Politics of Hope

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan

Hari ini adalah hari ke-9 aku di hotel Karantina. Tadi pagi, jam 8 aku melakukan test Covid-19 sendiri dengan alat tets Bio Synex. Aku tidak tahu apakah alat test cepat seperti ini di jual bebas di apotik kita, tapi di Belanda di jual bebas. Hasil test antigenku negatif. Jam 8.30 tadi aku test PCR, resmi hotel/Kemenkes. Katanya selesai jam 10 malam. Kenapa tidak secepat di bandara SH, cuma 1,5 jam? Mereka jawabannya klise. Lalu apakah aku boleh pulang jam 10 malam lewat sedikit, setelah hasil tes, misalnya, negatif. Belum, katanya, nunggu besok. Apa kepentingan saya di Karantina sampai besok, jika hasilnya sudah selesai malam ini?, tanyaku. Aturannya begitu pak, katanya. Mantap lah, kataku.

Saya hari ini akan berdiskusi soal "Politics of Hope" atau politik dengan harapan. Tulisan ini terinspirasi film dokumenter Obama di HBO yang tadi malam aku tonton. Ini sekaligus penutup tulisan saya edisi Karantina Hotel. Tulisanku ketika di penjara lalu, insya Allah terbit sebagai buku 200 an halaman, minggu ketiga bulan ini. Editornya M. Subarkah, wartawan senior, sedang menuntaskan editing sambil menunggu kata pengantar dari beberapa teman.

Dalam film dokumenter itu, ada dua hal yang penting. Pertama, kenapa Senator John Kerry, yang juga keluarga konglomerat Amerika, mendukung Obama sejak  tahun 2004 untuk tampil sebagai tokoh nasional dan tahun 2008 sebagai Capres? Kedua, apa yang memukau dari pikiran Obama pada tahun 2004 dan akhirnya bahan dia di tahun 2008 nyapres?

Untuk pertanyaan pertama terlalu singkat penjelasannya pada film itu. Kita perlu mencari berbagai referensi. Namun, yang perlu menjadi perhatian kita adalah adanya kesamaan pandangan tentang masa depan bangsa mereka saat itu. Baik dari John Kerry seorang politikus keluarga konglomerat maupun Obama, politisi kulit hitam yang menggali masa depan dari bawah.

Pada masa pemerintahan Goerge Bush, setelah peristiwa pemboman WTC, berbagai sentimen rasis dan anti Arab/Islam dijalankan oleh pemerintah Bush. Bush menyebutkan Holy War melawan kekuatan "teroris" Islam. Seluruh dunia diinteli Amerika dan berbagai negara Arab di hancurkan, antara lain Irak dan Libya. Juga memata-matai orang-orang Islam, Arab dan lainnya di dalam negeri. Akhirnya terjadi pembelahan sosial yang dalam di Amerika.

Obama sejak awal menunjukkan anti kebijakan Bush, baik di Iraq maupun di dalam negeri. Di dalam negeri Obama mengecam biaya kesehatan masyarakat yang tinggi serta pajak terhadap buruh outsourcing yang tinggi. Kerry awalnya mendukung serangan Bush ke Iraq. Tapi mungkin berubah, khususnya ketika bangsa Amerika menjadi terbelah. Kerry, ketika maju dalam konvensi nasional Partai Demokrat, sebagai Calon Presiden Amerika, di Illinois, Juli 2004, memberikan kesempatan pada Obama sebagai Key Note Speaker. Obama dalam bukunya "Audacity of Hope" masih belum tahu kenapa Kerry memilih dia. Ini adalah kesempatan Obama menunjukkan pikirannya, kemana Amerika mau dibawa?

Amerika menurut Obama adalah tempat satu-satunya di dunia orang seperti dia bisa mempunyai harapan kesempatan hidup dengan cita-cita yang maksimal, bersekolah, mendapatkan fasilitas rumah sakit, mejadi politisi tanpa politik uang, dan lain sebagainya, termasuk ketika ibunya memberikan nama Barack, yang asing bagi Amerika. Hal ini merupakan kebanggaan bangsa mereka yang dilukiskan pendiri bangsanya dengan satu kalimat "bahwa semua manusia dilahirkan  setara". Namun, harapan itu menurut Obama mengahadapi "hard reality", sebuah tantangan. Amerika secara objektif menghadapi bagaimana menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja yang baik. Orang-orang bekerja berkompetisi untuk sekedar hidup dan kesulitan membayar biaya kesehatan.

 Rezim Bush juga membuat masalah, dengan agenda memata-matai masyarakat, yang membuat masyarakat terbelah. Orang-orang yang pulang perang, pulang dengan kesulitan hidup, bahkan kesulitan akses kesehatan. Diakhir pidatonya, Obama mengatakan, politik ke depan tinggal memilih, apakah melanjutkan politik pecah belah atau politik harapan? Politik harapan adalah sebagaimana konstitusi mereka mengatakan "All Men Are Created Equal".

Film dokumenter ini sebenarnya sangat relevan dengan situasi Indonesia saat ini. Setiap menjelang pemilihan calon presiden ataupun kepala daerah, tidak ada suatu pemimpin yang mampu memberikan pidato utuh tentang apa yang mau diperjuangkan. Kebanyakan hanya retorika. Janji palsu. Yang tidak pernah membandingkan antara harapan dan realitas. 

Orang-orang kaya konglomerat di sini lebih pantas dilukiskan seperti yang Jeffry Winters dan Thomas Piketty lukiskan, oligarki rakus, yang tidak peduli bangsa ini mau jadi apa. Tidak ada orang seperti John Kerry, politisi yang lahir dari keluarga konglomerat, namun menjadikan hidupnya untuk kepentingan rakyat banyak.

Cita-cita pendiri bangsa kita adalah kesempatan bagi semua anak bangsa maju. Kaum buruh harus bekerja dengan kesejahteraan yang cukup. Kaum tani dijaga agar luas tanahnya tetap besar dan mendapatkan alokasi pupuk yang cukup. Kaum miskin kota harus mendapatkan peluang rumah tinggal. Dan lain sebagainya. Namun, yang ada semua menjauh dari harapan. Yang kaya semakin kaya, bahkan ketika pandemi Covid 19, kekayaan orang kaya bertambah dan kekayaan pejabat juga bertambah.

Politics of Hope adalah catatan relevan yang diinspirasikan film dokumenter Obama itu. Ini adalah agenda kita ke depan. Kita berharap rakyat tetap berjuang untuk menuntut adanya politik harapan. Politisi kembali tegak di atas keringat rakyat. Pemerintah bersungguh sungguh mencintai rakyat. Juga kita berharap konglomerat yang lahir hanya dari 30 tahun menempel rezim Suharto, berusaha mengubah mindset untuk mendukung cita-cita keadilan sosial. (*)

 

492

Related Post