Politik Identitas, Dicerca dan Dipuja
Para pihak yang selama ini membenci politik identitas, kini justru mengekornya. Yang pria pakai peci, yang perempuan pakai tutup kepala. Tak peduli apa agamanya.
Oleh Octaviani Prisetyo | Jurnalis Yunior FNN
TIDAK dapat dipungkiri bahwa politik identitas memegang andil tersendiri di Indonesia. Keberagaman etnis, suku, agama, kepercayaan, serta budaya semuanya kental dengan politik identitas dalam memenuhi tujuan yang sama. Politik identitas seringkali dijadikan sebagai alat atau media untuk menyuarakan aspirasi dalam upaya mendapat dukungan kelompok tertentu, misalnya oleh kaum minoritas. Makna politik identitas ini seharusnya tidak mengalami misinterpretasi atau bahkan disalahgunakan oleh para politikus, terutama yang tujuannya demi mendapat perhatian golongan tertentu sehingga berorientasi kepada kepentingan pribadinya.
Berbagai persoalan mulai dari politik hingga ekonomi terjadi di negeri ini, antara lain mengenai tarik ulur rencana kenaikan BBM, mahalnya harga kebutuhan pokok, persiapan pemilihan umum (pemilu) 2024, dan masih banyak permasalahan lainnya. Pada pidato kenegaraan HUT Ke-77 Republik Indonesia, Presiden sempat menyinggung politik identitas dan meminta agar tidak terjadi lagi di pemilu yang akan datang. Politik identitas marak terjadi saat pergelaran pemilu, salah satu contohnya terjadi di tahun 2019, yang mana menghasilkan kubu-kubu politik antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo.
Salah satu istilah kubu politik yang ada sejak pemilihan presiden (Pilpres) 2019 adalah 'Cebong' atau istilah bagi pendukung Presiden Joko Widodo "garis keras". Dalam pantauan melalui media sosial, kelompok ini seringkali mengutarakan kritik dan komentar mereka mengenai kebijakan pemerintah maupun kelompok kubu politik lainnya. Beberapa di antara mereka mengkritik kegiatan keagamaan (sebagai politisasi identitas) yang digelar dalam rangka mendoakan pejabat negara yang akan maju menjadi calon presiden pada Pemilu 2024. Walaupun terkadang, orang yang berkomentar secara tidak sadar juga teridentifikasi melakukan politik identitas yang menjadikannya munafik dalam berpolitik.
Kemudian di lain persoalan, tak jarang pula kita menemukan pejabat negara non-muslim yang rela mengenakan kopiah sebagai dalih untuk mendapat perhatian dan dukungan dari sejumlah golongan terkait. Banyak oknum pejabat negara yang mengaku bahwa dirinya merupakan bagian dari partai yang 'netral' dan tidak ingin terjebak dalam polarisasi, namun pada kenyataannya masih berpihak dan mendukung pejabat lain yang dikenal sebagai salah satu pelaku politik identitas.
Persoalan di Indonesia saat ini tidak terlepas dari kepentingan politik yang dipimpin oleh elite politik untuk mempertahankan kekuasaan dengan memanipulasi politik identitas. Hal ini menyebabkan masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah sehingga memunculkan permasalahan baru di dalamnya. Pemilu yang seringkali mencampuradukkan persoalan agama dengan persoalan negara sehingga berujung pada diskriminasi agama memunculkan pertentangan politik identitas.
Menurut pengamat Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, diperlukan adanya komitmen dari elite politik untuk meredam eksistensi dan perkembangan politik identitas. Salah satu fokus utamanya, yaitu dari pelaku yang akan berkompetisi dalam pemilu. Meskipun begitu, dirinya tidak membantah bahwa politik identitas akan selalu ada dalam pemilu dikarenakan kemajemukan etnis suku dan agama yang dimiliki Indonesia. Politik identitas telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia karena bagaimanapun, agama tidak bisa dipisahkan dari persoalan kenegaraan.
Berdasarkan segi historis, sejarah kemerdekaan Indonesia telah membuktikan bahwa agama (dalam konteks ini Islam) telah memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk bangsa Indonesia, salah satunya disepakatinya Pancasila sebagai landasan negara. Tercapainya kemerdekaan Indonesia juga tidak lepas dari usaha para pemuda yang memperjuangkan persatuan bangsa, di antaranya diserukan oleh Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Betawi, dan lain sebagainya. Semua itu masih berkaitan dengan politisasi identitas yang ditunjukkan melalui keagamaan dan solidaritas antarpemuda dari setiap daerah. Artinya, politik identitas memiliki nilai sejarah penting dalam proses kemerdekaan Indonesia dan digunakan sebagai wahana pemersatu bangsa.
Penyebaran informasi yang semakin cepat di era digital seperti saat ini mesti dibarengi dengan masyarakat yang bijak dalam mengkritisi informasi yang diterima. Kemajuan teknologi yang tidak diseimbangkan dengan kedewasaan masyarakat dalam menggunakan media dapat mengubah perspektif seseorang terhadap suatu hal. Kegagalan pemerintah dalam menjaga kredibilitas pemerintahan, ditambah dengan adanya keinginan mempertahankan kekuasaan menjadikan politik identitas dimanfaatkan untuk memperoleh suara rakyat. Penggiringan dan pembentukan opini publik melalui media massa maupun media sosial dapat berpotensi memecah belah persatuan bangsa.
Sebagai makhluk intelektual, kita dapat menyikapi politik identitas dengan memberikan ruang yang seluas-luasnya pada publik agar dapat membuktikan bahwa agama dan nasionalisme dapat sejalan dengan tujuan menjaga kedaulatan negara Indonesia. Pertentangan yang muncul tidak seharusnya dibiarkan meluas, apalagi hingga menghadirkan kebijakan yang mengandung propaganda. Merebaknya politik identitas merupakan salah satu tantangan serta ancaman bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, peranan masyarakat sekaligus pemerintah untuk tetap berpegang pada prinsip demokrasi dan melakukan pencegahan terhadap politik yang berpotensi menyebarkan SARA. (*)