“Reshuffle” Presidennya

Presiden Joko Widodo.

Macam-macam tuntutan aspirasi rakyat, diabaikan penguasa. Presiden terus berpidato, berakhir sungsang. Jangan-jangan Presiden memang keturunan Raden Sekar Sungsang/Ki Mas Lalana/Panji Mulia Rama Nata atau Raden Sakar Sungsang.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

KELAKAR netizen, meski satu minggu ada reshuffle, atau bahkan setiap hari ada pergantian kabinet sudah tidak penting lagi, apalagi terjadi di ujung masa berakhirnya kekuasaan.

Lebih kejam lagi sindiran, siapapun yang memiliki catatan sejarah pernah menjadi pembantu presiden (menteri) saat ini sebaik apapun kerjanya akan terbawa dalam catatan sejarah masa pemerintahan yang terburuk paska kemerdekaan.

Kesan tersebut memang terlalu tendensius tetapi juga tidak bisa di nafikan sebagai sebuah kenyataan. Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, semua memburuk bukan karena menterinya yang tidak bisa bekerja tetapi faktor penentunya justru ada di Presiden sendiri.

Maka dalam sindirannya lebih lanjut yang harus di-reshuffle tersebut bukan menterinya, tetapi seharusnya Presidennya.

Presiden Jokowi dianggap sedari awal terkesan memaksakan diri memimpin pemerintahan negara, sementara di satu sisi memiliki kemampuan terbatas. Itulah sebabnya, Jokowi dinilai sebagai presiden terburuk sepanjang sejarah berdirinya negara Indonesia.

Awal karirnya sebagai Presiden, rakyat terpesona dengan tebar pesona dan pencitraannya, berhamburan janji-janji luar biasa menyedot sebuah harapan indah di masa pemerintahannya. Akhirnya semua terbongkar hanya isapan jempol belaka, janji tinggal janji .

Kepercayaan kepada Presiden yang terus menurun ini disebabkan, antara lain: ekonomi negara berantakan, kemiskinan membengkak, indeks demokrasi terus menurun, bahkan negara mengarah ke tirani dan otoriter, ketenangan hidup rakyat terbelah oleh adu domba, negara terancam terpecah-belah.

Presiden Jokowi dikritik habis dalam buku biografi karya peneliti dari Lowy Institute, Benjamin “Ben” Bland, bahwa pemerintah Jokowi menunjukkan banyak sifat terburuknya seperti mengabaikan nasihat ahli, kurangnya kepercayaan pada masyarakat sipil, dan kegagalan untuk mengembangkan strategi yang koheren.

Selama ini civil society terus dilemahkan; masyarakat dibelah, organisasi rakyat dibeli, mahasiswa dan akademisi dibungkam, serta spirit demokrasi dikerdilkan dengan cara memanipulasi kesadaran dan membunuh keberanian rakyat, semua dalam kendali oligarki.

Fakta terkini dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengawasan Intern 2022 yang diselenggarakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jokowi mengungkapkan kekesalannya di hadapan menteri, kepala lembaga, hingga kepala daerah.

Dalam Rakornas secara virtual pada Selasa (14/6/2022 itu), Presiden Jokowi mengatakan: “Maaf, kita ini pintar-pintar tapi kok caranya bodoh sekali, saya harus ngomong apa adanya. Ini uang APBN loh, ini uang APBD loh, belinya produk impor. Nilai tambahnya yang dapat negara lain, lapangan kerja yang dapat orang lain, apa enggak bodoh?”

Menggelikan sekali. Ketidakmampuan dirinya mengendalikan, membina dan memaksimalkan para pembantunya bersama organ negara dalam mengelola negara, selalu melemparkan kesalahan kepada orang lain. Apalagi, diperparah kebijakan yang tidak konsisten, dan dalam hitungan jam berubah-ubah tanpa arah yang jelas.

Lengkaplah ditandai dengan rezim yang berganti-ganti kabinet dalam waktu yang terlalu pendek, jelas itu pertanda adanya kekacauan dalam kabinetnya. Semua bersumber dari presiden sendiri.

Pemerintahan yang sering melakukan pergantian kabinet. Dan, program yang telah direncanakan dipastikan akan berantakan. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah semakin memudar. Kondisi negara menjadi tidak stabil, yang akan terjadi justru pergolakan sosial politik akan makin membesar.

Rapuhnya kabinet akibat Presiden yang lemah, akan selalu bongkar-pasang  kabinet. Dan, seringnya ganti kabinet tidak akan pernah membawa kebaikan, justru keadaan kelola negara akan terus memburuk.

Reshuffle kabinet itu tidak penting. Jika ingin perbaikan dan perubahan dalam kondisi negara yang terus memburuk adalah Reshuffle Presidennya.

Presiden Sungsang

Tidak salah kalau kemudian ada yang menyebutnya Presiden Sungsang. Sung Sang itu maknanya terbalik.

Yang di atas menjadi di bawah, yang di depan menjadi di belakang, kepala di bawah kaki di atas, dan sebagainya. Melakukan sesuatu yang menjadi sukar karena salah jalan, keadaan jungkir balik.

Contoh pembicaraan saat ini menjadi nol resultantenya karena yang diminta masyarakat Presidential Threshold nol persen, Presiden malah ribut sendiri tentang larangan anggota Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi pengurus partai politik, calon legislatif (Caleg), hingga calon pimpinan kepala maupun wakil kepala daerah.

Macam-macam tuntutan aspirasi rakyat, diabaikan penguasa. Presiden terus berpidato, berakhir sungsang. Jangan-jangan Presiden memang keturunan Raden Sekar Sungsang/Ki Mas Lalana/Panji Mulia Rama Nata atau Raden Sakar Sungsang.

Presiden kadang terlihat santun dan berbudi pekerti. Setelah kita endus, di balik kedok tertata, sopan, dan bertata-krama itu ternyata adalah kepalsuan dan sungsang. Jangan terus menggonggong jika dalam posisi lemah, buta atau tidak tahu fakta, karena lolongan di alam gelap gulita pasti sungsang.

Manipulasi data/informasi politik untuk mobilisasi (dukungan) politik, itu pekerjaan khas bandit politik, dan model pekerjaan politik otak sungsang. Presiden yang sungsang sangat membahayakan yang bisa menyeret negara akan menjadi sungsang pula. (*)

367

Related Post