.
Pejabat-pejabat cabang eksekutif itu dipilih oleh lembaga legislatif melalui mekanisme musyawarah bil hikmah. Pejabat terpilih adalah mandataris yang bertanggung jawab pada lembaga legislatif tersebut. Pejabat-pejabat publik di cabang eksekutif maupun legislatif diangkat hanya untuk satu periode masa jabatan.
Jadi, Walikota dan Bupati dipilih oleh anggota DPRD Kota/Kabupaten, sedang Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi. Presiden dipilih oleh MPR dan diangkat sebagai mandataris MPR RI untuk menjalankan GBHN yang ditetapkan oleh MPR. MPR dikembalikan posisi dan perannya sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
Pembatasan masa jabatan hanya satu periode ini penting karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, prinsip bahwa jabatan itu amanah yang tidak layak dikejar-kejar, tetapi sebuah tugas yang diberikan publik untuk segera diselesaikan dengan penuh tanggungjawab.
Meninggalkan jabatan yang belum selesai untuk meraih jabatan lain yang lebih luas kewenangannya adalah sikap tidak terpuji. Memperpanjang masa jabatan bertentangan dengan prinsip amanah.
Kedua, semakin lama menjabat jabatan yang penting dengan kekuasaan besar berpotensi melakukan korupsi. Sebagaimana adagium Lord Acton ini: power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Ketiga, melahirkan kepemimpinan yang segar, sehingga terjadi regenerasi kepemimpinan yang sehat.
Keempat, dengan membatasi masa jabatan hanya 1 periode saja, pejabat tersebut akan segera fokus pada hari pertama dilantik hingga hari terakhir masa jabatannya. Membuka peluang petahana atau incumbent telah terbukti membawa perilaku kepemimpinan yang buruk.
Hiruk-pikuk pencapresan sekarang ini oleh berbagai pihak dan lembaga survei tidak produktif dan menyesatkan karena mengubur masalah mendasar yang bersembunyi di balik hingar-bingarnya.
Jika kedaulatan rakyat tidak lagi bisa diserahkan pada MPR sebagai lembaga tertinggi negara pada saat mekanisme check and balances buntu di semua lini, dan prinsip-prinsip keterwakilan yang bermusyawarah dengan dipandu oleh hikmah kebijaksanaan terus ditelantarkan, maka Pemilu apapun yang akan dilakukan akan semakin memilukan publik walaupun sering dibungkus sebagai pesta demokrasi. Pesta mbelgedhes!
Gunung Anyar, 21 Juni 2022. (*)