Puan-Ganjar atau Ganjar-Puan
Tentang siapa yang akan ditetapkan Capres dan Cawapres PDIP, harus bisa mempertimbangkan tingkat keaktifan dan tingkat loyalitasnya terhadap partai.
Oleh: Uchok Sky Khadafi, Pengamat Politik Anggaran
ADA kesulitan kecil yang sedang dihadapi PDIP. Yakni menentukan komposisi calonnya, apakah Puan Maharani sebagai Capres dan Ganjar Pranowo sebagai Cawapres. Atau sebaliknya Ganjar yang Capres dan Puan sebagai Cawapres.
Namun, mayoritas tokoh di tingkat pusat menginginkan Puanlah yang harus diposisikan sebagai Capres. Disamping tingkat kelayakan yang lengkap seperti dituturkan di depan, juga karena posisi struktural sekarang, Puanlah yang menjadi penggerak partai.
Sementara Ganjar bisa disebut tokoh agak pinggir di dalam partai, karena intensitasnya rendah di pusat, akibat konsentrasi Ganjar kepada tugas sebagai Gubernur.
Pada sisi yang lain, Ganjar banyak mendapat dukungan dari tokoh PDIP daerah. Mengingat popularitas dan elektabilitas Ganjar menurut hasil survei jauh melampaui Puan.
Kedaulatan Partai
Menghadapi situasi ini, Ketum PDIP Megawati sangat menentukan keputusan akhirnya. Sepanjang yang kita tahu, Ibu Mega masih belum banyak bicara di publik. Jika kita mencoba menduga-duga apa yang sedang disiapkan Bu Mega yang hendak disampaikan dalam pengarahannya kepada para pengurus dan kadernya. Mungkin Bu Mega akan memberikan rambu-rambu tegas sebagai berikut:
Rambu-rambu pertama adalah kedaulatan partai tidak boleh terkalahkan oleh kekuatan oligarki. Maknanya PDIP sebagai partai besar dan satu-satunya yang memenuhi syarat presidential thershold, harus memimpin Indonesia. Dan PDIP tidak boleh lagi mengalami nasib seperti Pilpres-pilpres sebelumnya, di mana sebagai pemenang Pemilu harus merelakan kursi presiden untuk orang lain.
Sikap Bu Mega bisa dimengerti, karena memang perjalanan sejarah PDIP tidak terlalu menggembirakan. Sejak reformasi, PDIP telah tiga kali memenangkan pemilu, yakni 1999, 2014, dan 2019. Tetapi PDIP tidak pernah benar-benar bisa mengusung calonnya menjadi presiden.
Pada awal reformasi, 1999, Ibu Mega gagal menjadi presiden dikalahkan oleh gerakan Amin Rais dengan koalisi Poros Tengah, dan yang menjadi presiden adalah Gus Dur. Kemudian pada pemilu 2014 dan 2019 PDIP harus rela menyerahkan “jatah” kursi presidennya kepada Joko Widodo.
Terutama pada gelaran Pilpres 2014, sejatinya PDIP bisa dikatakan terpaksa mencalonkan Jokowi. Karena hampir semua kader PDIP menginginkan Bu Mega yang menjadi presiden. Tapi bisa jadi karena alasan tekanan oligarki melalui pembentukan opini publik, menjadikan PDIP luluh.
Karena itu, PDIP tidak boleh lagi menyerahkan lehernya kepada para pemilik modal. Mungkin Ibu Mega berpikiran, jika kekuasaan dikendalikan pemilik modal, akan tumbuh membesar dan meninggalkan idealisme dan cita-cita pendiri negeri. PDIP tidak boleh membuat Proklamator menangis di alam baka sana.
Rambu-rambu kedua adalah kader PDIP harus percaya diri untuk tampil berkompetisi dengan niat yang baik, mengemban tugas mulia memimpin bangsa. Kader PDIP harus meneladani Bung Karno, siap berjuang dengan segala upaya sekaligus menanggung resiko yang hendak diterimanya.
Setelah berjuang melawan dan mengalahkan penjajah Belanda, tentu sudah sewajarnya kalau Bung Karno menjadi Proklamator sekaligus bersedia menjadi presiden dan pemimpin revolusi.
Dalam menghadapi Pilpres 2024, harus ada kader PDIP yang siap berjuang memenangkan partai dalam proses Pileg, sekaligus siap maju dengan gagah berani menjadi Calon Presiden. Kelas PDIP adalah Capres, bukan Cawapres.
Bahwa senyatanya PDIP menjadi satu-satunya partai yang berhasil melampaui ketentuan presidential threshold. Berartibisa mencalonkan Presiden sekaligus Wakil Presiden. Karena PDIP memiliki banyak kader yang layak jadi Presiden, maka sedapat mungkin baik Capres maupun Cawapres berasal dari internal PDIP.
Kemudian, karena ada dua nama yang sudah muncul di publik dan layak jual untuk mencalonkan diri dalam Pilpres kelak, maka kedua nama itulah yang hendak kita calonkan sebagai Capres dan Cawapres. Dua nama itu adalah Puan Maharani dan Ganjar Pranowo.
Tentang siapa yang akan ditetapkan Capres dan Cawapres PDIP, harus bisa mempertimbangkan tingkat keaktifan dan tingkat loyalitasnya terhadap partai.
Dengan memperhatikan arahan dari Bu Mega itu, jika hanya memperhatikan kriteria umum berkaitan dengan popularitas, kredibilitas, akseptabilitas, dan kapabilitas, maka Ganjar yang layak dicalonkan presiden.
Sedangkan jika penentuannya ditambah dengan ukuran loyalitas, Ganjar dianggap telah mencederai diri dengan tindakan yang dianggap indisipliner. Maka Puanlah yang layak menjadi Capres.
Bagaimana dengan Ganjar? Mudah-mudahan saja Ganjar sudah diterima taubatnya dan akan dicalonkan menjadi Wapres mendampingi Puan. (*)