Presiden Jokowi Dalam Jebakan Maut
Riak-riak terdengar bahwa misi Presiden Jokowi adalah misi guna membujuk. Apalagi menghentikan perang Moskow dan Ukraina tersebut ibarat “pungguk merindukan bulan” (soos die agterkant van die maan ontbreek).
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
DALAM pertemuan G7 di Jerman, ada pemandangan menarik yang bisa diulas dan menjadi tebakan politik, itu biasa dalam alam jurnalistik kontemporer.
Ada foto yang kemarin sempat viral, kelihatan Presiden Joko Widodo seolah-olah menyandarkan kepalanya di bahunya Presiden AS Joe Biden. Dan foto lainnya ketika Jokowi sedang bercakap dengan Presiden Ukraina Volodymyr Oleksandrovych Zelenskyy.
Karena tidak ada info resmi, maka banyak netizen was-was apa yang sedang mereka bicarakan. Semua mengetahui Jokowi memiliki kelemahan mendasar lemahnya penguasaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional.
Prof. Dr. Soffian Effendi, BA, MA, MPIA, PhD: “yang penting ada foto, aku komunikasi pake boso sukmu, alias bathin”. (dalam candaan politik di Grup WA Konstitusi).
Di samping kendala berkomunikasi juga Presiden datang ke Ukraina dan Moskow, menjadi teka-teki misi apa yang akan dilakukan, karena Indonesia adalah negara yang lemah, baik militer maupun ekonominya.
Profil dan potensi Jokowi sangat lemah dalam kemampuan berdiplomasi di kancah internasional. Jangankan diplomasi internasional, diplomasi dalam negeri saja sangatlah lemah, selain tebar pesona saja.
Terdengar isu lagi bahwa Presiden Jokowi punya tema untuk menghentikan ketegangan perang antara Ukraina dan Moskow, itu nggak mungkin karena orang anggap bahwa anak kecil kok ngatur-ngatur orang dewasa atau negara yang lemah akan ngatur negara adidaya, isue itu langsung terpental oleh akal sehat.
Gambar terlihat dalam foto tadi, dirangkul oleh Biden, mungkin Joe Biden sedang mangatakan “sudahlah, nggak usah sok jadi pendamai, kita memang mau perang kok, seraya mengatakan dengan berbisik – Saya dulu sudah bilang lo, mereka yang memihak pada China dan Moskow itu artinya melawan kami, kami harus paham ucapan saya, kami harus paham”.
Sangat terlihat ketika Jokowi ketemu Joe Biden. Presiden AS memperlakukan Presiden Jokowi seperti anak kecil. Kata Rocky: “Joe Biden mengerti sebagai orang yang sudah senior sekali, dia tahu psikologi presiden Indonesia. Jadi, istilah Indonesia dia dirangkul, sudah tenang saja, manuto ojo rewel (nurutlah jangan usil)”.
(Dalam analisa imajinasi Rocky) Joe Biden sedang mengatakan: “Kamu saat ini dalam pengaruh dan kendali China. Tidak mau ikut juga tidak apa-apa – Pak Jokowi kalau tidak mau ikut dengan proksi Amerika juga nggak apa-apa. Sudahlah selesaikan dulu masalah dalam negeri Anda, nggak usah terlalu sibuk untuk menyelesaikan soal Eropa”.
Ini tafsir yang biasa dalam jurnalisme karena tidak ada point informasi resmi apa-apa yang mereka bicarakan.
Tebakan politik lain bahwa Joe Biden menganggap tidak ada yang serius dengan Presiden Indonesia. Maka Biden hanya bercanda saja dengan Pak Jokowi. Karena Pak Jokowi juga pasang wajah yang sama tanpa kita tahu apa sebetulnya isi komunikasinya. Mungkin memang nggak ada komunikasi dan tidak ada yang penting.
Presiden Jokowi sebenarnya dalam permainan dan jebakan para penasihat politiknya dan skenario yang menjerumuskan, karena memang Jokowi dengan kapasitasnya sangat mudah untuk dijerumuskan.
Meminjam teori Graham Allison dengan tiga teori pendekatan dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri: Model Aktor Rasional, Model Proses Organisasi dan model Model Politik Demokratik. Misi yang dilakukan Jokowi jauh dari standar tersebut.
Juga terperangkap dengan teori Thucydides Trap, Prof. Bilveer menegaskan peran China sebagai kekuatan super power baru yang akan menggoyang keberadaan Amerika Serikat sebagai negara Super Power. Fakta, Jokowi dalam genggaman dan kendali China gara-gara utang untuk infrastruktur dan utang lainnya.
Jokowi sadar atau tidak ada di posisi pilihan akan berpihak ke China atau Amerika, watak dua muka tidak mungkin bisa dilakukan. Bagi Amerika garisnya sangat jelas, mau berhenti main-main dengan China atau kita anggap sebagai musuh.
Jadi, jebakan Tucisides ini akan berlaku pada Indonesia sebetulnya, karena Amerika cemas, Indonesia masih di dalam proksi Cina.
Pada saat yang sama dihadapkan pada pilihan ketika ketemu Putin pasti akan diberi pilihan, disuruh memilih, mau pilih blok Amerika atau blok Rusia, dalam teori politik realis to be or not to be, tidak ada lagi alternatif pilihan lain.
Posisi Presiden Jokowi dan Indonesia yang masih lemah secara militer dan ekonomi datang ke Eropa, Ukraina, dan Moskow, jelas merupakan jebakan maut.
Riak-riak terdengar bahwa misi Presiden Jokowi adalah misi guna membujuk. Apalagi menghentikan perang Moskow dan Ukraina tersebut ibarat “pungguk merindukan bulan” (soos die agterkant van die maan ontbreek).
Semoga Presiden Jokowi kembali dengan selamat, tidak perlu lagi melakukan hal-hal yang di luar jangkauan dan kemampuannya. Bisa kembali lagi menata Indonesia yang sedang mengalami banyak masalah dan bisa saja mengancam posisinya.
Indonesia itu rentan terbelah, dan riil sedang mengalami kesulitan. Indonesia untuk masuk di dalam percaturan politik global masih sangat lemah.
Kondisi politik dan ekonomi di Indonesia sangat rentan diintervensi asing. Itu sangat rentan. Kelemahan demokrasi kita hari ini bermasalah menyebabkan politik bisa berubah. Multi problem termasuk carut-marut ekonomi dengan macam-macam masalah di dalam negeri, harus diatasi. (*)