Revolusi Prancis Dipicu Kenaikan Harga dan Utang Besar
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN dan Pemerhati Sosial Politik
KITA lihat sebentar situasi di Parncis menjelang akhir abad ke-18. Tepatnya sekitar 1780-an. Situasi di bawah sangat parah. Kehidupan rakyat cukup menderita. Pemerintah tak perduli dengan kesusahan rakyat.
Harga-harga keperluan hidup meroket. Gagal panen terjadi di mana-mana. Pengangguran meluas. Utang negara menggunung. Raja tak mampu mengatasi keadaan. Perekonomian mengalami depresi berat.
Di lingkungan Istana, para penguasa tidak ikut merasakan penderitaan. Kemewahan hidup mereka tak berubah. Dan di tengah penderitaan ini, kerajaan memberlakukan sistem perpajakan yang sangat memberatkan rakyat kecil.
Kesulitan hidup rakyat inilah yang kemudian mengakumulasikan kemarahan terhadap pemerintah yang berbentuk kerajaan. Rakyat yang tadinya tidak berani melawan, akhirnya secara otomatis bergerak sendiri.
Kalau sebelumnya tidak pernah ada elemen radikal di tengah masyarakat, penderitaan hidup itu rupanya sekaligus menjadi penyulut radikalisme. Bermunculan kelompok-kelompok yang tak takut mati.
Raja Louis XVI sebetulnya ingin mengundurkan diri. Tapi, ada saja yang membisikkan kepadanya agar bertahan. Elit penguasa tidak rela melakukan reformasi. Para elit itu sudah merasakan kenyamanan yang berat untuk ditinggalkan.
Kemarahan rakyat mencapai titik puncak. Revolusi tak terelakkan. Pada 14 Juli 1789, rakyat menyerbu Penjara Bastille yang menjadi lambang kezaliman kerajaan. Di Bastille-lah para penguasa mengeksekusi lawan-lawan politik mereka. Dengan cara yang sangat kejam.
Penyerbuan Bastille berdampak luas. Sebab, Bastille adalah pusat kezaliman pemerintah. Pemerintah Raja Louis XVI runtuh. Raja pun mengalami nasib yang sangat tragis. Dia dieksekusi mati.
Sejarah Revolusi Prancis memang sangat menarik. Dari sini kita memahami bahwa rakyat menjadi radikal ketika kehidupan mereka sangat susah. Dan ketika pemerintah semakin sewenang-wenang.[]