Puasa Menjadi Momentum Membentuk Pribadi Takwa-Toleran

Sejumlah jamaah saat sedang melakukan berbuka puasa di masjid Kubah Intan Kalianda. (Sumber: ANTARA)

Jakarta, FNN - Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Andi M. Faisal Bakti menilai ibadah puasa Ramadhan menjadi momentum untuk membentuk diri untuk menjadi insan yang bertakwa dan toleran.

"Ibadah puasa merupakan kunci dalam membangun manusia yang kokoh kepribadiannya sehingga bisa sabar dan memaafkan orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran bahwa umat diperintahkan berpuasa agar menjadi orang yang bertakwa," kata Andi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan makna puasa dari bahasa Arab ada dua kata, yaitu "asshiyam" dan "asshoum", artinya adalah menahan diri yang sifatnya fisik seperti makan, minum, dan hubungan suami-istri. Menurut dia, menahan diri ada yang sifatnya nonfisik, seperti mengontrol nafsu makan dan marah.

"Nafsu bisa berupa ketertarikan terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak. Nafsu perlu dikendalikan agar tidak terjebak pada perbuatan buruk, seperti mencela atau mengungkit kesalahan orang lain," ujarnya.

Andi menekankan pentingnya menjaga toleransi di bulan Ramadhan yang bisa terbentuk ketika mengedepankan prasangka baik terhadap orang lain.

Menurut dia, membangun toleransi perlu dilakukan oleh orang yang berpuasa kepada yang tidak berpuasa maupun sebaliknya.

“Kita harus membangun toleransi pada saudara kita yang berpuasa, jangan kita tunjukkan di depan dia ketika kita makan. Sebaliknya, orang yang berpuasa harus mengetahui bahwa ada orang yang tidak puasa dan perlu difasilitasi," katanya.

Andi berpesan tentang pentingnya menjaga kebersamaan sesama anak bangsa yang dapat dibentuk dengan melibatkan seluruh pihak.

Rasa kebersamaan itu, menurut dia, tidak hanya kalangan elit saja yang mendapatkan panggung, namun masyarakat bisa menyalurkan pendapatnya dengan bebas dan bertanggung jawab.

Menurut dia, dalam prinsip kebersamaan ada konsensus atau musyawarah mufakat yang penting untuk dijadikan pegangan, yaitu masyarakat dapat duduk bersama, ada hasil rapat yang disepakati, dan semua orang harus diberikan kesempatan untuk berpendapat.

"Jangan hanya tokohnya itu saja yang bicara, tapi tidak mau mendengarkan pandangan anggota masyarakat," ujarnya.

Andi mencontohkan Rasulullah Muhammad SAW selalu mendengarkan masukan dari para sahabat dan masyarakat walaupun Rasulullah memiliki kedudukan tertinggi di Madinah.

Menurut dia, Rasulullah ketika dulu mau perang seringi minta pandangan sahabatnya, seperti Salman Al-Farisi, Umar bin Khattab, Abu Bakar, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan yang lainnya. (ida/ANTARA)

186

Related Post