Presiden di “Samping” Jalan

Joko Widodo.

Mungkin tidak pernah membaca sepenggal pidato awal Khalifah Umar bin Khatab, saat akan mengemban amanah sebagai Khalifah, sebagai pondasi menjalankan amanah sebagai Presiden.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

SEPENGGAL kalimat Umar bin Khattab setelah ditunjuk sebagai Khalifah kedua: Saudara-saudara! Aku hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah (Abu Bakar) aku enggan memikul tanggung jawab ini. Ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku. Ya Allah aku sangat lemah, maka berikanlah kekuatan. Ya Allah aku ini kikir, jadikanlah aku dermawan bermurah hati.

Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku....... Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku...

Catatan di atas hanya sekilas sebagai kaca benggala: Presiden kita, Joko Widodo, ketika rakyat ingin meluruskan dari kekeliruan kebijakan yang diambil, bahkan hanya sekedar kritik mengingatkan, langsung dipersekusi, tangkap, dan ditahan.

Semua rakyat harus jadi loyalis buta-tuli atas apapun itu benar atau salah.

Presiden selalu mengucapkan bahwa dirinya taat pada konstitusi, bermacam- macam narasi ingin bersama rakyat untuk rakyat.

Pada saat bersamaan banyak UU titipan oligargi bermunculan, bukan hanya mengabaikan suara rakyat, berujung pada banyak masalah menjadi liar tak bisa diselesaikan, ujungnya hanya membuat susah dan penderitaan rakyat.

Keinginan memperpanjang masa jabatan dan atau masa jabatan tiga periode, sudah dicegat rakyat masih saja bermanuver. Telah diingatkan bahaya hutang untuk membangun infrastruktur diabaikan sehingga sinyalnya akan berahir berantakan. Carut marut dalam tata kelola negara terus ditutup dengan tebar pesona dan pencitraan.

Kesan Presiden tidak amanah, plin-plan, ambisi pada kekuasaan melekat pada dirinya selalu tidak konsisten. Celakanya kesan sebagai Presiden boneka oleh masyarakat sudah tidak mungkin bisa dihapus lagi dari benak pikiran rakyat.

Ekonomi berantakan, hutang menggunung, korupsi merambah di semua level dari pusat sampai desa telah menjadi perilaku buruk dan budaya hitam pekat. Wajar gempuran dari para ahli dalam berbagai bidang keahlian dan politisi yang terus menerpa dirinya. Semakin banyak ruang tembak tertuju padanya, sementara makin banyak rakyat yang kecewa.

Serangan dari masyarakat muncul tanpa henti membuat keki Jokowi di mata masyarakat. Setiap kebijakan selalu berakhir mengundang pro kontra akibat kebijakan yang mangrotingal tidak jelas ujung sasarannya.

Di atas penderitaan rakyat, para pejabat negara hidup berpesta pora asyik dengan jalan hidupnya sendiri-sendiri yang hedonis dan terus memperkaya diri.

Koalisi gemuk andalannya sebagai pelindung dan pengaman kebijakannya itu ambyar. Mereka keluar bermain catur mengatur di balik layar kekacauan yang makin merambah kemana-mana.

Semua pembantu para menterinya bebas dengan orkestrasi sesuai selera, hobi dan kepentingan dengan targetnya masing masing hampir semua sudah lepas dari kendali dan kontrol Presiden.

Para pimpinan partai dan petinggi pengendali partai sedang bersolek, untuk mendandani diri agar terlihat menarik di mata rakyat. Suara kartun berbalik arah banyak politisi bersolek dengan kebesaran simbol simbol agama.

Jokowi, terjebak dalam dilema, ia berada di persimpangan jalan. Maju kena mundur kena – masalah rumit datang silih berganti, Jokowi akan semakin tantrum dan bingung, galau, bingung dan resah. Menjadi sasaran tembak, lurus mengarah pada jantung dan pikirannya.

Seperti tengah berdiri di perapian, bara api yang menyala-nyala. Salah langkah akan terbakar, salah menentukan kebijakan akan “habis” di mata netizen.

Politik hanya berhitung saat menguntungkan akan merapat dan akan segera Presiden saat merasa sudah tidak berguna, bahkan dalam hitungan politik akan merugikan.

Tidak ada teman yang abadi mendampingi, yang ada adalah kepentinganlah yang abadi. Orang benar dan tuluspun akan masuk dalam arus penurunan kepercayaan.

Sekarang ini adalah hari hari yang melelahkan bagi Jokowi, tidak mudah merangkul masyarakat yang sudah terluka. Apapun kebijakannya akan mendapat penolakan dan perlawanan rakyat. Menyerah dan meletakkan jabatan saat ini atau nanti sama saja akan berakhir dengan nestapa.

Mungkin tidak pernah membaca sepenggal pidato awal Khalifah Umar bin Khatab, saat akan mengemban amanah sebagai Khalifah, sebagai pondasi menjalankan amanah sebagai Presiden.

Semua akan berakhir. Jika melihat kantung mata Jokowi, dan tidak semakin gemuk tubuhnya, ia tengah berada dalam situasi dilema, seperti makan buah simalakama, serba tidak nyaman, penuh resiko. (*)

487

Related Post