Rebutan Dana Sawit di Istana, Rocky: Brutus Itu Mengarah Pada Luhut Pandjaitan
Jakarta, FNN – Situasi politik terkini tanah air semakin ngeri-ngeri sedap. Jika mengutip pidato Bung Karno pada HUT RI Ke-16 tahun 1964 yang disebut tahun vivere pericoloso yang berarti hidup penuh bahaya, hari ini tengah terjadi di Indonesia.
“Yang paling ngeri adalah kita membayangkan masa depan Presiden Jokowi. Kalau kita anggap bahwa keadaan normal, presiden juga akan soft landing. Tapi kelihatannya pertarungan antara Kurawa melawan Pandawa ini tidak akan berakhir sekadar dengan percakapan-percakapan konstitusional. Tapi ada hal yang lebih fundamentalis di situ yaitu kecemburuan yang berbasis uang,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief, dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Ahad, 24 April 2022.
Disebut kecemburuan karena tukar-menukar politik basisnya tukar-menukar transaksi uang, transaksi sogok menyogok, yang diduga tidak terbagi merata sehingga menimbulkan ketegangan.
“Kalau soal minyak itu sesuatu yang kita lihat di atas kertas saja. Tapi sebetulnya ada yang lebih jauh itu, yaitu kemarahan Ibu Megawati yang tidak bisa diobati lagi oleh istana,” papar Rocky.
Menurut Rocky, elite PDIP melihat ketegangan itu ternyata disebabkan oleh dominasi Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan yang terlampau kuat dan mendikte.
“Orang mencari personifikasinya apa? Ya selama ini kita dengar dari tokoh-tokoh PDIP, bahwa Luhut adalah biang kerok. Kan nggak mungkin Ibu Megawati bilang Luhut biang kerok, tapi kita tahu bahwa intensitas penggunaan istilah-istilah brutus dan segala macam, makin telanjang dan orang akhirnya tahu bahwa Ibu Megawati akhirnya sudah nggak bisa menahan lagi, semacam basa-basi politik dengan istana,” paparnya.
Masyarakat sesungguhnya tengah menunggu bagaimana penyelesaian atas kisruh yang terjadi di istana. “Apa Pak Jokowi mengerti bahwa larangan ekspor itu bisa menyebabkan Indonesia dibawa ke WTO misalnya. Kan ada syarat-syarat perjanjian internasional yang dilanggar secara sepihak. Atau Pak Jokowi mungkin cuma kasih sinyal, lalu Menteri Perekonomian Airlangga menafsirkan dengan cara yang berlebih atau bahkan tidak di dalam konteks,” paparnya.
Rocky menyangsikan keputusan presiden atas larangan ekspor sawit.
“Kita mau lihat nanti, apakah ini betul-betul larangan ekspor atau berakhirnya nanti akan ada juru bicara presiden bilang ini bukan larangan, cuma pembatasan saja sementara,” tegasnya.
Di balik itu semua, Rocky mencium ada gelagat tidak beres di internal istana.
“Kita mau tahu sebetulnya, kenapa dalam dua bulan ini kok dipermainkan? Apa ada fee yang belum penuh ke setoran-setoran politik sehingga fokus kita sekarang adalah kenapa Menteri Perdagangan itu selalu mengelak dan membiarkan ini jadi isu yang bergulir makin lama makin panas,” tanyanya.
Rocky menduga, urusan politik belakang, akan diselesaikan terlebih dahulu, baru bicara tentang rasionalitas dari pasal CPO yang sebetulnya dunia, permintaannya biasa-biasa aja.
Namun demikian hal inilah yang menyebabkan masyarakat berpikir bahwa ini memang ada kongkalikong yang mulai terbuka, bukan dengan kesaksian tapi dengan foto-foto yang beredar.
“Si ini berfoto dengan si itu, yang sana ternyata diam-diam bikin kesepakatan untuk buka kebun baru. Jadi hal-hal semacam itu yang menjadi transparan masalah politik di belakangnya,” paparnya.
Yang dipamerkan oleh pemerintah kata Rocky adalah bahwa Indonesia sebetulnya tidak mungkin bangkrut.
“Tetapi, kalau kita masuk lebih dalam lagi, persoalannya misalnya Kalimantan Timur itu pendapatan perkapitanya paling tinggi Indonesia. Tapi angka itu bukan angka riil yang diterima oleh buruh sawit. Itu angka yang menunjukkan bahwa disparitasnya tinggi sekali karena faktanya upah operasional di Kalimantan Timur rendah sekali,” tegasnya.
Mahalnya harga minyak goreng menunjukkan ada masalah ketidakadilan di sini. Anehnya, Menkeu Sri Mulyani dengan gampang mengatakan bahwa, iya itu cuma soal waktu. Sebentar lagi bisa kita atasi dan subsidi juga akan kita turunkan, bukan subsidi tetapi dana sawit yang akan segera dicairkan.
“Masalah itu yang sebetulnya kita tunggu, tetapi dalam penantian itu orang semacam Ibu Megawati menganggap bahwa ini sebetulnya satu paket saja dengan pembusukan politik di istana. Kita juga menangkap itu,” tegas Rocky.
Jadi, lanjut Rocky aktor-aktor istana berebut dana sawit sambil diterangkan ke publik bahwa ini cuma soal satu dua orang.
“Jadi sebetulnya nggak fair terhadap beberapa korporasi yang mau melakukan akumulasi secara ekonomis. Tapi sayang, kemudian diganggu oleh persaingan politik sehingga mereka mulai berpikir ulang bagiamana kita mau membayangkan bisnis plan, kalau tiba-tiba CPO nggak boleh diekspor. Padahal itu adalah komoditas global. Kan itu problem kita,” katanya.
Rocky menegaskan bahwa masalah ekonomi yang tidak didikte oleh kebijakan itu justru menimbulkan blunder makin panjang.
“Jadi poin itu akhirnya orang ingat lagi, aspirasi apa? Aspirasi betul-betul petani sawit atau aspirasi dari pemilik sawit? Lalu orang tanya, konduktornya siapa? Kok tiba-tiba petani sawit bisa punya aspirasi sebanyak itu. Kan petani sawit mau dapat harga yang bagus saja dan sebagian besar, itu tidak punya kepentingan politik. Petani sawit cuma ingin harganya stabil. Itu saja,” pungkasnya. (ida, sws)