“Presidential Threshold” 20 Persen Melanggar Kedaulatan Rakyat
Oleh sebab itu partai politik juga ingin menghabisi politik identitas. Padahal adanya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika itu karena bangsa ini berdiri di atas identitas bermacam-macam suku, agama, dan adat istiadat.
Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
DEMOKRASI yang sedang dijalankan di negeri ini adalah demokrasi liberal, juga bukan demokrasi yang benar. Sebab demokrasi dioplos dengan amplop, sembako, intimidasi, serangan fajar, kaos, dan secara masif blantik-blantik demokrasi liberal terus melakukan rekayasa mulai dari mendatangkan konsultan politik diramu dengan jajak pendapat.
Dan yang lebih canggih menggunakan media darling, dan kecurangan bagian dari strategi merampok kedaulatan rakyat dengan buzer yang siap mengadu domba, fitnah, segala kebencian pecah-belah terhadap rakyat, racun ini terus ditebar buzer terhadap rakyat.
Di rana aturan agar hanya mereka yang bisa mencalonkan sebagai calon Presiden maka dibuat aturan ambang batas. Padahal, dalam perundangan tidak ada yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.
“Undang-Undang Dasar pasal 6 A ayat 2 hanya mengatakan presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik,” demikian isinya.
Sudah sangat jelas tidak perlu tafsir lagi, sebab pasal itu sudah sangat jelas tidak ada perintah ambang batas 20 %. Kalau ada ambang batas 20 % akan bunyi di pasal ini.
Pokok Pikiran III di dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan, bahwa negara berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasarkan kedaulatan dan berdasar pemusyawarakatan perwakilam.
Di sini secara jelas tampak bahwa pokok pikiran ini identik dengan Sila ke-4 dari Pancasila.
Pasal 28 C ayat 2: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”
Pasal 28 ayat d: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Jika kita mengkaji pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi, maka hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan juga tidak boleh dibatasi dengan barier yang berupa ambang batas 20%.
Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 dalam pengkaderan kepemimpinan nasional telah dimonopoli oleh partai politik. Tidak ada lagi pemimpin dari golongan-golongan. Jadi, semua rakyat Indonesia dalam memilih pemimpin semua hanya milik partai politik.
Padahal proses kepemimpinan itu juga ada golongangolongan masyarakat.
Golongan fungsional misal Dokter dengan IDI, Insinyur dengan PII, atau dalam keagamaan Muhammadyah, Nahdatul Ulama, adalah tempat pembentukan calon-calon pemimpin dan negarawan, bukan hanya partai politik.
Jadi, kesalahan Amandemen UUD 1945 adalah menjadikan negara ini hanya milik satu golongan yaitu golongan partai politik.
Sejak digantinya UUD 1945 dengan UUD 2002 kedaulatan rakyat itu sejatinya telah dirampok dan diganti oleh partai politik.
Calon Presiden dan calon wakil rakyat tergantung Ketua Partai politik, ketua partailah yang menentukan calon presiden bukan rakyat.
Rakyat hanya memilih yang telah dipilih oleh ketua partai.
Ambang batas yang ada dalam UU pemilu jelas bertentangan dengan UUD 1945, dan memasung rakyat untuk menentukan calon pilihannya. Rakyat hanya bisa memilih pilihan ketua partai politik.
Oleh sebab itu partai politik juga ingin menghabisi politik identitas. Padahal adanya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika itu karena bangsa ini berdiri di atas identitas bermacam-macam suku, agama, dan adat istiadat.
Sekarang kok menafikan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dan menjadikan negara hanya satu golongan-golongan kepartaian.
Jadi, UUD 2002 ternyata bukan hanya menambah dan mengurangi pasal tetapi aliran pemikiran ke-Indonesia-an, Pancasila dan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika telah diganti. (*)