PPHN: Urgensi Roadmap Pembangunan Bangsa
Terhadap kemungkinan tersebut, barangkali mengedepan dua pertanyaan besar. Pertama, bukankah kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara akan mengembalikan bangsa ini ke era pra reformasi?
Oleh: Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR/Anggota DPD RI
MESKI dicekik anggaran, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kukuh meniup peluit tanda dimulainya tahapan Pemilu. Sebentar lagi, panggung politik nasional bertabur janji manis calon presiden. Janji yang sebagian (besar) tidak pernah terealisasi dan menjadi kontroversi yang menguras energi bangsa sepanjang masa jabatan.
Bagaimana kita mengevaluasi janji-janji politik presiden terpilih? Bagaimana memberikan sanksi? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan di tengah ancaman krisis legitimasi masyarakat terhadap lembaga legislatif sebagai pihak paling relevan.
Memang, tidak ada mekanisme hukum yang mengatur soal janji presiden. Namun, UU memberi kuasa kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memanggil, mempertanyakan, dan bahkan untuk menjatuhkan sanksi atas kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas.
Sayangnya, kita paham bahwa catur politik tersebut seringkali mengubur kemungkinan itu.
Fakta tambungnya koalisi partai pendukung pemerintahan menjadi salah satu pemantik. Koalisi super gemuk ini telah menyulap kedudukan sang presiden menjadi super kuat dan cenderung otoriter.
Kecendrungan ini makin dipertegas oleh melemahnya kontrol DPR berikut tumpulnya kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Efek sampingnya, oligarki menguat, politik dinasti menggeliat, KKN menjadi-jadi.
Negara seperti berjalan menurut kemauan presiden. Ingin kereta cepat, oke; mau bangun bandara, silahkan; ingin pindah Ibukota Negara, ya monggo. Duit kurang? Tambal dengan hutang! Pendek kata, segala hal yang dimaui tersebut berpeluang dikondisikan, meski rakyat teriak di sana-sini.
Persoalannya, bagaimana bila pembangunan infrastruktur tersebut terindikasi tidak tepat sasaran atau merugikan negara? Proyek Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung, misalnya. Atau, fonomena maraknya bandara yang sepi bak sebuah kuburan, seperti Bandara Kertajati di Majalengka, Bandara JB Soedirman di Purbalingga, Bandara Ngloram di Blora, atau Bandara Wiriadinata yang ada di Tasikmalaya.
Siapa yang bertanggung jawab atas semua itu dan bagaimana kita menagih tanggung jawabnya di tengah hegemoni politik koalisi partai pendukung pemerintah? Tak hanya pembangunan infrastruktur, pemaksaan implementasi kebijakan yang nyata-nyata memunggungi kehendak rakyat juga terjadi.
Tengoklah pengesahan UU Cipta Kerja berkonsep Omnibus Law itu. Rakyat telah menyatakan penolakannya dengan tumpah ruah ke jalan. Begitu banyak gesekan yang telah terjadi. Namun, UU itu tetap disahkan dan pada akhirnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Kisah kecut itu seharusnya mengetuk kesadaran kita untuk memikirkan urgensi roadmap pembangunan bangsa. Dulu, kita memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai panduan bersama mengelola pembangunan negeri. Tapi reformasi menyepakati program itu ditiadakan.
Sebagai respon atas ketiadaan GBHN, dibuatlah UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Namun, dalam perjalanannya kemudian, kedua UU ini terbukti tidak menjadi solusi.
Itu pula salah satu dari pertimbangan lahirnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Sayangnya, wacana PPHN bergulir ke publik bertepatan dengan isu presiden tiga periode. Masyarakat resah dan khawatir, misi politik dangkal tiga periode menjadi penumpang gelap bila kotak pandora bernama amandemen UUD 1945 dibuka.
Tentu saja, kita memaklumi keresahan dari masyarakat. Oleh karena itu, Badan Pengkajian MPR mengusulkan PPHN dihadirkan melalui konvensi ketatanegaraan.
Terobosan ini diajukan untuk menghindari mekanisme amandemen, dengan berpijak pada Pasal 100 ayat (2) Tata Tertib MPR, bahwa ketetapan MPR dapat dilakukan melalui konvensi ketatanegaraan yang bisa mengikat ke dalam, ke luar, maupun mekanisme lain yang sejalan dengan konstitusi kita. Badan Pengkajian MPR telah menyampaikan beberapa alternatif dan telah diterima dan diapresiasi oleh pimpinan MPR yang diketuai Bambang Soesatyo melalui rapat gabungan Fraksi dan Kelompok.
Substansi yang ingin dicapai melalui PPHN adalah agar pembangunan terarah secara jelas dan selaras dengan tujuan nasional kita. Juga agar program pembangunan yang berorientasi jangka pendek dapat dieliminir, sehingga semua program pembangunan memijak konstitusi.
Memang, konsekuensi logis dari lahirnya PPHN adalah keharusan adanya lembaga yang mengevaluasi implementasi PPHN. Merujuk pada masa lalu, pertanggungjawaban presiden adalah kepada MPR. Konsep ini tentu secara otomatis merestorasi kedudukan MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
Terhadap kemungkinan tersebut, barangkali mengedepan dua pertanyaan besar. Pertama, bukankah kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara akan mengembalikan bangsa ini ke era pra reformasi?
Kedua, bila koalisi partai pendukung pemerintah yang begitu tambung itu dipandang memunculkan hegemoni politik, bukankah MPR diisi oleh fraksi dari partai yang sama sehingga berpotensi memunculkan kecendrungan yang juga sama?
Hemat saya, tidak ada salahnya kita belajar atas perjalanan sejarah negeri, menyaring untuk kemudian mengambil yang baik dan membuang jauh-jauh yang dipandang buruk. Kita tidak ingin kedudukan presiden lemah. Tapi tentu juga tidak ingin kedudukan presiden yang super kuat dan menjadikannya otoriter.
Dalam konteks itu, PPHN dapat menjadi jalan pertengahan karena lunak ketimbang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang hanya berbasis kepada visi presiden namun lebih fleksibel ketimbang GBHN karena PPHN memberi ruang bagi kreativitas presiden dan wakil presiden dalam menyusun visi, misi, dan program pembangunan.
Terhadap soal kedua, ya, betul bahwa anggota DPR juga merupakan Anggota MPR. Tetapi jangan lupa, MPR juga diisi oleh Anggota DPD. Maka dengan PPHN plus kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, DPD mendapat jalan penguatan dalam proses check and balances kepada eksekutif.
Artinya, sebagai “fraksi” terbesar di MPR, DPD bisa memberikan sentuhan baru dalam dinamika tersebut. Langkah ini sekaligus menumbuhkan harapan untuk sedikit mengobati sistem bikameral kita yang mandul. (*)