Profesor Atau Provokator

Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putirh.

Demikian pada penelusuran lain, terlalu banyak seorang Profesor larut sebagai pembenar untuk kekuasaan. Menciptakan teori kesana kemari tak lebih hanya sebagai Provokator.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

PEMBERIAN gelar profesor kepada seseorang di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terlihat dengan jelas pada Pasal 23 pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tersebut.

Syarat-syarat tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 46 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya.

Profesor atau Guru Besar pada dasarnya memiliki definisi sederhana, yakni jabatan akademik tertinggi yang disandang oleh seorang dosen di perguruan tinggi. Meskipun definisinya sederhana dan langsung mudah dipahami, namun maknanya sangat luas dan kompleks. 

Kajian Merah Putih tidak larut pada kajian syarat menjadi profesor tetapi fokus pada reaksi masyarakat banyak penganugerahan gelar Profesor (Honoris Causa) yang terkesan murahan dan diberikan bukan atas kemampuan intelektual, tetapi sangat dekat dengan pengaruh kekuasaan pada penerima gelar tersebut.

Beberapa perguruan tinggi ditengarai dengan aturan yang dibuatnya terbenam pada cara-cara yang mengabaikan syarat yang sangat berat pemberian gelar Profesor dipermudah hanya dengan cara cara by pass dalam pemberian gelar Profesor.

Tak ajal lagi, rakyat memberikan reaksinya bahwa pemberian gelar Profesor dengan sindiran telah terjadi virus dan wabah gelar Profesor Honoris Causa atau Profesor Hororis Causa.

Dampak ikutannya menjadi sangat konyol, padahal menyandang jabatan akademik profesor atau guru besar itu tidak ringan bebannya. Karena berat pertanggungjawabannya secara akademik keilmuwan, dilecehkan hanya karena syahwat keinginan memiliki gelar profesor dengan cara by pass, agar terkesan lebih keren.

Professor Suteki Mengutip Pasal 49 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, berikut adalah sejumlah kewajiban dan wewenang dari seorang guru besar atau profesor:

(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor;

(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat;

(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.

“Menyandang gelar Profesor bukan sekedar gelar, bukan hanya asal keren dan gagah-gagahan. Pada yang bersangkutan memiliki tanggungjawab intelektual dan tanggungjawab moral”.

Ketika situasi anomali di berbagai kebijakan negara dan ketika penguasa legitimasi politiknya semakin rendah, maka tak ada pilihan bagi penguasa selain mengoperasikan kekuasaannya dengan:

1. Manipulasi politik melalui propaganda politik dan agitasi politik untuk maksud pencitraan politik;

2. Mobilisasi politik melalui: 

(a) suap politik (uang, barang, jasa, pangkat, jabatan, dan seks);

(b) koersi politik (pembunuhan karakter dan penghilangan nyawa).

Seorang Profesor harus berdiri tegak di atas kebenaran. Realitasnya tetap saja muncul: “Intelektual sebagai antek penguasa yang mengabaikan, bahkan merasionalisasi, kejahatan negara” (Antonio Gramsci - 1971) dengan lugasnya bohong dalam menyampaikan kebenaran.

Padahal tanggung jawab seorang Profesor pada nalar kebenaran harus tunduk pada logika ilmu, bukan logika kekuasaan. Saat terjadi benturan antara ilmu dan kekuasaan, profesor harus memilih setia pada ilmu dan membersamainya dengan segala konsekuensinya, bukan mengabdi dan mengemis pada kekuasaan.

Profesor tidak boleh takut pada persekusi kekuasaan yang bisa setiap saat merampasnya capaian yang dirintis dengan ilmu selama puluhan tahun. Tetap menjaga dedikasi, berani membela kebenaran dan keadilan meskipun berisiko untuk dikriminalisasikan dan dipersekusi jabatannya. Menjadi garda terdepan kebenaran dan keadilan, walau harus terkoyak dan kehilangan jabatan, demikian tegas tokoh Radikal Prof. Suteki

Pemikiran tentang karakter pemimpin dan penguasa di Indonesia tentu saja bukan asal, tetapi hasil dari penelusuran dan observasi, cukup kuat memiliki karakter hipokritis atau munafik menjadi karakter pertama dari manusia Indonesia.

Dalam ajaran agama Islam, munafik memiliki ciri khusus yaitu jika berkata dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya atau diberi amanat berkhianat. Suka atau tidak suka bahkan diakui atau tidak, karakter ini melekat pada sebagian penguasa di Indonesia.

Sistem feodal di masa lalu menindas orang Indonesia demikian lama, sehingga membelenggu keberanian untuk menyuarakan apa yang dikehendaki sesuai dengan hati nuraninya. Sebab itu, orang Indonesia cenderung bermuka dua, lain di depan lain di belakang, lain di bibir lain di hati, lain bicara lain pula tindakannya, dan lebih mencari aman ‘asal bapak senang’.

Gaya kepemimpinan yang mencela-mencle serta peran kepemimpinannya yang hanya sebagai pemimpin boneka, sangat mudah dilihat pada panggung depan (front stage), dan panggung belakang (back stage), berbeda 180 derajat. 

Cliffort Geertz adalah ahli antropologi asal Amerika (AS). Ia memakai istilah “negara panggung” alias theater state untuk memotret dinamika kekuasaan di Indonesia. “Ya Indonesia sudah berubah menjadi "negara panggung” alias theater state”. Bahwa simbolisme, persepsi, narasi dan drama lebih penting ketimbang realitas.

Karakter kedua, berani berbuat tetapi enggan bertanggung jawab. Pernahkah Anda mendengar “bukan urusan saya”, “jangan tanya saya”, “bukan salah saya”, dan “saya tidak tahu tentang itu”, padahal notabene kalimat tersebut diucapkan oleh penguasa yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

Karakter ketiga: lebih suka dengan memburu gelar, mengabaikan kemampuan dan kecakapan. Lebih membanggakan gelar sekalipun pada tataran realitas kehidupan miskin gagasan dan kemampuan.

Demikian pada penelusuran lain, terlalu banyak seorang Profesor larut sebagai pembenar untuk kekuasaan. Menciptakan teori kesana kemari tak lebih hanya sebagai Provokator.

Pejabat dengan gelar Profesor semestinya sebagai lebih dari yang lain, memancar keinsyafan dirilah yang wajib menjadikan 'wibawa gelar' menjadi bintang pemandu (leitztern) dalam setiap langkah dan tutur.

Menjaga lisan dan betapa dahsyatnya bencana akibat kesalahan lisan. Tidak bertahan dan berdalih hanya didasarkan merasa berkuasa dan kesombongannya dari penguasa yang telah bermetamorfosa sebagai Profesor Provokator.

Tidak sepenuhnya salah kritik masyarakat yang muncul di media sosial saat ini, banyak lahir dan munculnya Profesor Hororis Causa atau Honoris Causa. (*)

471

Related Post