Rocky Gerung Jalani Vivere Pericoloso

Jakarta, FNN - Filsuf politik Rocky Gerung sedang menjalani ‘Vivere Pericoloso’ (Bahasa Itali: hidup menyerempet bahaya) menghadapi penguasa melalui kritiknya yang sangat tajam, lugas, penuh satire, menghibur, bahkan kontroversial.

“Kritik Rocky kepada Presiden Jokowi dalam konsolidasi Akbar Aliansi Aksi Sejuta Buruh akhir Juli 2023 di Bekasi, menjadi pilihan politiknya untuk menjalani ‘Vivere Pericoloso’ terhadap penguasa,” kata analis politik Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting dalam acara diskusi publik bertema ‘Kritik Dijawab Penjara’ yang dilaksanakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Jakarta, Jumat petang (11/8).

Menurut Selamat Ginting, Rocky tidak boleh dipenjarakan karena kritik sarkasnya kepada penguasa. Tanya jawab adalah jalan untuk memperoleh pengatahuan. Itulah permulaan dialektika para filsuf politik. Dialektika merupakan dialog untuk menyelesaikan persoalan antara dua pihak yang berbeda, bukan dengan pemenjaraan.

“Rocky tidak boleh bernasib sama seperti filsuf politik dari Athena, yakni Socrates dan Plato yang dipenjara, karena berbeda pandangan dengan penguasa istana. Bahkan Socrates mati di dalam penjara. Dunia akan mengutuk pemerintah Presiden Jokowi jika Rocky dipenjara,” ujar Selamat Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, menjawab pertanyaan wartawan.

Frustrasi Politik

Awalnya, lanjut Ginting, Rocky berorasi menyikapi berbagai isu dan kritik terhadap pemerintah. Sampai menyinggung rencana aksi besar pada Kamis (10/8). Aksi buruh itu mendesak pemerintah mencabut Undang Undang Cipta Kerja dan sejumlah undang-undang yang tidak berpihak kepada rakyat.

“Saya pikir Rocky dan sejumlah elemen sudah pada tahap frustrasi politik, karena Presiden Jokowi diduga melakukan sabotase politik. Sabotase politik, karena memveto hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK),” ujar Ginting yang juga wartawan senior bidang politik.

MK, lanjut Ginting, sebelumnya sudah memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil. Bahkan MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat. Bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. 

“Presiden Jokowi menanggapi keputusan MK dengan menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) tentang Cipta Kerja dengan alasan dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Di sisi lain, pemerintah justru terus melanjutkan program Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), padahal pemerintah mengakui situasi sedang tidak baik-baik saja. Ini jelas sesuatu yang tidak konsisten,” ungkap Ginting.

Jokowi Serempet Bahaya

Menurut Ginting, bukan hanya Rocky Gerung yang sedang menjalani ‘Vivere Pericoloso’, melainkan pemerintahan Presiden Jokowi serta partai-partai politik dan institusi negara juga melakukan langkah politik menyerempet bahaya menjelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2024.

“Apa yang dilakukan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) bergabung dengan partai oposisi, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat, kemudian mengusung Anies Baswedan menjadi bakal calon presiden, itu merupakan langkah Vivere Pericoloso,” kata Ginting.

Termasuk, lanjut Ginting, konflik politik antara Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri dengan Presiden Jokowi dalam mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal capres dari PDIP. Megawati ingin hal itu menjadi hak prerogratifnya sebagai ketua umum partai, artinya mengabaikan peran Jokowi yang dianggap hanya sebagai petugas partai.

“Konflik elite itu juga masuk dalam Vivere Pericoloso, seperti peristiwa politik di era Demokrasi Terpimpin Sukarno pada 1964 hingga lengser dari kursi presiden pada 1967,” ungkap Ginting.

Menurut Ginting, jika Presiden Jokowi salah langkah politik, seperti cawe-cawe dalam pemilihan presiden 2024, dia akan dikenang sejarah sebagai penguasa yang menapak jalan otoritarian.

Diawali Sukarno

Vivere Pericoloso, menurut Ginting, awalnya digunakan Presiden Sukarno dalam pidato HUT ke-19 Republik Indonesia, 1964. Pada 1964, Indonesia mengalami masa-masa genting. Saat itu sedang terjadi konfrontasi dengan Malaysia (Ganyang Malaysia). 

Kehidupan politik, lanjutnya, juga sangat panas. Salah satunya TNI Angkatan Darat bersitegang dengan Presiden Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI), karena menolak konsepsi Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) serta usulan pembentukan Angkatan Kelima (Buruh dan Tani dipersenjatai). Sukarno juga membuat poros Jakarta-Peking (Beijing)-Pyongyang.

“Situasi Vivere Pericoloso akhirnya menjungkalkan Sukarno dari kursi presiden secara menyakitkan. PKI yang dekat dengan Sukarno dihancurkan Angkatan Darat, akibat pimpinan Angkatan Darat diculik dan dibunuh pasukan pengamanan presiden yang berafisliasi kepada komunis,” ujar Ginting.

“Jadi situasi politik saat ini jelang pemilu 2024, kurang lebih mirip dengan situasi politik 1964-1967,” pungkas Ginting. (sws).

262

Related Post