Presidential Threshold Dinilai Memunggungi UUD 45
Jakarta, FNN - Konsep presidential threshold mereduksi kedaulatan rakyat dan memunggungi UUD. Ambang batas kursi di DPR atau raihan suara partai politik untuk mencalonkan presiden, dinilai justru telah membatasi praktik demokrasi konstitusional di Indonesia. Presidential Threshold menyebabkan rakyat tidak dapat menyalurkan hak konstitusionalnya untuk memilih dan dipilih secara lebih demokratis seperti tertuang di Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945.
Sorotan terhadap presidential threshold itu merupakan kesimpulan dari Seminar Nasional dan Call For Papers kerja sama Badan Pengkajian MPR RI dengan Laboratorium Hukum Tata Negara Universitas Surabaya, dan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia di Surabaya (12/12). Kegiatan bertajuk “Aktualisasi UUD NRI Tahun 1945 dalam Sistem Penyelenggaraan Negara: 23 Tahun Reformasi,” ini dibagi dalam empat panel. Belasan pakar berpartisipasi. Antara lain, ahli hukum tata negara Prof Zainal Arifin, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, serta Ketua MASIKA ICMI dan Sekjen Asosiasi Perguruan Tinggi Hukum Ismail Rumadhan.
Dalam sambutannya, Pimpinan Badan Pengkajian MPR, Tamsil Linrung menyatakan bahwa pandangan pakar hukum tata negara sangat dibutuhkan dalam proses penyempurnaan konstitusi. Baik secara konseptual, maupun koreksi di tingkat implementasi. “MPR RI sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan tertinggi membentuk UUD, terus melakukan pengkajian sistem ketatanegaraan dengan prinsip keterbukaan. MPR membuka ruang partisipasi seluas-luasnya dari masyarakat dan terutama para ahli,” imbuh Senator Dewan Perwakilan Daerah ini.
Dari kajian yang cermat dan mendalam, ditemukan indikasi bahwa salah satu persoalan kenegaraan yang terjadi saat ini disebabkan oleh implementasi UUD yang tidak konsisten. Menerjemahkan ke dalam peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Menyikapi hal itu, MPR dapat merekomendasikan untuk penyempurnaan Undang-Undang, atau bahkan amandemen UUD agar tidak menimbulkan tafsir beragam seperti presidential threshold yang dinilai tidak sejalan dengan Pasal 1 Ayat 2 UUD NRI 1945.
Menurut Tamsil, salah satu hal yang saat ini menjadi sorotan dan koreksi masyarakat dan terutama para pakar, adalah presidential threshold. Hal itu lantaran mekanisme tersebut terlalu prematur untuk menyaring bakal kandidat yang akan berkontestasi di pemilihan presiden dan wakil presiden. Apalagi hasil Pemilu periode sebelumnya yang jadi acuan. “Seharusnya, Pilpres itulah yang menjadi mekanisme penyaringan. Bukan ditapis sejak awal pendaftaran kandidat sehingga pilihan sangat terbatas. Bahkan menu itu terkesan dipaksakan untuk disajikan kepada pemilih. Skenario tersebut berpotensi memunculkan pasangan calon tunggal melawan kotak kosong. Apalagi bila melihat komposisi politik saat ini.” tegas Tamsil.
Pencalonan presiden dan wakil presiden semestinya dibuka seluas-luasnya untuk putra putri terbaik bangsa. Presidential threshold dinilai menyimpang dari spirit yang diusung oleh sistem demokrasi di Indonesia. Karena itu, MPR proaktif mendalami isu ini dalam rangka penyempurnaan implementasi demokrasi di Indonesia. Tamsil juga mengajak masyarakat untuk bersama-sama melakukan langkah-langkah konstitusional dalam merespons persoalan presidential threshold ini dengan mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Ketua Kelompok DPD di MPR ini melihat MK telah punya keberanian baru dalam membuat terobosan. Pernyataan tersebut berkaca pada keputusan MK yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional. Hal itu merupakan angin segar dalam membenahi konstitusi secara menyeluruh. Termasuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang memuat ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden. (sws)